Mencari Semangat Revolusi
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan
Foto atas seorang ibu di Jakarta pada jaman pendudukan tahun 1946-1949 dari daerah republik mau ke kawasan pendudukan Belanda, ia dikepung serdadu Belanda. Tampaknya ia tak gentar atau alami demoralisasi.
Ia jelaskan dengan teratur bahwa ia ada anak yang lagi sakit yang tinggal di daerah pendudukan. Ibu ini tidak adu omong, tapi beri penjelasan yang masuk akal. Serdadu Belanda izinkan ibu dari kalangan rakyat biasa itu lanjutkan perjalanan.
Perempuan ini dikepung sekitar 15 serdadu tapi bisa tenang seraya wajah tengadah vis a vis. Belanda yang meladeninya dengan wajah dan sikap merendahkan bersimbah ejekan.
Apa yang menyebabkan si ibu tabah. Itulah semangat revolusi. Semangat revolusi yang diolah di pentas Orde Lama cuma retorika pemancing tepuk tangan.
Pesta Olahraga Nasional mampu digelar di tahun 1948 di Solo.
Kegiatan belajar mengajar tidak berhenti, pegawai negeri aktif seperti biasa walau semua sadar kita sedang revolusi menegakkan kemerdekaan.
Kabinet memang jatuh bangun tapi jalannya pemerintahan tak terganggu karena walau kabinet demisioner ada sekjen kementerian yang menjaga berputarnya roda pemerintahan.
Semangat itu sepertinya sudah tak ada lagi dan berganti dengan gerakan memasuki alam mimpi. Apa saja yang dibuat pihak berkuasa menjadi yang terhebat di dunia. KA Cepat terhebat walau tak kunjung jadi, malah infrastruktur terkadang ada yang dibongkar lagi karena salah kordinat. Laos yang tak banyak bicara KA cepatnya sudah angkut penumpang.
Malaysia ketika menggeser pusat kegiatan dari Kualalumpur ke Damasraya melakukannya seperti kerja biasa tanpa dipidatoni siang dan malam.
Anak didik sudah dikursus dongeng melalui pelajaran sejarah.
Kembalikan semangat revolusi dengan mengajarkan sejarah yang benar. Rekonstruksi sejarah Indonesia diperlukan. (*)