Menonton Rezim Coba-Coba
ADA tontonan menarik dari iklan televisi era tahun 2000-an. “Buat anak kok coba-coba.” Demikian harapan seorang nenek kepada ibu muda tentang obat gosok yang tepat untuk cucunya. Pesan iklan minyak angin ini bisa ditebak bahwa untuk urusan anak kecil jangan gegabah mengambil keputusan. Sebab bila salah bisa fatal akibatnya.
Pesan mulia ini seharusnya dihayati dan diamalkan oleh rezim ini, bahwa segala sesuatu harus dipertimbangkan dengan matang, agar tak menyesal di kemudian hari. Mengelola negara tidak boleh grusa-grusu, serampangan, dan coba-coba.
Di tengah pandemi Covid-19 yang semakin meningkat ini, masyarakat sebetulnya menunggu-nunggu kebijakan rezim yang proaktif dan tepat sasaran. Tetapi yang terjadi justru kebijakan gonta-ganti, tambal sulam dan bongkar pasang. Akibatnya banyak sekali kebijakan rezim yang menghasilkan output yang kurang baik.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) misalnya. Ini adalah kebijakan banci dari pelaksanaan lockdown, yang dilakukan oleh beberapa negara lain di seluruh dunia. Pemerintah tak mau keluar duit jika harus lockdown, maka dipilihlah istilah PSBB. Kebijakan setengah hati ini belum berjalan dengan baik, apalagi kemudian anggarannya dikorupsi oleh Menteri Sosial, tiba-tiba berganti nama dengan istilah PPKM (Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
Anehnya, kebijakan PPKM ini dibebankan ke kelompok masyarakat paling bawah yakni RT dan RW. Namanya PPKM Skala Mikro. "Berdasarkan Keputusan Presiden kita, bahwa mulai tanggal 9 Februari 2021 ini akan dilaksanakan PPKM skala mikro. Artinya harus ada posko di desa, posko yang mendampingi Puskesmas, yang mendampingi tim pelacak," kata Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Nasional Alexander Kaliaga Ginting dalam siaran pers di twitter BNPB, Jumat 5 Februari 2021.
Kebijakan coba-coba juga dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Gubernur andalan PDIP itu awalnya mewajibkan warga Jateng untuk ndhekem (mengurung diri) di rumah selama 2 hari Sabtu-Minggu. Perintah dilakukan secara masif, terstruktur, dan kilat melalui Pemkab dan Pemkot. Surar diedarkan, brosur disebar, video diviralkan, medsos dikerahkan, dan media massa digerakkan.
Nyatanya masyarakat Jateng keberatan dengan perintah sang gubernur. Mereka beralasan, akhir pekan justru waktu yang tepat untuk mencari nafkah ketika para pekerja kantoran berbelanja. Pedagang kaki lima, asongan, warung kecil, dan pekerja lepas, lebih banyak mengais rejeki di akhir pekan.
Tak hanya itu, penolakan juga datang dari Kusdinar Untung Yuni Sukowati, Bupati Sragen. Ia khawatir, PPKM Sabtu-Minggu justru akan meningkatkan jumlah orang hamil. Maklum pada Juni 2020, jumlah kehamilan di Kabupaten Sukoharjo meningkat 10 persen gara-gara diam di rumah. Ganjar pun menyerah, perintah gubernur diubah hanya sekadar himbauan.
Aksi coba coba juga dilakukan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto. Politisi PAN itu menutup aktivitas Kota Bogor pada Sabtu-Minggu. Perintah yang tak dibarengi dengan kompensasi itu diprotes masyarakat. Akhirnya perintah diubah menjadi tindakan persuasi, yakni setiap kendaraan yang hendak ke Bogor diminta putar balik.
Lain lagi mantra coba-coba yang dideklarasikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sadar persediaan uang negara tinggal recehan, ia memotong anggaran insentif untuk tenaga kesehatan. Perintah tidak populis ini langsung ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia dan komunitas tenaga kesehatan seluruh Indonesia. Buntutnya Sri Mulyani membatalkan kebijakan yang tidak bijak itu.
Hobi coba-coba tak hanya menyerang walikota, gubernur atau menteri. Jantung kekuasaan juga terkena virus coba-coba. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko mencoba berikhtiar ingin menguasai Partai Demokrat untuk kemudian bisa menjadi calon presiden. Namun, ikhtiarnya tampak sekali dilakukan dengan cara kasar dan gegabah. Sebelum libido kekuasaan bisa direngkuh, ia tercium hendak mengkudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pucuk pimpinan Partai Demokrat. Beruntung AHY sigap dan responsif. Ia menggelar konferensi pers menelanjangi kudeta yang gagal yang dilakukan oleh 4 orang mantan kader Demokrat yang kecewa dan 1 orang istana yang ambisius. Moeldoko pun malu dan antiklimkas.
Rezim ini tidak sekadar suka coba-coba, tapi juga semaunya bikin aturan. Rakyat dianggap bebek yang bisa diarahkan ke mana saja tunjuk penggembala mau. Tabiatnya sangat bertentangan dengan iklim demokrasi yang lebih fair dan elegan.
Rezim tampaknya harus kucing-kucingan dengan masyarakat. Mereka sadar, banyak kebijakan yang diabaikan oleh masyarakat. Maka, banyak kebijakan yang dilakukan secara sembunyi- sembunyi dan dipaksakan. Bahkan tidak aneh, ada keputusan yang dilakukan pada tengah malam.
Coba kita simak. Pandemi tak terkendali, yang diurus malah sertifikat tanah. Sistem sekolah jarak jauh yang harus dibenahi, yang disorot malah seragam sekolah. Ekonomi nyungsep, hutang meroket, pengangguran merajalela, yang dibombardir malah aktivis Dinar dan Dirham. Umat Islam butuh keadilan, yang ditangani malah gerakan wakaf nasional. Rezim tak sadar, bahwa saat ini tengah berjangkit fenomena low trust society.
Begitulah rezim yang mendewakan strategi coba-coba. Semua berjalan setengah hati, mogol, dan mangkrak. Pun demikian Anda jangan coba coba kritis terhadap rezim, Anda akan dituduh pembangkang, makar, kadrun, radikal, antiNKRI, intoleran dan pejuang khilafah. Label yang tak berdasar dan menyakitkan.
Buah yang kita petik hari ini adalah buah yang ditanam 6 tahun yang lalu saat presiden masih jadi gubernur. Ketika itu terjadi kampanye massif di kalangan marhanenis bahwa telah datang ratu adil yang kita tunggu-tunggu. Sosoknya sederhana, polos, jujur, dan rakyat biasa. “Kita akan coba Jokowi jadi presiden. Kita pernah punya presiden militer, kyai, perempuan, dan tekhnokrat. Sekarang kita coba rakyat jelata.” Demikian bisikan yang terdengar di kuping-kuping wong cilik.
Urus negara kok coba-coba. (SWS)