Lelang Kepulauan Widi, TNI Harus Berani Tolak Pemerintah Seperti Panglima Sudirman

Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS)

Di sisi lain, Jenderal Sudirman berpendapat Belanda selalu ingkar janji dalam perundingan, sehingga TNI lebih memilih melakukan perang gerilya daripada menyerah kepada penjajah.

Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS)

TNI harus berani menentang keputusan kontroversial Pemerintah Pusat terkait kedaulatan negara dalam kasus lelang Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menentang keputusan pemerintah terkait kedaulatan negara dan keputusan berani itu harus ditiru oleh pimpinan TNI era saat ini.

Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menentang keputusan pemerintah (Presiden RI Sukarno) yang memilih menyerah kepada Belanda daripada ikut dalam perang gerilya.

Panglima Sudirman juga menolak mengakui hasil perundingan Roem-Royen yang mengharuskan Tentara Republik Indonesia (TRI) menghentikan aktivitas perang gerilyanya.

Saya sengaja mengungkapkan hal tersebut terkait aktivitas yang dilakukan Komando Distrik Militer (Kodim) 1509/Labuha, Korem 152/Baabullah, Kodam XVI/Pattimura.

Mereka mengerahkan prajurit untuk mengibarkan bendera Merah Putih di Kepulauan Widi. Kepulauan ini termasuk wilayah administratif Kecamatan Gane Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Aksi ini untuk menegaskan Kepulauan Widi itu bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Komandan Kodim 1509/Labuha, Letnan Kolonel (Kavaleri) Romy Parnigotan Sitompul mengatakan bahwa aksi pengibaran bendera itu untuk menegaskan Kepulauan Widi tidak diperjualbelikan. “Seperti kita ketahui salah satu situs asing menempatkan Kepulauan Widi yang akan dijual,” kata Letkol Kav Romy seperti dilansir Antara, Selasa (6/11/2022).

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno membantah Kepulauan Widi, Maluku Utara tersebut, dijual di situs Sotheby's Concierge Auctions. Ia mengatakan Kepulauan Widi saat ini tengah dalam pengembangan oleh pihak ketiga, yakni PT Leadership Islands Indonesia (LII) dengan mencari investor.

Kepulauan Widi tercantum dalam situs Sotheby's Concierge Auctions sebagai daftar barang lelang. Pelelangan itu akan berlangsung mulai 8 Desember 2022. Pada situs tersebut, PT LII menawarkan pengelolaan pulau tersebut.

Mereka mengaku sebagai pihak yang berhak atas pengelolaan tempat tersebut. Padahal Kepulauan Widi itu berada di wilayah konservasi terumbu karang, bakau dan ikan sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 102/KEPMEN-KP/2020.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian juga menyebut lelang Kepulauan Widi bermaksud untuk mencari investor. Menurutnya, PT LII sedang kekurangan modal dalam mengembangkan Kepulauan Widi. Oleh karena itu, perusahaan menawarkan kerja sama investasi lewat pelelangan.

“PT LLI kemudian mencari pemodal, mencari pemodal asing. Makanya dia naikkan ke lelang itu. Tujuannya bukan lelang buat dijual, tujuannya untuk menarik investor asing. Nah, itu boleh-boleh saja,” tutur Tito saat ditemui di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2022).

Sebagai warga, saya mendukung tindakan yang dilakukan TNI Angkatan Darat untuk menjaga kedaulatan NKRI di Kepulauan Widi. Saya meminta TNI tidak ragu-ragu jika persoalan menyangkut kedaulatan NKRI. Korps Marinir TNI AL harus memberikan dukungan personel untuk menjaga pulau-pulau terluar RI.

Saya memberikan contoh Jenderal Sudirman berani berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno ketika menghadapi agresi militer Belanda pada 18 Desember 1948. Saat itu Jenderal Sudirman meminta Presiden Sukarno menghentikan perjuangan melalui jalur diplomasi ketika negara dalam keadaan genting.

Panglima Sudirman meminta Presiden Sukarno ikut bergerilya. Tapi Sukarno memilih tetap tinggal di dalam Kota Yogyakarta dan menolak ikut bergerilya. Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memilih jalur diplomasi untuk berunding dengan Belanda untuk mendapatkan dukungan internasional.

Di sisi lain, Jenderal Sudirman berpendapat Belanda selalu ingkar janji dalam perundingan, sehingga TNI lebih memilih melakukan perang gerilya daripada menyerah kepada penjajah.

Dugaan Jenderal Sudirman ternyata benar, setelah perundingan itu, Sukarno dan Muhammad Hatta ditangkap oleh pasukan Belanda. Seandainya Jenderal Sudirman mengikuti pendapat Presiden Sukarno, maka negara Indonesia tidak ada lagi di peta dunia.

Panglima Sudirman juga menolak mengakui hasil perundingan Roem-Roijen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 oleh delegasi Republik Indonesia dan negara Belanda. Dalam Perjanjian Roem Royen disebutkan Tentara Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya.

Jadi TNI itu tidak kenal menyerah seperti pesan dalam Sapta Marga, bukan seperti politikus yang sudah berulangkali dibohongi pimpinan, tapi masih mau berunding juga. (*)

368

Related Post