Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali k UUD 1945 (Bagian-3)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto

Jakarta FNN – Rabu (14/10). ”Untuk membedakan dan mempermudah pemahaman, makan hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Pada tulisan ketiga ini, ulasanya mengenai ada “Utusan Daerah, Utusan Golongan, Presiden/Wakil Presiden dipilih oleh Majelias Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan tidak perlu ada Mahkamah Konstitusi”.

Andaikan kembali ke UUD 1945, maka MPR terdiri anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Bukan oleh rakyat. Sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi, kata Amien Rais. Berarti Amien Rais berpendapat UUD 2002 lebih baik dibanding dengan UUD 1945. Benarkah demikian?

Strategic Assessment

Pertama, Dr. Wahidin Sudirohusodo menggagas berdirinya organisasi yang bersifat sosial, ekonomi dan kebudayaan. Tidak bersifat politik, dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Gagasan Dr. Wahidin disambut Dr. Soetomo bersama mahasiswa kedokteran pribumi di Batavia (STOVIA) yang sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mereka mendirikan Budi Utomo, 20 Mei 1908, yang saat ini kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Kedua. Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928, melahirkan ikrar bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu Indonesia. Hadir pada kongres tersebut para utusan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Khatolikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, dan lain-lain. Tanggal 28 Oktober, kini kita peringati sebagai Hari Sumpah Pemuda.

Ketiga, “dalam Negara Indonesia, maka Kepala Negara, pusat pemerintahan, pemerintah daerah dan pemerintahan persekutuan desa (negeri, marga, dan lain-lain) dipilih secara Timur dalam permusyawaratan yang disusun secara rakyat. Negara Rakyat Indonesia adalah pemerintah syuriyah, pemerintahan yang didasarkan atas permusyawaratan antar orang berilmu dan berakal sehat, yang dipilih atas faham perwakilan”. (Prof. Mr. Muhammad Yamin, 29/5/1945, Sidang BPUPKI).

Keempat, “disini kita dapat membuktikan bahwa dalam permusyawaratan seperti sekarang ini yang maksudnya akan membereskan sesuatu perkara dengan jalan mempersatukan pendapat-pendapat yang bertentangan sehingga menjadi bulat. Tetapi persatuan dan kebulatan itu tak mungkin tercapai selagi masih ada watak yang suka apa-apa kehendak sendiri... Inilah misal yang terdapat pada umumnya orang yang mengajak, “marilah kita bermusyawarat!”. (Ki Bagoes Hadikoesoemo, 31/5/1945, Sidang BPUPKI).

Kelima, “caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan menurut sistem demokrasi Barat. Karena pilihan secara sistem demokrasi Barat itu berdasar atas faham perseoragan. Tuan-tuan sekalian hendaknya insaf kepada konsekuensi dari pendirian menolak dasar perorangan itu.

Menolak dasar individualisme berarti menolak juga sistem perlementarisme. Menolak sistem demokrasi Barat, berarti menolak sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka yang semuanya sama harganya”. (Prof. Mr. Dr. Soepomo, 31/5/1945, Sidang BPUPKI).

Keenam, “kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial... Saudara-saudara badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politiek democratie saja. Tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip, politiek rechtvaardighied dan sociale rechtvaardigheid”. (Ir. Soekarno, 1/6/1945, Sidang BPUPKI).

Ketujuh, “sidang yang terhormat. Pada hari ini kita berada pada satu saat yang mengandung sejarah. Pada hari ini kita menyusun Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang kemerdekaannya kemarin, menurut kehendak rakyat, telah dipermaklumkan dengan proklamasi yang telah diumumkan pula kepada rakyat kira-kira jam setengah 12 (Nippon)”. (Ir. Soekarno, Ketua PPKI, 18/8/1945, Sidang PPKI).

Rakyat, Permusyawaratan dan Perwakilan

Untuk memahami Dasar Negara dan UUD 1945, tidak boleh hanya membaca teksnya saja. Tetapi nilai-nilai budaya yang melingkupi, sejarah perjuangan bangsa dan suasana kebatinan saat disusun, sangat diperlukan. Tujuh butir strategic assessment di atas, merupakan nilai-nilai yang mendasari sampai tersusunnya Dasar Negara dan UUD 1945.

“The founding fathers” Muhamad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Soekarno memiliki nafas yang sama bahwa negara dibangun harus berdasar atas kepentingan rakyat dan pengambilan keputusan secara musyawarah dan perwakilan.

Rakyat adalah ‘kunci’ dalam bernegara yang tidak boleh diabaikan. Kita harus menghargai kemajemukan yang ada di kehidupan rakyat. Budi Utomo dan organisasi pemuda yang melakukan Kongres Pemuda sebagai bukti negara bukan milik Partai Politik. Masih banyak komponen rakyat di luar Partai Politik.

Kehadiran utusan dari daerah pada Kongres Pemuda II tanggal 27-28/10/1928, mencerminkan adanya budaya sistem perwakilan dan musyawarah dalam mengambil keputusan. Mengapa demokrasi Barat yang dalam sidang BPUPKI untuk mencari dasar negara, semua tokoh bangsa menolaknya? Karena demokrasi Barat itu bukan budaya kita.

Nilai-nilai yang disampaikan Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Soekarno saat mencari Dasar Negara di sidang BPUPKI, digunakan sebagai bahan. Melalui musyawarah perwakilan, diputuskan Dasar Negara Republik Indonesia pada sidang PPKI, 18/8/1945, sebagaimana pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan kita namakan Pancasila.

Kata kunci rakyat, musyawarah dan perwakilan, ternarasikan dalam Sila ke-4, “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Inilah demokrasi Indonesia, kata Bung Karno pada Sidang Uumum PBB tahun 1960. Baca “Dwi Azimat Bangsa Indonesia Versus Pikiran Filosof Bertrand Russell, Menepis Pancasila Tidak Ada di UUD 1945” (Google)

Makna Presiden Mandataris MPR

Nilai-nilai Pancasila mengalir ke dalam pasal-pasal UUD 1945 secara mantik. Sila ke-4 mengalir ke dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2). Bahwasannya, Kedaulatan rakyat dipegang oleh MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR yang terdiri anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi, menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.

Presiden dipilih MPR. Tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Wajib menjalankan putusan-putusan MPR dan harus menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh MPR. Karena itulah Presiden disebut “Mandataris MPR”.

Sedangkan UUD 2002, MPR bukan penjelmaan rakyat Indonesia. Nyaris isinya orang Parpol, anggota DPR dan DPD. Parpol yang punya hak ajukan calon Presiden/Wapres. Itupun tidak adil. Ketika ada “Presidential Threshold”, partai gurem terpaksa “membebek”. Beda dengan di UUD 1945, Utusan Daerah dan Utusan Golongan juga memiliki hak.

Pemilihan Presiden/Wapres melalui MPR jauh dari konflik. Jauh dari perpecahan dan rusaknya sosial budaya di masyarakat. Dalam kaitan kekuasaan Presiden membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, untuk pengujian undang-undang bisa dilakukan MA. Berarti, kita tidak perlu MK.

Kisruh UU Cipta Kerja mewarnai pro dan kontra di pertengahan Oktober 2020. Prof. Jimly pun berkomentar “……, bagaimana logikanya Presiden mau menggunakan hak prerogatif bikin Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang menjadi ambisi pribadinya, dan sudah berhasil disetujui DPR” (Jpnn.com/news, 11/10/2020).

Disini tidak mengulas kisruh UU Cipta Kerja. Hanya ingin berpendapat bahwa untuk kelak kemudian hari. Apabila Presiden/Wapres masih dipilih langsung, tidak menutup kemungkinan, Presiden/Wapres bisa tersandera Parpol dan kekuatan tertentu. Akibatnya, kebijakannya bisa sebagai ambisinya ataupun kepentingan kelompok. Tidak bisa untuk rakyat secara berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yakinilah, sistem di UUD 1945 lebih baik dan sesuai Pancasila. MPR terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, dan memilih Presiden/Wapres, sehingga Presiden memiliki surat Ketetapan Jabatan sebagai Presiden. Ketetapan MPR tentang jabatan sebagai Presiden/Wapres tentu memiliki legalitas lebih bergengsi dibanding hanya Ketapan KPU sebagi pemenang Pemilu.

Presiden mandataris MPR tentu selalu berpikir untuk rakyatnya. Jauh dari ambisi pribadi/golongan. Rakyat bisa dan berhak mengontrol Presiden lewat MPR. Jadi tidak perlu takut dan ragu untuk kembali ke UUD 1945. Selanjutnya kita sempurnakan dengan adendum.

Persoalan HAM dan kelestarian NKRI yang dikhawatirkan Amien Rais, akan kita bahas pada artikel bagian-4 selanjutnya. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat. Insya Allah, amin.

Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

610

Related Post