Melawan Atheisme dalam Sejarah
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan
Foto atas pertemuan ulama seluruh Jakarta Raya tahun 1952 di mesjid Matraman untuk menyamakan langkah menghadapi atheisme.
Dalam photo tampak didepan dari kiri Guru Mansur Jembatan Lima, Haji Agus Salim, Ali Al Hamidy.
Guru Mansur ahli ilmu falak. Orang Betawi menunggu fatwa Guru Mansur kapan mulai puasa dan kapan lebaran.
Sejak proklamasi sampai masuknya kembali tentara Belanda, Guru Mansur terus kibarkan Sang Saka di menara Mesjid Jembatan Lima. Guru Mansur menolak ketika Belanda minta turunkan Sang Saka. Akhirnya tentara Belanda tembaki menara mesjid.
Ali Al Hamidy pemrakarsa shalat Idul Fitri di halaman Pegangsaan 56, gedung P,roklamasi, pada akhir Agustus 1945.
Menemui Ustadz Ali tak susah, tapi wawancara beliau tak mudah. Beliau punya banyak koleksi humor, kita harus tau celah.
Pada tahun 1958 seorang penulis sajak dari Jogya berkata di ruang publik bahwa ia, Suradal Mahatmanto, tak percaya Tuhan itu ada.
Suradal dan omongannya dibahas di-mana-mana.
Seorang ulama yang dikenal Ustadz Hassan Bandung mengajak debat Suradal. Hassan Bandung mitra korespondensi Ir Soekarno di masa pembuangan di Endeh (lihat Surat-surat Islam dari Endeh, Di Bawah Bendera Revolusi).
Akhirnya disepakati ajang debat di Hotel Yen Pin Jl Merdeka Utara. Sekarang gedung Pertamina.
Debat dipimpin tiga orang jury yang disetujui para pihak.
Jalannya perdebatan sepihak karena Suradal tampaknya tak menguasai masalah. Mungkin pengunjung, termasuk ayah saya, kecewa.
Tapi Hassan Bandung.mungkin diilhami oleh debat ini beliau.menulis buku "Adakah Tuhan?" Uraian tentang tauhid.
Betapa pun, peristiwa debat itu sejak lama sering menggelitik saya punya qolbu, kok bisa ya?
Masa lalu itu cermin buat kita. Generasi lampau dapat selesaikan masalah yang sangat peka dengan cara elegant. kita bisa lebih dari itu kalau mau ikhtiar. Insya Allah. (*)