Ma'ruf Digoyang, Ma'ruf Juga Melawan
by Tony Rosyid
Jakarta FNN – Senin (31/08). Beberapa hari lalu Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S. Pane konferensi pers. Menyinggung kantor Wakil Presiden (Wapres) agar dibersihkan dari orang-orangnya Jusuf Kalla Para pendukung Ma'ruf merasa tak nyaman, katanya. Orang-orang Jusuf Kalla dianggap menjadi penghambat interaksi keluarga dan para relawan dengan Wapres Ma’ruf.
Aneh! Sangat ganjil! Sulit diterima akal sehat! Orang-orang Jusuf Kalla masih kuasi kantor Wapres? Mereka menghambat para pendukung Ma'ruf masuk ke kantor Wapres? Lalu, apa kepentingan Jusuf Kalla menguasai kantor Wapres?
Menjadi tidak aneh jika ungkapan Ma'ruf Amin dan para relawan yang disampaikan Neta S. Pane dipahami sebagai manuver. Bukan ditujukan kepada orang-orangnya Jusuf Kalla sebagai sasaran tembaknya. Tapi kepada Jokowi.
Menyoal orang-orang Jusuf Kalla di kantor wapres hanya sebagai prolog. Tuntutan dan sasaran utamanya adalah Jokowi. Maka, dalam konferensi pers, disinggung soal reshuffle kabinet dan posisi komisaris di BUMN. Apa targetnya? Memberi peran Ma'ruf sebagai wakil presiden secara proporsional. Terutama dalam menyusun kabinet dan penempatan orang-orang sebagai komisaris di BUMN.
Publik tahu, posisi Wapres selama ini hanya sebagai pelengkap konstitusi. Nyaris tak ada peran signifikan. Bahkan media pun tidak memberi ruang yang proporsional. Bagaikan burung di sangkar emas, kata Neta. Bandingkan ketika Jusuf Kalla yang jadi wapres.
Nyaris seperti masa Orde Baru. Wapres hanya sebagai syarat konstitusional tanpa signifikansi peran. Hanya sesekali muncul di berita. Semua media didominasi berita tentang presiden. Presiden gendong cucu saja viral. Apalagi presiden marah-marah dan lempar bingkisan.
Wajar jika wapres dan para relawannya protes. Kenapa baru sekarang? Boleh jadi pertama, ada tekanan terhadap Wapres akhir-akhir ini. Maksudnya, Wapres sedang digoyang. Kemungkinan kedua, posisi presiden mulai melemah ketika dihadapkan pada ancaman krisis ekonomi. Disini, Ma'ruf punya peluang bergaining. Bahkan bisa lebih dari itu. Krisis ekonomi jadi pintu masuk.
APBN mengalami defisit. Diperkirakan hingga 6,72 persen dari PDB. Sekitar 1.028,6 triliun. Pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen. PLN rugi Rp. 38,87 triliun. Pertamina rugi Rp. 11,13 triliun. Harga minyak dunia turun, tapi dijual dengan harga normal ke rakyat kok bisa rugi? Tanya Ahok bro.
Pertamina mengalami rugi Rp. 11,13 triliun, mungkin gara-gara ngitungnya sambil merem. Nasib BUMN yang lain? Cari saja sendiri datanya! Terlalu panjang kalau ditulis di sini. Yang pasti, sejumlah BUMN telah dijaminkan untuk pinjaman infrastruktur. Ngeri-ngeri sedap barang itu.
Di sisi lain, gelombang protes rakyat mulai menyebar dan semakin masif. Muncul sejumlah kelompok oposisi. Diantaranya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan oleh ratusan tokoh berpengaruh dari berbagai elemen bangsa. Juga lahirnya "Anak NKRI" tak bisa dipandang sebelah mata. Gerakan 212 yang dikomandoi Habib Rizieq Shihab (HRS), Persatuan Alumni 212 dan GNPF Ulama juga masih terus eksis.
Protes Ma'ruf dan para relawannya adalah cara bergaining yang boleh jadi efektif, tetapi tetap saja berisiko. Efektif, jika kondisi ekonomi makin memburuk. Apalagi upaya pemerintah mendesak Bank Indonesia melakukan burden sharing (cetak uang) nampaknya belum ada tanda-tanda berhasil.
Sekarang kas negara kabarnya sedang bermasalah. Cari pinjaman luar negeri di masa pandemi juga tak mudah. Hampir punya semua negara punya masalah ekonomi yang sama. Hampir semua ekonom di luar pemerintah memprediksi ekonomi bakal collaps.
Manuver Ma'ruf Amin tetap saja berisiko. Aapalagi jika Presiden Jokowi nantinya berhasil mengatasi kompleksitas masalah bangsa, terutama ekonomi. Maka posisi Ma'ruf bisa makin kehilangan peran. Bakal tambah kecewa lagi para pendukung Wapres.
Bagaimanapun, terjun di dunia politik harus berani ambil risiko. Dari pada hanya sebagai pelengkap konstitusi. Pilihan untuk melawan jauh lebih rasional dan elegan. Rasional, karena Wapres mesti punya peran. Elegan, peran ini akan ditulis sebagai referensi sejarah bangsa Indonesia.
Buat apa jadi Wapres kalau kelak ditulis oleh sejarah sebagai Wapres terlemah karena hanya sebagai pelengkap konstitusi tanpa peran berarti. Mundur atau melawan itu lebih terhormat.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.