Mengapa CCTV Kilometer 50 Tol Japek Dihapus?
Jakarta FNN – Ahad (10/01). Dalam dunia kejahatan, para pelaku kita ketahui sering membuang atau memusnahkan apa pun, yang terkait tindak dan jejak kejahatannya. Upaya itu dimaksudkan untuk 'menghitamkan' tindak kekurangajaran yang mereka lakukan.
Tak terkecuali barang apa pun, yang dicurigai kemudian bisa menjadi alat bukti. Jejak perbuatan yang kemungkinan menjadi alat bukti, akan dibikin lenyap pelaku. Supaya tidak ketahuan kesalahannya. Itu cara paling dasar yang dianggap efektif sebagai upaya menghilangkan jejak.
Jika barang bukti itu berwujud benda (barang mati), maka pelenyapannya bisa dengan cara membuang ke mana saja. Bisa ke sumur, sungai atau laut bebas. Bahkan ada yang dengan membakar. Bisa pula menyembunyikannya. Atau dengan seribu satu cara berdosa lainnya.
Disebut sebagai petunjuk atau alat bukti, itu jika berupa barang mati. Lantas bagaimana cara melenyapkannya bila 'alat bukti' tersebut berupa manusia hidup? Saksi mata yang melihat, yang mendengar dan mengalami sendiri?
Tidak ada cara lain, kecuali nyawa “alat bukti” itu lah yang musti dan perlu dilenyapkan pelaku. Supaya tidak bisa menjadi saksi mata. Kemudian masalahnya menjadi aman. Karena tidak ada yang melihat, mendengar dan merasakan sendiri kejadian itu.
Setelah titu berjalan meninggalkan lokasi kejadian. Setelah sebelumnya menebas-nebaskan kedua telapak tangannya, sebagai tanda “saksi sudah beres atau aman”. Seperti yang kita sering dengar, baca dan tonton di siaran berita. Tak sedikit pelaku pencurian misalnya, yang tega membunuh korban (pemilik rumah) hanya gara-gara memergoki aksi pencuriannya.
Membunuh korban, bagi pencuri, itu bukan target utama. Bukan juga sasaran utama. Hanya semacam “batu lompatan”, agar korban tidak dapat berfungsi sebagai saksi mata yang melihat, mendengar dan menyaksikan sendiri kejadian pencurian. Sebab sangat membahayakan “keselamatan” pelaku.
Semua itu manakala yang melakukan kejahatan itu adalah warga sipil biasa. Lantas bagaimana jika yang bertindak sebagai pelaku kejahatan tersebut adalah aparatur negara? Anggota Polri misalnya? Tentu saja lebih rapi. Sebab Polri merupakan supra struktur negara. Institusi tersebut punya otoritas. Disitulah publik memahami, bahwa segala apa yang dilakukan Polri, akan dianggap sebagai wewenangnya.
Akan tetapi ada filosofi bahwa “tidak ada kejahatan yang dapat dilakukan dengan sempurna”. Sekalipun yang melakukannya itu adalah “pemilik hukum”. Ungkapan itu sudah populer di masyarakat. Tidak ada yang tidak paham ungkapan tersebut. Dalam bahasa jawa, yang kerap dituturkan para orang tua sebagai materi wejangan moral untuk anak anaknya, “becik ketitik, olo ketoro”.
Mengutip pernyataan yang pernah disampaikan Kriminolog dan Pengamat Kepolisian, Profesor Adrianus Meliala, di acara talk show sebuah televisi swasta beberapa tahun silam, bahwa psikologis polisi dan bandit itu tidak beda jauh. Itu memberi arti, bahwa siapa saja bisa melakukan tindakan yang salah dan tercela. Termasuk Polri, TNI atau PNS. Siapapun itu bisa saja terjadi.
Sekedar contoh, rekayasa tindak kejahatan yang dilakukan anggota Polri, meski serai apapun akhirnya ketahuan juga. Misalnya, sebanyak delapan anggota Satserse Narkoba Polres Padang Sidempuan merekayasa ganja seberat 327 kilogram hasil rampasan dari Daftar Pencarian Orang (DPO), namun yang dilaporkan ke atasannya sebagai barang temuan di areal perkebunan PTPN III (Viva.co.id, 30/12/2020)
Padahal ganja tersebut nyata-nyata bukan hasil temuan. Melainkan hasil rampasan dari DPO. Namun dilaporkan sebagai hasil penemuan. Karena delapan anggota polisi tersebut ingin melindungi pemilik asli ganja tersebut, yang memang sudah terjadi kesepakatan sebelumnya dengan pemilik ganja.
Terkait kasus di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikapmpak (Japek), yang menurut detik.com edisi 08/01/21, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan, saksi mata penembakan oleh polisi terhadap enam anggota FPI hingga gugur semuanya, mendengar perintah polisi agar menghapus hasil rekaman CCTV di areal tempat kejadian.
Selain itu, menurut Portalislam.id edisi 19/12/2020, yang mengutip hasil investigasi Tempo.com, semua hand phone milik masyarakat yang berada di sekitar lokasi rest area kilometer 50 (tempat penembekan) diperiksa oleh polisi. Itu dimaksudkan guna memastikan, pada telepon seluler masing-masing warga tidak boleh ada foto, video, tulisan atau apa pun yang dapat mengarah terbongkarnya peristiwa sebenarnya.
Setelah itu, semua warga masyarakat yang akhirnya berkerumun di rest area tersebut, setelah adanya penembakan, diusir polisi. Masyarakat juga diwanti-wanti supaya tutup mulut. Warga di sekitar lokasi itu, jangan omong apa-apa tentang kejadian tersebut.
Meminjam terminologi pengendara sepeda motor yang tidak membawa SIM C dan STNK Motornya. Sang pengendara harus berbalik arah, lantaran takut adanya operasi kelengkapan surat-surat bermotor yang sedang dilakukan oleh Polantas.
Bagi sang pengendara motor, mengapa harus takut dan putar arah, jika tidak merasa bersalah. Mengapa mesti begini dan begitu, manakala dirinya sudah beres berkendara SIM C dan STNK asli? Begitu juga polisi. Mengapa polisi memerintahkan menghapus CCTV milik warga sekilar lokasi kejadian.
Begitu juga vidoe, foto dan tulisan di lepepon seluler milik warga. Mengapa mengoreksi privasi warga, dengan merazia seluruh telepon seluler? Mengapa meminta warga tutup mulut? Toh yang dilakukan polisi di kilometer 50 itu, semuanya sudah sesuai stantar dan prosedur yang yang terukur kan?
Publik negeri ini tentu saja belom lupa dengan kejadian “Buku Merah” di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan dua tiga Perwira Menengah (Pamen) Polisi Roland Renaldy, Harun dan Rufyanto Maulana Yusuf. Mereka bertiga terlibat menghapus (tipp ex) buku yang disita KPK dari kantornya Basuki Hariman terkait skandal suap uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pada catatan pengeluaran kekuangan Basuki Hariman tersebut, tercatat adanya aliran uang ke sejumlah pejabat negara. Diduga salah satunya adalah mantan Kapolti Tito Karnavian, sekarang Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Namum catatan Basuki Hariman itu terjadi ketika Tito Karnavian masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.
Perbuatan Roland dan Harun (tipp ex) “Buku Merah” tersebut terekam dengan jelas di CCTV di ruang Kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada tanggal 7 April 2017, menjelang pukul 20.00 WIB. Pertanyaan yang mengelitik adalah, sepenting apa apa sampai Roland dan Harun perlu tipp ex halaman-halaman dalam Buku Merah? Toh, Tito Karnavian hampir dipastikan tidak terlibat ini.
Begitu pula yang terjadi dengan skandal pendapingan dan pengawalan Perwira Tinggi (Pati) Polri kepada Djoko Tjandra (Joker). Peristiwa ini menyeret tiga Pati Polri, yaitu Irjen Pol. Napoleon Bonaparte, Brigjen Pol. Prasetijo Oetomo dan Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo. Bahkan Napolen dan Prasetijo kini telah duduk di kursi terdakwa.
Nah, pada gilirannya yang seharusnya dibubarkan itu yang membunuh, atau yang dibunuh? Yang harusnya dihukum maling ayamnya (pelaku), atau pemilik ayamnya (korban). Teramat sulit rasanya memisahkan antara kasus kilometer 50 tol Japek (6 anggota FPI gugur ditembak polisi, Senin 7/12), dengan pembubaran Ormas FPI oleh SKB 6 petinggi negara di ujung tahun lalu.
Ini seperti omongan klasik “buruk muka, namun cerminnya yang dihancurkan”. Padahal yang salah adalah tampangnya sendiri yang memang jelek. Tampak yang tidak menarik. Namun karena merasa tidak terima mukanya “dijelek jelekin” oleh cermin, jadilah cerminnya yang dibanting, dan hancur.
Sikap yang umumnya dilakukan oleh preman ini, baik itu premanisme maunpun banditisme sangat membahayakan cermin-cermin yang lain. Sebab cermin-cermin yang lain kemungkina juga akan mengalami hal yang sama, yaitu terancam dihancurkan.