Mengenang Bang Ridwan Saidi
“Baca Qur’an, Jit. Dah gitu, kerja apapun, termasuk yang jadi andalan buat nyari nafkah, harus yang bikin senang di hati.” Secara diam-diam petuah itu saya jadikan ilmu dan teladan.
Oleh: Hendrajit, Wartawan Senior dan Pengkaji Geopolitik
PRIA asli Betawi ini lahir pada 2 Juli 1942, di Gang Arab Nomor 20, Sawah Besar, Jakarta. Kalau saya bilang Bang Ridwan asli Betawi, bukan karena melulu lantaran tinggal di Sawah Besar.
Babe kita yang wafat di usia 80 tahun ini, memang dibentuk oleh karakteristik geografis dan kearifan lokal Betawi.
Betapa tidak. Umur 5 tahun, sama neneknya diantar ke Masjid An Nur, Sawah Besar, yang didirikan M. Husnie Thamrin, untuk belajar ngaji pada Engkong Musa. Umur 6 tahun, masuk Sekolah Rakyat Taman Sari II pada 1948.
Waktu melanjutkan SMP, belajar di SMP II Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Nah, di SMP inilah Ridwan bersahabat dengan Ali Shahab anak asli Kwitang, yang kelak menaruh perhatian dalam pelestarian budaya Betawi. Belakangan, minat dan gelora hasrat Shahab nular ke Ridwan.
Malah Ridwan Saidi yang belakangan punya ragam minat yang lebih beragam daripada Shahab, mengembangkan kajian sejarah Betawi dalam lingkup yang lebih menasional.
Rupanya minat Ridwan kepada budaya Betawi memang sudah takdir yang membentang. Selain sohiban sama Ali Shahab, Ridwan berteman sama SM Ardan. Juga pegiat seni budaya Betawi. Ardan ini kebetulan juga anak Kwitang. Maka ketiga insan ini terjalin persahabatan akrab sampai akhir hayat.
Hanya bedanya Ridwan dibanding kedua sohibnya ini, belakangan punya minat lain di luar seni-budaya, yaitu politik. Untuk bidang satu ini, babe-nya Ridwan, bapak Abdurrahim, tanpa disadari Ridwan Saidi, jadi pupuk yang menyuburkan minat Ridwan kelak masuk dunia politik. Abdurrahim babenya Ridwan ini, selain mubaligh, juga aktivis Partai Islam Masyumi.
Ibunda bang Ridwan, Ibu Muhaya binti Tajeri, seperti umumnya mayoritas warga Betawi, mengamalkan tradisi ahlus-sunnah wal jamma'ah.
Setamat SMP, Ridwan masuk SMA yang termasuk favorit di Jakarta, SMA 1 Budi Utomo, Jakarta. Nah waktu di SMA ini, andaikan Ridwan Saidi tidak nyemplung ke politik, boleh jadi Ridwan akan dikenang sebagai seniman dan budayawan ketimbang politisi. Sewaktu di SMA 1 Budi Utomo inilah, Ridwan ternyata berbakat menulis puisi, cerita pendek, dan esai sastra.
Lulus SMA 1962 kemudian memasuki perguruan tinggi, Ridwan juga masuk perguruan tinggi negeri papan atas. Mulanya Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran. Entah kenapa cuma setahun pindah ke Universitas Indonesia, ambil FISIP yang dulu namanya Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan.
Sewaktu kuliah di UI inilah, gelora hasrat politiknya makin mekar, sewaktu bergabung jadi Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menariknya lagi, sebagai aktivis HMI Ridwan mulai debutannya sebagai Sekretaris Rayon Pasar Baru, Kota, dan uniknya lagi, kantor sekretariatnya di rumahnya sendiri.
Alhasil, HMI merupakan starting point Ridwan sebagai aktivis dan politisi dalam orbit perjuangan Islam. Kelak Ridwan merupakan politisi jajaran atas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang ditakuti pemerintahan Suharto dan Golkar.
Ridwan lumayan lama juga ngendon di kampus, 14 tahun. Ia baru lulus kuliah pada 1976, dengan skripsi berjudul “Beberapa Segi Pengambilan Keputusan Pada Organisasi ASEAN”.
Sedemikian rupa minat besarnya pada politik, tak heran ketika terpilih sebagai anggota DPR dari PPP, beberapa kali didapuk duduk pada komisi bidang APBN dan Komisi X.
Di PPP, dua unsur kunci adalah NU dan Muslimin Indonesia. Ridwan yang berasal dari geneologi keluarga besar Masyumi, rupanya lebih nyaman gabung di Muslimin Indonesia. Meski amalan ibadah keislamannya yang ahlush-sunnah wal jama'ah seperti umumnya Betawi, sebenarnya bernafaskan NU.
Ridwan pernah menjabat Sekjen PP Muslimin Indonesia pada 1985-1987. Namun legenda Ridwan justru semasa kemahasiswaan. Pada 1973-1975, pas lagi aktif-aktifnya sebagai aktivis HMI, pernah menjabat Sekretaris Jenderal Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara. Pada 1972, salah satu pemrakarsa berdirinya forum 5 organisasi mahasiswa “Kelompok Cipayung”.
Bukan itu saja. Pembaca tahu yang namanya Komite Nasional Pemuda Indonesia atau KNPI? Nah, Ridwan salah satu pendirinya pada 1973.
Dari sebab reputasinya yang produktif dan inovatif di dunia politik pemuda dan kemahasiswaan, Ridwan terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI pada 1976. Dari sini, karir politik Ridwan moncer dan meroket, jadi anggota. DPR RI Partai PPP.
Sebagai politisi Ridwan adalah gambaran profil insan politik yang kreatif, inovatif dan kritis.(KIK) Boleh jadi watak kreatif dan inovatifnya justru terpupuk semasa bergelut di seni budaya dan bergaul dengan seniman budayawan seperti Shahab dan Ardan.
Sayangnya sistem politik Orde Baru era Pak Harto tidak memberi ruang buat sosok KIK ala Ridwan. Ridwan hanya dua periode jadi anggota DPRI RI Fraksi PPP. Periode 1977-1982, dan periode 1982-1987.
Setelah pensiun dari DPR dan terlempar dari konstelasi PPP semasa kepemimpinan John Naro, Ridwan memang kalah di politik, tapi tidak tamat.
Minatnya yang luas dan beragam dalam politik, ekonomi, budaya dan sejarah, Ridwan mulai merintis reputasi sebagai intelektual dan budayawan sampai akhir hayatnya.
Minatnya dalam bidang intelektual malah sudah terpupuk sejak masih politisi DPR. Pada 1983 buku karyanya berjudul “Islam, Pembangunan Politik dan Politik Pembangunan”.
Minatnya pada kajian sejarah ternyata cukup serius juga. Ia secara khusus menulis sebuah buku bertajuk “Cendekiawan Zaman Belanda, Studi Pergerakan Intelektual JIB dan SIS”, terbit pada 1990.
Sebagai novelis, Ridwan sempat memamerkan kebolehannya ketika pada 1996 secara mengejutkan menerbitkan sebuah novel bertajuk “Diburu Mossad” yang menggunakan setting budaya Betawi.
Tak berlebihan kalau Ridwan merupakan manusia multi-dimensi. Saya mulai kenal bang Ridwan tatap muka pada 2004-2005. Waktu itu usia Ridwan 57 tahun saya masih 36 tahun. Namun dalam penglihatan saya kala itu, Ridwan terlihat jauh lebih muda dari usianya. Dan energinya bukan energi orang tua yang mulai lelah jiwa, melainkan energi yang masih usia 30 tahunan.
Kontan saya bertanya, “Bang, apa resep biar awet muda.”
“Baca Qur’an, Jit. Dah gitu, kerja apapun, termasuk yang jadi andalan buat nyari nafkah, harus yang bikin senang di hati.” Secara diam-diam petuah itu saya jadikan ilmu dan teladan.
Tapi ada yang waktu itu tidak dia sampaikan ke saya, namun dalam kali kesempatan bertemu beliau, tanpa disadari pria penggemar sepakbola itu menambahkan lagi satu resep awet muda, meski itu dari kesimpulan saya sendiri.
“Males ane Jit, kalau pas ngumpul temen-temen ane yang seumuran. Yang dibicarain kalau nggak asam urat, mulai sering sesak napas, ya rupa-rupa penyakit lainnya. Kayak nggak ade obrolan lainnya.”
Meski ini sekadar cerita curhat, saya nangkap ada ilmu hikmahnya juga. Seakan ngasih saya petuah: “Jit, kalau mau awet muda, banyak banyaklah ngumpul sama yang jauh lebih tua atau malah yang jauh lebih muda.”
Kalau saya renungkan, bener juga petuah Babe kita ini. (*)