Menanti Terobosan Ekonomi

AWALNYA, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 ini sebesar 4,5 sampai 5,5 persen. Target yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa, 1 September 2020 itu kemudian direvisi menjadi 4,5 sampai 5 persen, pada awal Januari 2021.

Merevisi sebuah target pertumbuhan ekonomi nasional adalah sesuatu yang wajar dilakukan. Apalagi di tengah gonjang-ganjing ekonomi global yang masih belum menentu akibat corona virus disease 2019 (Covid-19).

Tidak ada kepastian kapan pandemi ini berakhir. Seiring dengan itu, tidak ada kepastian ekonomi global membaik atau pulih seperti semula. Harapan tetap ada, walaupun hal itu masih jauh dari kenyataan.

Revisi target pertumbuhan telah dilakukan. Target pertumbuhan ekonomi yang baru itu tetap menunjukkan sikap optimis. Bahkan, angka itu terlalu ambisius, mengingat pertumbuhan tahun 2020 yang berkisar minus 1,7 persen sampai minus 2,2 persen.

Biar bagaimanapun, sikap optimistis harus ditunjukkan pengelola negara kepada rakyatnya. Sebab, jika pemerintah pesimistis, apalagi putus harapan, bisa diperkirakan berdampak lebih buruk bagi rakyat.

Revisi dan sikap optimistis bisa disatukan dengan kerja keras semua pihak. Namun, yang pasti ujung tombak keberhasilannya kembali kepada pemerintah dalam mengelola negara dan berbagai aspeknya.

Pemerintah dituntut memberikan arahan yang jelas dan tegas, sehingga fokus pengelolaan ekonomi tidak melenceng. Diperlukan kebijakan ekonomi yang benar-benar hebat dalam menyapu berbagai kendala yang dihadapi.

Kebijakan ekonomi tidak perlu dikeluarkan berjilid-jilid. Ingat, di masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), ada 16 jilid kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah.

Harapannya, pertumbuhan ekonomi bisa tujuh persen sesuai janji kampanyenya. Akan tetapi, kebijakan itu hanya mampu menahan agar pertumbuhan ekonomi tida melorot di bawah lima persen.

Kesalahan dalam mengambil kebijakan ekonomi bisa berakibat fatal. Bisa-bisa berakibat semakin tertekannya kehidupan masyarakat. Jika tekanan kehidupan masyarakat semakin dalam, semakin susah, tidak menutup kemungkinan keresahan sosial terjadi.

Akibatnya bisa diprediksi. Pemerintahan yang sudah goyang, akan terus digoyang. Keresahan sosial bisa menjadi gejolak sosial yang berujung dapat menjatuhkan pemerintah.

Menurut kalangan ekonom, terutama ekonom Amerika Serikat, jika suatu pemerintah membuat kebijakan ekonomi dalam masa pandemi sama dengan kebijakan ekonomi sebelum pandemi, maka pemerintahan itu menjadi bagian dari masalah, bukan pemecah masalah. Hal tersebut menunjukkan di masa pandemi, masalah utama terletak pada efektivitas kepemimpinan, kebijakan, dan agenda pemerintahan. Ini menegaskan bahwa kewibawaan pemerintah, terutama presiden dipertaruhkan pada saat sekarang, ketika Covid-19 masih mengganas.

Yang dapat dibaca sekarang, pemerintah masih mempertontonkan drama berseri kepada rakyat. Mulai dari drama ketidaktegasan pemerintah melakukan lockdown, drama tambahan utang yang terus-menerus, drama pembangunan infrastruktur, dan drama korupsi dana bantuan sosial yang melibatkan Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial pada Kabinet Kerja Jokowi. Termasuk drama penegakan hukum yang tidak adil.

Rakyat sudah mulai bosan dengan sejumlah drama itu. Oleh karena itu, tidak salah jika di tengah masyarakat seringkali terdengar suara-suara sumbang atas kebijakan pemerintah, terutama dalam menangani Covid-19.

"Utang lagi. Utang lagi. Ke mana saja utang itu digunakan," demikian kalimat sinis yang direkam dalam perbincangan di pangkalan ojek, warung kopi hingga di perkantoran elit.

Wajar rakyat bersuara sinis seperti itu mengingat utang yang sudah mencapai Rp 6.000 triliun. Apalagi sebagian utang itu digunakan untuk penanganan Covid-19 yang justru dikorupsi.

Akan menjadi masalah, jika suatu saat utang pemerintah didominasi mata uang asing, katakanlah 40 persen obligasi dipegang asing dan 20 sampai 30 persen utang dalam mata uang asing. Jika posisinya seperti itu, maka pemerintah berada dalam posisi rentan, dalam arti pemerintah mudah dijatuhkan karena persoalan utang dan ekonomi. **

268

Related Post