Mengapa Mesti Anies?

Anies Baswedan dilepas Jakarta, disambut Indonesia.

Tapi, sebaliknya justru berhasil mengendalikan oligarki. Contohnya, dia tidak surut ketika menghadapi tekanan untuk menetapkan kebijakan menghentikan perluasan reklamasi Teluk Jakarta.

Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior dan Pemerhati Persoalan Publik

DEKLARASI pencapresan Anies Rasyid Baswedan oleh Partai Nasdem tentu saja melahirkan pro dan kontra. Sesuatu yang wajar terjadi, ketika terjadi pembelahan di masyarakat selama ini dibiarkan saja.

Apalagi Anies adalah orang pertama yang dideklarasikan sebagai Bakal Calon Presiden (Bacapres) dalam pemilu 2024 mendatang. Ketika partai-partai lain bahkan masih ragu untuk menunjukkan calonnya.

Dan, hal itu diawali dengan begitu ngototnya Ketua KPK Firli Bahuri untuk menjadikan Anies sebagai tersangka dalam dugaan korupsi balap Formula E, dengan barang bukti yang tak cukup.

Sehingga Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mendahuluinya dengan mendeklarasikan Anies sebagai Bacapres.

Terlepas dari permainan politik di tingkat elit, masyarakat banyak ternyata melihat sesuatu yang lain pada mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa pendeklarasian dirinya sebagai salah satu Bacapres 2024 melahirkan antusiasme yang luar biasa di kalangan rakyat. Tidak hanya di ibukota Jakarta. Tapi bahkan di seantero kepulauan Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai ke Pulau Rote.

Sebuah fenomena pertama yang belum pernah terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa, jutaan relawan Anies tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Fenomena itu menimbulkan pandangan yang beragam. Tapi tak dapat dipungkiri, Anies begitu digandrungi. Dia seolah dipandang bagai manusia setengah dewa yang diutus Tuhan. Saat negara sedang dalam masalah besar.

Anies diharapkan rakyat sebagai tokoh yang akan melahirkan perubahan yang besar. Dari keterpurukan multi dimensi yang ada sekarang menjadi kejayaan yang dicita-citakan. Dari kehidupan rakyat yang morat-marit secara ekonomi menjadi kesejahteraan yang merata bagi semua kalangan.

Bahkan, juga dari ketidakadilan penegakan hukum menjadi penegakan hukum yang adil buat semua. Dan berbagai persoalan bangsa yang sudah sangat mendesak untuk dibenahi.

Suatu pemandangan yang aneh bisa kita lihat nyata sebagai bukti begitu eratnya kaitan Anies dengan hasrat rakyat banyak untuk bisa merasakan perubahan.

Ketika masa jabatannya habis, misalnya, dan dia harus meninggalkan Balai Bota Jakarta, Anies diapresiasi dan dielu-elukan jutaan warga miskin ibukota. Seperti diberitakan banyak media, ribuan warga menyerbu Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Ahad (16/10/2022).

Mereka ingin menyaksikan Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria yang hendak mengucapkan kata-kata perpisahan.

Ketika tiba di Bundaran HI sekitar pukul 07.57 WIB, Anies menyapa para peserta Car Free Day yang ada di lokasi itu. Tapi menjelang kedatangannya, warga Jakarta sudah bentangkan spanduk Terima Kasih Anies di Depan Plaza Indonesia. Ada juga yang meneriakkan “Anies for Presiden.

Pemandangan itu kontras sekali dengan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) saat kalah dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan mesti meninggalkan kantornya di Balai Kota Jakarta dalam kesunyian.

Karena Ahok hanya mendapatkan kiriman karangan bunga oleh sejumlah kalangan. Tidak ada rakyat yang melepas dan mengelu-elukannya. Dan, bisa ditebak bahwa puluhan karangan bunga itu berasal dari orang-orang kaya yang tentu saja pemuja Ahok.

Mengapa Anies?

Pertanyaan ini bisa jadi datang dari mereka yang tidak suka Anies. Atau, mereka yang lebih setuju dengan statusquo yang ada sekarang. Meskipun di hati kecilnya mengakui bahwa keadaan bangsa dan negara saat ini tidak baik-baik saja.

Dan tentu saja pertanyaan ini bisa dijawab oleh sebagian besar rakyat kecil yang kini terseok-seok menghadapi kenyataan beratnya beban ekonomi yang mesti mereka tanggung sehari-hari.

Dalam suatu kesempatan, mantan Menteri Pendidikan di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini pernah mengemukakan pandangannya tentang kebijakan masa lalu sejumlah pemerintahan di ibukota Jakarta.

“Selama bertahun-tahun di Jakarta, selalu dilakukan operasi yustisia. Untuk menjaring rakyat kecil dan orang-orang miskin dari desa yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik di ibukota,” begitu kata Anies.

Dan, pastinya mereka yang pernah tinggal dan menetap di Jakarta bisa memaklumi karena pernah menyaksikan langsung operasi yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) itu. Dapat dibayangkan, orang-orang yang miskin dan papa itu ditangkapi di terminal-terminal, stasiun-stasiun kereta dan di berbagai tempat kumuh lainnya.

Mereka dikejar-kejar, digelandang dan diperlakukan secara semena-mena di suatu tempat yang layaknya disebut penjara.

Mereka bukan penjahat. Mereka hanya ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi mereka kemudian dipaksa pulang kembali ke kampung halaman mereka.

Mereka seolah tidak dibolehkan untuk sejenak merasakan kenyamanan ibukota yang baru ada di angan-angan mereka. Suatu kebijakan yang tidak menghargai harkat kemanusiaan mereka.

Harus dimaklumi bahwa kebijakan itu sudah menjadi rahasia umum bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Bahwa penduduk luar Jakarta seolah tak berhak untuk tinggal dan menetap di ibukota. Dan ini hanyalah salah satu contoh kecil saja dari sejumlah kebijakan tentang keberpihakan Pemda DKI Jakarta kepada rakyat jelata yang papa.

Menurut Anies, operasi yustisia tidak pernah dilakukan di airport-airport yang merupakan tempat kedatangan orang-orang kaya. Sehingga, begitu jelas bagaimana pemerintah DKI Jakarta memperlakukan rakyat kecil yang papa itu. Perlakuan yang sangat kontras dengan kebijakan terhadap mereka yang berpunya.

Selama bertahun-tahun, persoalan ini seolah dianggap tidak masalah. Tapi di masa kepemimpinan Anies, kebijakan itu dihapuskan. “Kami melakukan perubahan terhadap kebijakan ini. Karena, menurut kami, Jakarta adalah kota untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh lagi ada rakyat yang diperlakukan semena-mena,” katanya.

Pengendali Oligarki

Berbeda dengan Joko Widodo yang selama ini oleh Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri disebut sebagai petugas partai dan oleh sejumlah pakar politik dianggap sebagai boneka oligarki, Anies tidaklah demikian.

Menurut pandangan pakar politik Eep Saefulah Fatah, selama lima tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies tidak menjadi petugas partai. Dia juga tidak dikendalikan oligarki.

Tapi, sebaliknya justru berhasil mengendalikan oligarki. Contohnya, dia tidak surut ketika menghadapi tekanan untuk menetapkan kebijakan menghentikan perluasan reklamasi Teluk Jakarta.

Meskipun triliunan dana disiapkan untuk menjegal Anies agar tidak lolos jadi presiden, namun para relawan yang sekarang bermunculan di mana-mana tidak mengalah. Karena dalam pandangan mereka, saat ini hanya Anies yang dapat diharapkan untuk melakukan perubahan yang mendasar.

Mengapa? Karena rakyat melihat bahwa Anies telah berhasil memenuhi janji-janji kampanyenya. Tidak seperti banyak tokoh lainnya yang tidak bebas membuat kebijakan demi rakyat banyak. Terutama janji-janjinya yang telah mengubah ibukota Jakarta menjadi lebih baik.

Semua itu jadi pusat perhatian rakyat Indonesia. Bukan hanya warga Jakarta. Di antaranya, Anies telah membangun Jakarta International Stadium (JIS) yang membanggakan. Stadion beratap penuh terbesar di Asia-Pasifik, yang dibangun dengan APBD Rp 4,5 triliun. Atapnya bisa dibuka tutup, kapasitasnya 82 ribu penonton.

Begitu juga penyelenggaraan balap mobil Formula E yang monumental, pembangunan setidaknya 103 jalur sepeda, penciptaan aplikasi moda transportasi terintegrasi JakLingko, pelebaran trotoar yang membuat Jakarta tambah cantik dan warga merasa sangat nyaman, pembangunan sumur resapan, pembangunan taman-taman kota yang indah, penggratisan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di bawah Rp 2 miliar, pembangunan instalasi jalur kabel bawah tanah yang dinamakan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT), dan banyak lagi lainnya.

Semua itulah yang dilihat rakyat pada Anies. Mereka lalu membayangkan bagaimana kalau Anies jadi presiden. Yang dapat melakukan perubahan di banyak bidang. Yang paling mendesak, pertama, adalah membangun perekonomian bangsa dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah.

Kedua, membebaskan diri dari ketergantungan kepada pihak asing mana pun. Termasuk mengembalikan seluruh Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang kian banyak jumlahnya ke negara asal mereka.

Ketiga, merombak sistem penegakan hukum ke arah yang berkeadilan. Dengan meninggalkan sistem penegakan hukum yang bobrok sekarang ini.

Selain itu, rakyat juga akan merasa bangga melihat pemimpin mereka mampu berbicara sekaligus berwibawa di forum-forum internasional. Mengembalikan harkat dan martabat bangsa sebagai bangsa yang setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya.

Semua itu tampaknya untuk saat ini hanya mungkin dilakukan oleh Anies. Tidak oleh para tokoh lain yang digadang-gadang akan menjadi Bacapres mendatang. (*)

823

Related Post