Masa Maklumat Kapolri Kalahkan UUD 1945?
Pembaca Portal Berita Online FNN.co.id. yang kami banggakan. Sikap remi Redaksi Portal Berita Online FNN.co.id yang selama ini disampaikan melalui rubrik EDITORIAL, mulai awal Januari 2021 diganti nama rubriknya menjadi “FORUM RAKYAT”. Demikian pemberitahuan kami.
Jakarta FNN – Ahad (03/01). Jendral Polisi Idham Aziz, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), pada tanggal 1 Januari 2021 Kemarin, mengeluarkan Maklumat. Maklumat Nomor Mak/1/2021 Tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI).
Pada angka 1 Maklumat ini dicantumkan kata-kata sebagai berikut “1. Bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor: 220-4780 Tahun 2020; M.HH 14.HH.05.05 Tahun 2020; 690 Tahun 2020; 264 Tahun 2020;KB/3/XII/2020; 320 Tahun 2020 tanggal 30 Desember 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam”.
Kapolri pasti tak menyangka sebelumnya. Bahwa maklumat ini terlihat seperti hantu yang gentayangan disiang bolong. Lalu dengan angkuh, khas setan kurap, hantu itu memasuki dan mengacak-acak meja redaksi, menerkam, menyiksa bahkan membunuh semua jurnalis.
Itu alasan utama mengapa komunitas Pers, bahkan Dewan Pers bereaksi sangat sangat keras. Level reaksinya masyarakat pers kali ini, terus terang Pak Kapolri, belum pernah sekalipun terjadi setelah eranya Pak Harto berkuasa. Baru kali ini reaksi keras itu. Orang pers bukan saja tak mau lagi praktik bredel, atau apapun yang mirip dengan bredel itu hidup di era ini. Tetapi lebih dari bredel itu.
Orang pers sudah tak mampu lagi diam dan hanya menggerutu melihat kehancuran harkat dan martabat kemanusiaan, hanya untuk alasan yang mengada-ada. Orang pers tak mau lagi melihat dan berurusan dengan rezim khas masa lalu itu hidup kembali di era ini. Ketertiban dan keamanan nasional yang setiap hari dikhotbahkan oleh rezim sekarang, tidak lebih dari dongeng kaum oligarki semata.
Presiden Habibie dan Mohamad Yunus Yosfiah. Pak Kapolri tahu mereka berdua? Namanya keduanya begitu harum untuk kehidupan masyarakat pers Indonesia. Presiden Habibie tentu Pak Kapolri tahu, adalah pria paling logis dalam berpikir. Hebat, Pak Habibie menempatkan Pak Yunus, pria berlatar tentara tulen sebagai Menteri Penerangan.
Pak Yunus Yosfiah, sang menteri dan tentara paling hebat di Timor-Timur itu, ternyata sama seperti bosnya. Sama-sama logis dalam berpikir. Hasilnya, lahirlah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini, kalau Pak Kapolri tahu, bukan sekadar menjadi benteng kehidupanpers. Tetapi merupakan karya kemanusiaan dua pria logis yang mengerti tentang hakikat peradaban yang disumbangkan pers.
Tak ada faedahnya itu pers, kalau tak ada kebebasan mencari dan menyebarkan informasi. Tak ada kebebasan mencari dan menyebarkan informasi, kalau tak ada kebebasan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat. Apapun pendapat yang disampaikan itu. Tak akan ada juga penyebaran informasi, bila sarana penyebarannya dikangkangi.
Tak ada pers, sama dengan tak ada pengawasan terhadap penguasa. Makanya, pers oleh masyarakat demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di muka bumi ini disebut “the four of state democration”. Pers sebagai pilir demokrasi keempat setelah Eksekutiv, Legilativ dan Yudikatif. Sehingga salah satu tugas utama pers adalah mengontrol, mengoreksi dan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan semua penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat.
Penguasa yang tak dikontrol oleh pers, sama dengan membiarkan penguasa menjadi tiran dan otoriter. Ketika penguasa menjadi tiran dan otoriter, maka kemanusiaan dan peradaban hancur total. Ketika peradaban hancur total, kemanusiaan kehilangan hakikatnya sebagai manusia.
Pak Kapolri pasti tahu pers dan HAM itu penting? Ya sangat penting. Karena dua hal itu yang menjadi alasan utama tiga belas negara bagian tidak mau meratifikasi UUD Amerika Serikat, yang sudah selesai dibuat di Philadelphia Convention 31 Mei 1787.
Apa persisnya alasan tiga belas negara bagian itu? UUD yang mau diratifikasi itu tidak memuat atau tidak mengatur ketentuan mengenai pers dan HAM. Itu persisnya alasan utama dilaksanakan amandement pertama UUD Amerika Serikat pada tahun 1791. Empat tahun kemudian.
Poin penting dari amandemen pertama UUD Amerika Serikat adalah “Kongres dan Presiden Amerika dilarang membuat rancangan Undang-Undang yang membatasi kebebasan pers”. Masih dalam tataran berfikir untuk membuat rancangan undang-undang saja tidak boleh. Sudah dilarang oleh UUD Amerika. Apalagi sampai menjadi menjadi rancangan undang-undang. Begitulah pentingnya memberikan kebebasan kepada masyarakat pers untuk mengawasi penyelenggara negara.
Amendement ini digambarkan Elizabeth Zoller, Profesor of Public Law University Paris II, Visiting Profesor of Law Indiana University Maurer Scholl of Law sebagai “freedom of expression.” Memang amendement ini tidak persis menulis freedom expression.
Yang ditulis dalam text itu adalah “freedeom of speech and freedom of press”. Tetapi kedua teks ini tidak punya arti lainnya, apapun itu, selain “freedom of expression”. Wajar rakyat dan pers menyambutnya sebagai mahkota mereka. Pengaturan itu, dalam hakikatnya, menegaskan kedaulatan berada ditangan rakyat. Bukan di tangan pemerintah atau penguasa, apapun jenis kekuasaan itu,
Kata Michael Gybson, Asisten Profesor of Law, Oclahoma City University, rakyat America memiliki pendapat yang bersifat postulatif tentang kedaulatan. Ketika kedaulatan, tulisnya, diletakan pada mereka, bukan pada pemerintah, maka mereka terhindar dari tindakan represif pemerintah.
Memang sejarah hukum Amerika menceritakan pemerintahan John Adam, Presiden kedua Amerika, membuat Sedition Act 1798, juga Alien Act 1798. Kedua UU menyangkal kebebasan menyampaikan pendapat, yang kebebasan berekspresi, dengan cara menyebarkan tulisan, pamphlet dan karikatur.
Tetapi rakyat Amerika segera tahu bahwa kedua UU binasa. Itu benar-benar sangat parsial. UU dijadikan instrument politik kaum federalis, yang dipimp oleh John Adam untuik dua kepentingan. Pertma memastikan dominasi kaum federalis. Kedua untuk memastikan kemenangan John Adam terpilih kembali pada pemilu berikutnya 1801.
Menelan korban tidak kurang dari delapan orang. Tetapi UU itu segera menemui akhir yang pahit. Thomas Jefferson dari gabungan Demokrat-Republik memenangkan pemilu presiden. Jefferson tampil menjadi presiden Amerika yang ketiga, segera mencabut UU tersebut. Bahkan orang-orang yang telah dihukum, diberi grasi. Ini sangat top dan berkelas. Begitulah kalau menjadi negarawan.
Fortunately, Indonesia punya pasal 28F UUD 1945. Isi selengkapnya “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Buynyi pasal 26F UUD 1945 sangat jelas dan terang. Tidak butuh ahli bahasa untuk ditafsirkan lagi. Sebab Hanya dalam sistem politik totaliter, tirani, fasis dan otoriter saja, yang menempatkan kemauan penguasa lebih tinggi dari UUD. Pada semua negara demokrasi dan Republik, UUD disepakti untuk dijadikan panduan hukum tertinggi, supreme law of the republic.
Terkait Maklumat Kapolri? Inilah soalnya? Apa itu soalnya? Apa Maklumat itu bukan satu bentuk hukum di antara beberapa bentuk hukum yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan? Jelas tidak.
UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pun tidak mengatur Maklumat Kapolri sebagai bentuk hukum formil, atau tindakan pemerintahan yang diberi bentuk sebagai hukum. Sama sekali tidak. Mengapa soal ini harus didiskusikan?
Angka 2 huruf d Maklumat ini mengatur agar “masyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI, baik melalui website maupun media sosial. Untuk alasan apapun, pasal ini membatasi hak setiap warga negara yang telah diatur dalam UUD 1945. Inilah masalahnya.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 jelas isinya. Isinya adalah “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis.
Kalau anak-anak mileneal diminta memberi makna atas teks pasal 28J UUD 1945 diatas, mungkin saja mereka akan bilang begini, “pembatasan hak asasi manusia harus dengan undang-undang bro”. Tidak bisa pakai peraturan di luar undang-undag bro. Jadi, jelas Maklumat Kapolri itu bukan hukum.
Kalaupun hendak disamakan dengan tindakan pemerintahan, maka yang paling mungkin dianalogikan adalah instruksi, yang sifatnya hanya ke dalam internal. Hanya ditujukan kepada pejabat atau pegawai di lingkungan organisasi pemerintahan itu. Itu bisa diterima akal. Kalau di luar internal, itu bisa ngaco, ngawur dan amburadul tata kelola negara ini.
Oleh karena sifatnya instruksi. Sehingga tidak lain merupakan kebijakan tata usaha negara untuk hal dilingkungan organisasi pemerintahan itu, maka isinya tidak boleh menangguhkan hak-hak orang lain atau warga negara di luar institusi ini. Apalagi yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang telah secara nyata diatur dalam UUD 1945.
Di atas semuanya, protes masyarakat pers itu, harus diakui sangat beralasan secara akal sehat. Juga sa sangat logis dan bermartabat. Protes ini sesuai dengan pasal 28F UUD 1945. Menjadi sangat hebat sekali bila Pak Idham Azis berbesar hati untuk mencabut Maklumt Kapolri tersebut sebelum mengakhiri jabatan sebagai Kapolri dalam beberapa hari ke depan.