Memaknai keberkahan Ramadan-05

Imam Shamsi Ali.

Ini mengingatkan saya kepada sebuah cerita yang sudah sering saya sampaikan. Cerita seorang muallaf di kota New York. Beliau adalah mantan prajurit Amerika yang pernah ditugaskan dì Afganistan beberapa waktu.

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundaiton

SEMAKIN kita selami hikmah-hikmah tersembunyi dari bulan Ramadan semakin tersingkap pula berbagai keberkahan (keutamaan) bulan ini. Semua itu tersimpulkan dalam satu kata: ketakwaan. Maka ketakwaan itu “kalimah jaami’ah” (kata yang menyimpulkan) dari berbagai kebajikan dan kebaikan dalam hidup manusia.

Sehingga wajar saja semua perintah dalam Al-Quran itu bermuara kepada pembentukan Karakter ketakwaan. Kita diingatkan misalnya perintah paling awal dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah ayat 21: “wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan mereka yang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Demikian pula kalimat “la’allakum tattaqun” pada ayat puasa di surah Al-Baqarah 183. Karena memang puasa mengantar kepada ragam kebaikan (keberkahan) dalam hidup manusia.

Di antara keberkahan Ramadan adalah bahwa puasa menyadarkan manusia tentang makna kepuasan hakiki dalam hidupnya. Hal ini menjadi sangat penting dan mendasar karena Sesungguhnya semua manusia dalam hidupnya mencari kepuasan. Sayangnya seringkali kepuasan yang dicari itu bagaikan fatamorgana yang menipu.

Dalam dunia Barat yang penuh dengan kegemerlapan dunia manusia kerap dipaksa untuk mencari kepuasan itu dengan berbagai cara yang seringkali justeru kontra produktif dengan kemanfaatan bagi dirinya. Bahkan tidak jarang cara-cara yang dilakukan untuk menemukan kepuasan itu bertentangan dengan tabiat kemanusiaan itu sendiri.

Akibatnya segala usaha itu pada akhirnya tidak saja terasa hampa dan gersang. Tapi justeru membawa kemudhoratan besar bagi kehidupan manusia itu.

Di sìnilah Islam hadir dengan konsep dan cara pandang yang berbeda dalam memahami makna kepuasan hidup. Islam hadir dengan konsep yang komprehensif dan tidak terbatasi oleh pemahaman sesaat dan bersifat parsial.

Pemahaman Barat tentang kepuasan itu yang berwawasan material atau lebih dikenal dengan “materialisme” bersifat sesaat. Karakter sesaat ini memang identik dengan kata dunia (danaa yadnuu) yang berarti dekat atau sesaat. Islam justeru hadir dengan konsep yang menyeluruh (wholly) mencakup fisikal/material dan beyond fisikal/material. Ini yang sering diistilahkan dengan kepuasan batin. Biasa juga disebut dengan kepuasan spiritualitas (spiritual satisfaction).

Pada sisi inilah puasa hadir sebagai pelatihan untuk mempertajam kesadaran spiritualitas sebagai basis kepuasan hidup. Bahwa kepuasan itu tidak saja pada makan, minum dan berbagi kepuasan fisikal/material (physical pleasures). Tapi lebih dalam dan luas lagi menembus ke dalam relung batin manusia.

Pada titik inikah seringkali banyak yang gagal memahami kenapa orang-orang beriman itu tetap bahagia dengan segala keterbatasan fisikal/material mereka. Sementara betapa banyak orang yang bergelimang harta dan berbagai keindahan dunia ini tapi mengalami kegersangan dan kesempitan hidup.

Ini mengingatkan saya kepada sebuah cerita yang sudah sering saya sampaikan. Cerita seorang muallaf di kota New York. Beliau adalah mantan prajurit Amerika yang pernah ditugaskan dì Afganistan beberapa waktu.

Beberapa tahun silam beliau datang kepada saya menyatakan ingin masuk Islam. Biasanya kalau ada yang datang menyatakan keinginan masuk Islam tanpa belajar saya tanya alasannya. Apalagi kalau yang ingin masuk Islam itu adalah seorang pria. Jangan-jangan hanya karena ingin menikah dengan seorang wanita Muslimah.

Beliau menceritakan bahwa sekembali dari Afghanistan beliau selalu teringat oleh seorang temannya di Afghanistan yang menurutnya hanya seorang tukang sapu di kantor militer Amerika. Gajinya kecil dan anaknya 6 orang. Tapi menurutnya dia selalu hadir dengan senyuman seolah tiada masalah hidup yang dihadapi.

Teman itu semakin teringat ketika mantan prajurit ini melihat situasi hidup di kota New York. Kota dunia yang penuh dengan kegemerlapan dunia. Kota yang menjadi pusat kapitalisme dunia. Tapi begitu banyak orang yang menderita penyakit jiwa karena derasnya kompetisi kehidupan.

Dua realita hidup yang kontra ini menjadikan teman kita itu sadar bahwa ternyata kebahagaian (dan kepuasan) hidup tidak ditentukan oleh materi dan dunia fisikal saja. Tapi ada yang lebih inherent (mendasar) untuk menentukan kepuasan hidup itu. Itulah kepuasan batin kita yang ditentukan oleh kekuatan spiritualitas manusia.

Maka puasa puasa Ramadan membawa nilai keberkahan ini. Mengajarkan dan menyadarkan bahwa spiritulitas manusia menjadi penentu kepuasan dan kebahagiaan. Dan Karenanya meninggalkan dan menanggalkan kehidupan dunia fisikal (makan/minum dan hubungan seksual) sementara menjadi jalan bagi terbentuknya kekuatan ruhiyah (spiritualitas) sebagai fondasi kepuasan hidup manusia.

Selamat menjalankan ibadah puasa! New York, 24 April 2022. (*)

318

Related Post