Memahami Kembali Perintah Zakat
Berarti perintah itu ditujukan kepada mereka yang secara ekonomi kuat. Dan karenanya ketika Umat merasa bagian dari obyek perintah “aatuz Zakat” harusnya merasa sekaligus diperintah untuk kuat secara ekonomi.
Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
DUA hari lalu, Jumat 9 Desember (Sabtu 10 Desember waktu Indonesia) saya hadir sebagai salah seorang narasumber di acara seminar internasional IKADI (Ikatan Da’i Indonesia). Seminar yang mengambil tema “Peranan Dakwah dan Institusi Islam dalam Menghadapi Islamophobia” itu menghadirkan beberapa tokoh nasional dan dunia.
Hadir di antaranya Bapak Jusuf Kallah, mantan Wakil President RI dua kali dan Dr. Karim Al-Issa, Sekjen Rabithah Alam Islami.
Catatan yang ingin saya sampaikan kali ini bukan poin-poin presentasi saya. Tapi sebuah hikmah (wisdom) yang keluar dari mulut pak JK, yang saya anggap sangat dalam, menyentuh realita Umat dan relevan pada masa kini. Pak JK seperti biasa menyampaikan “keynote speech” dengan santai dan dalam bahasa yang sangat sederhana.
Tapi seperti biasa beliau selalu menyampaikan ide-ide segar dan relevan dengan keadaan Umat dan bangsa.
Kali ini pak JK menyampaikan terjemahan salah satu ayat Al-Quran yang populer dan berulang kali disebutkan dalam Al-Quran. Ayat itu adalah: واقيموا الصلاة واتوا الزكاة yang terjemahannya adalah: dan dirikanlah sholat dan berikanlah (tunaikan) Zakat.
Umat Islam tanpa kecuali memiliki konsensus bahwa mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat adalah kewajiban atau fardhu, bahkan menjadi dua dari lima rukun Islam. Tak seorang pun yang akan mengingkari hal tersebut.
Yang menjadi masalah kemudian, seperti yang ditegaskan pak JK dalam presentasinya, adalah kenyataan bahwa masih mayoritas Umat ini dalam “lisan al-haal” (bahasa realitanya) mereka masih belum menerjemahkan secara benar ayat tersebut.
Dalam kenyataan hidupnya Umat ini seolah menerjemahkan ayat itu dengan: “dan dirikanlah sholat dan Terima-lah Zakat”.
Akibat dari kesalahan menerjemahkan atau memahami bagian kedua dari ayat itu, Umat ini mayoritasnya seolah memposisikan diri untuk “menerima Zakat” (mustahik). Akibatnya memang cukup fatal. Mayoritas mereka yang lemah secara ekonomi (mustadh’afin) di negeri ini (Indonesia) adalah mereka yang beragama Islam.
Tentu hipothesis di atas tidak semuanya benar. Tapi pastinya sebuah peringatan serius yang perlu mendapat konsiderasi serius dari Umat ini. Pak JK menyampaikan bahwa dari 10 orang terkaya Indonesia hanya ada seorang yang beragama Islam (Chairul Tanjung). Dan 50 yang terkaya hanya ada 5 orang yang bergama Islam (mungkin pak JK salah satunya).
Pak JK menekankan bahwa salah satu penyebab marjinalisasi Umat di bidang perekonomian adalah kurangnya semangat interprenurship (jiwa bisnis) Umat ini. Dan karenanya beliau menyerukan kepada para da’i agar dalam ceramah-ceramahnya tidak saja menekankan aspek ritual agama. Tapi sekaligus masalah-masalah mu’amalat, termasuk Urgensi bisnis untuk penguatan ekonomi Umat.
Saya sendiri dalam banyak kesempatan menekankan bahwa Umat dalam memahami konsep Zakat harus berubah dari “pemahaman konvensional” (pemahaman biasa-biasa) kepada pemahaman yang “unconventional” (yang tidak biasa/lazim) lagi. Yaitu memahami bahwa mengeluarkan Zakat dipahami tidak pada sekedar memberi 2.5 persen dari penghasilan bersih. Tapi memahami perintah Zakat sebagai sekaligus perintah untuk menguatkan perekonomian umat.
Logikanya sebenarnya sangat sederhana. Perintah zakat itu ditujukan kepada mereka yang memiliki penghasilan di atas batas kebutuhan pokoknya (sandang/pangan dll.).
Berarti perintah itu ditujukan kepada mereka yang secara ekonomi kuat. Dan karenanya ketika Umat merasa bagian dari obyek perintah “aatuz Zakat” harusnya merasa sekaligus diperintah untuk kuat secara ekonomi.
Seperti pak JK, saya juga sering menyampaikan bahwa bisnis itu adalah salah satu sunnah Rasulullah yang terlupakan. Padahal jauh sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul beliau telah mencontohkan bagaimana melakukan bisnis yang berhasil namun tetap beretika. Kelihaian beliau dalam berbisnis menjadikan bos beliau ketika (Khadijah) itu jatuh hati dan melamarnya untuk menjadi suaminya.
Hal ini juga mengingatkan kita bagaimana strategi Rasulullah SAW memberdayakan Umat Madinah dengan membeli sumur dan pasar dari Komunitas Yahudi saat itu. Strategi jitu untuk menyelamatkan Umat dari marjinalisasi ekonomi seperti yang terjadi di sebagian negara Muslim saat ini.
Intinya adalah pak JK mengingatkan kita semua untuk “rereading” atau memperbaharui pemahaman kita kembali tentang ayat: اقيمواالصلاة واتوا الزكاة. Jangan sampai kita pincang dalam memahami ayat ini. Sehingga masjid-masjid besar, ramai khususnya pada waktu-waktu selebrasi (perayaan ‘Id misalnya). Tapi pasar-pasar dan Pusat-Pusat bisnis dikuasai oleh non Muslim.
Lebih jahat lagi tentunya jika yang menguasai pasar dan Pusat-Pusat ekonomi adalah para tengkulak penghisap darah, membentuk kelompok oligarki yang juga mengontrol perpolitikan dan kebijkaan publik negara. Semoga tidak!
Jamaica City, 11 Desember 2022. (*)