Menyoal Selisih Lebih Dana Haji

Oleh Djony Edward - Wartawan Senior FNN

BEBERAPA waktu lalu Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan rencana kenaikan Biaya Penyelenggaraan Biaya Haji (BIPIH) pada 2023 menjadi Rp98,8 juta.

Menag menawarkan skema pembayaran dengan komposisi 70% ditanggung jamaah haji sebesar Rp69,2 juta, sedangkan 30% sisanya dibayarkan dari hasil nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.

Dengan usulan ini, tentu saja besaran BPIH yang ditanggung jemaah sebesar Rp69,2 juta ini melonjak nyaris dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp39,8 juta.

Tentu saja rencana itu menimbulkan pro dan kontra. Karena di waktu yang semakin mepet jamaah haji harus menambah pelunasan BIPIH sebesar Rp44 juta, dari seharusnya Rp15 juta. Kebijakan ini bisa blunder, karena mayoritas jamaah haji tunggu adalah petani, nelayan, pedagang kecil yang menabung untuk biaya tersebut. Bahkan ada yang harus menjual sapi, kerbau, sawah, dan rumah bertahun-tahun untuk bisa berangkat haji. Tentu saja kalau diminta mendadak akan banyak korban jamaah haji yang batal berangkat.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Profesor Keuangan Universitas Padjadjaran Dian Masyita, disebutkan biaya haji 2023 cukup Rp40 juta. Yakni dengan menurunkan komposisi biaya haji 40% oleh ditanggung jamaah dan 60% atau Rp56 juta ditanggung oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dengan demikian jamaah tinggal menambah BIPIH Rp3 juta setiap tahunnya. 

Dengan perhitungan tersebut, jika dimulai di tahun 2023 biaya pelunasan sebesar Rp15 juta, kemudian naik menjadi Rp18 juta di 2024, kemudian menjadi Rp22 juta di 2025 dan seterusnya maka selama 10 tahun setoran pelunasan biaya keberangkatan haji dapat bernilai Rp44 juta pada tahun 2034.

Usulan ini cukup moderat, namun apapun, Menag Yaqut dikabarkan pada Selasa (14/2) akan mengumumkan keputusan BIPH yang dibebankan kepada jamaah. Kita tunggu saja.

Selish Lebih Dana BPKH

Lepas dari berapa BIPIH yang akan diputuskan Menag, dengan segala pro dan kontranya, ada sesuatu yang patut dipertanyakan. Terutama menyangkut dana kelolaan BPKH yang sampai Desember 2022 disebutkan mencapai Rp166 triliun.

Jika jumlah jamaah haji tunggu tercatat sebanyak 5,3 juta jamaah dengan uang setoran awal sebesar Rp25 juta, maka total dana setoran awal hanya Rp132,5 triliun. Lantas kalau sampai akhir Desember 2022 dana kelolaan BPKH mencapai Rp166 triliun, ada selisih lebih dana setoran awal itu tercatat Rp33,5 triliun (Rp166 triliun-Rp132,5 triliun). 

Dari mana dana selisih lebih tersebut? Disebut dana apakah itu? Sejauh ini tidak ada penjelasan yang transparan dari BPKH maupun Kemenag. Apakah dana itu tak bertuan? DPR, pengamat, akademisi pun sejauh ini sama sekali tidak pernah menyinggung selisih lebih dana BPKH tersebut.

Apakah dana tersebut berasal dari jamaah haji yang berhalangan berangkat atau meninggal saat tiba waktunya berangkat haji dan tidak diketahui ahli warisnya? Konon kabarnya jumlahnya ribuan, kalau terjadi tiap tahun tentu akumulasi selisih lebih dana itu juga besar. Tapi sebesar-besarnya jumlah dana jamaah yang berhalangan tersebut tidak sampai Rp33,5 triliun, mengapa BPKH tidak transparan dalam mengungkap atau menyosialisasikan dana tersebut?

Dana itu harus dijelaskan setransparan mungkin, dana apakah namanya? Darimana kah sumbernya? Dan untuk apakah peruntukkannya? Andaikan dana itu digunakan untuk mensubsidi dana jamaah haji sangat besar dan cukup, artinya BIPIH tidak perlu naik.

Hal lain yang belum transparan diungkap BPKH adalah dana di virtual account yang diperuntukkan buat jamaah lewat rekening pribadi, setiap tahunnya lebih dari Rp2 triliun. Faktnya dana itu tetap dipegang oleh BPKH, dikemanakan dana itu? Diputar dalam bentuk apa? Dan berapa hasilnya? Juga tidak ada penjelasan yang rinci dan transparan dari BPKH.

Dengan berpikir husnudzon, tentu dana itu terkelola dengan baik oleh BPKH. Namun penjelasannya tidak pernah ada, narasinya seperti apa, transparansinya tidak muncul.

Belum lagi jika dana BPKH Rp166 triliun ditanamkan dalam sukuk (obligasi syariah) dengan return 5% sampai 6% saja, maka akan diperoleh dana return sebesar Rp8,3 triliun hingga Rp9,96 triliun. Jumlah ini lebih besar dari beban biaya pemberangkatan haji sesuai kuota yakni sebanyak 221.000 jamaah, jika dikalikan Rp40 juta, maka didapat Rp8,84 triliun. Masih masuk jumlahnya.

Apalagi sepanjang tahun 2020-2021 jamaah tidak diberangkatkan, sebagian diberangkatkan pada 2022. Artinya dana imbal hasil investasi BPKH menumpuk, konon kabarnya sampai Rp27 triliun. Kalau pada 2022 dipakai Rp6 triliun, masih ada sisa Rp21 triliun.

Andaikan BPKH mau mensubsidi jamaah haji Rp60 juta per orang, maka perlu tambahan dana Rp13,26 triliun. Dana tersebut masih sisa Rp7,74 triliun. Artinya BIPIH tidak perlu naik karena dana BPKH dan hasil dari perputaran dana investasi BPKH masih sisa banyak.

Melihat realitas tersebut di atas, tidak perlu ada penambahan BIPIH. Apalagi alasannya takut dana BPKH tergerus gegara mensubsidi jamaah haji. Atau memang pengurus BPKH sekarang ini over prudent sehingga perlu mencadangkan BIPIH secara berlebihan. Tidak elok sepertinya.

Belum lagi jika Kemenag sebagai penyelenggara haji mau melakukan efisiensi transportasi, akomodasi dan katering, maka akan diperoleh cadangan lebih banyak lagi. Tinggal kebijakan politik ini mau diarahkan kemana.

Motif berhaji dan mengurus haji itu sejatinya adalah untuk ibadah, tapi dalam perjalanannya dirasuki unsur politik, bisnis dan sosial budaya. Sehingga biaya haji menjadi tidak masuk akal, karena ada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan secara politik, secara bisnis maupun secara sosial budaya.

Mari kita luruskan niat berhaji, luruskan niat penyelenggara haji. Agar jamaah haji bisa memperoleh predikat haji mabrur. Allah kariim!

376

Related Post