Mungkinkah Kapolri Baru Tolak Perintah Presiden?

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum

Jakarta FNN - Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat republik? Apakah Kapolri nanti mengerti hakikat polisi negara apa? Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat rule of law? Apakah Kapolri baru nanti berpaham Presiden sama dengan negara? Apakah Kapolri nanti menyamakan perintah Presiden itu sama dengan perintah hukum?

Bagaimana pemahaman Kapolri mengenai konsep ketertiban dan keamanan dalam kerangka negara hukum demokratis? Apakah Kapolri baru nanti mengerti sepenuhnya konteks dan hakikat salus populi suprema lex esto? Bagaimana dia kerangkakan salus populi suprema lex esto itu ke dalam rule of law? Apakah Kapolri baru nanti memahami hukum sebatas teks pasal? Semoga hal-hal itulah yang ditanyakan oleh DPR kepadanya pada waktu fit and proper test nanti.

Dulu Pernah Ada

Jendral Polisi Hoegeng, tidak banyak bicara soal itu. Tetapi untuk alasan sengeyel apapun, tak bakal mampu menyangkal kenyataan pria ini memiliki kelas dan mengagumkan. Level tak tertandingi sejauh ini. Bukan kesederhanaannya saja yang membuatnya berkelas, tetapi lebih dari itu. Prinsipnya jelas.

Berada dalam koridor kekuasaan, yang semua orang picik berebut berada di dalamnya. Menggenggam dengan cara yang khas orang-orang kecil, Pak Hoegeng, justru menjauh darinya. Top Pak Hoegeng, yang tak mampu, sekadar basa-basi saja, menyenangkan bosnya, Presiden Soeharto.

Hoegeng dikenang orang hingga di kabupaten Sula, Maluku Utara ini, orang hebat. Ia tak mereandahkan harga dirinya. Tak mampu membebek, membungkuk agar bisa terus berada di koridor kekuasaan. Bapak yang kehormatan selalu bergerak menujunya, memeluknya, hebat sekali. Pak Hoegeng itu konsisten.

Laksana busur pemanah kawakan. Dua peristiwa berat secara politik, ia tangani dengan cerdas. Kasus seorang anak pembesar di Yogya, dan kasus penyelundupan mobil mewah di Jakarta, yang bertali-temali dengan pembesar-pembesar politik, rontok di tangan pria lembut dan murah senyum ini.

Mungkin terlihat bodoh bagi para pembebek. Untuk para hamba kekuasaan dan uang, Pak Hoegeng akhir terlempar dari jabatannya. Diberhentikan oleh Pak Harto. Apa yang membuatnya begitu kukuh menggenggam kejujuran, keadilan dan kesederhanaannya? Tak ada yang tahu.

Ada kata-kata muitiara dari Ating, tulis Aris Santoso , DKK, dalam bukunya Hoengeng, yang terus melekat di benak Hoegeng. “Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Kalau tidak pandai menggunakannya, maka bisa mendatangkan bahaya, baik pada pemiliknya, maupun orang lain.

Ingat, tulis Aris Santoso Dkk, melanjutkan kata-kata bijak Ating yang melekat pada Hoegeng, “hanya orang berilmu yang mampu menggunakan kekuasaan yang ada ditangannya, untuk menolong orang-orang yang lemah dan tidak bersalah” (tanda petik dari saya). Karena itu, Hoegeng harus sekolah baik untuk menjadi Polisi, untuk menolong orang lemah yang tidak bersalah.

Pria Pekalongan ini, memang pantas menjadi alamat untuk kehormatan. Pria kelahiran 14 Oktober 1921, dan berpulang ke rahmatullah tanggal 14 Juli 2004, akan selalu begitu. Dia dirindukan orang waras, cinta kejujuran, kebenaran dan keadilan setiap kali melihat diksriminasi hukum, lembut atau ekstrim.

Ada Pak Hoegeng, semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan Rahim-nya, juga Pak Prapto, Jaksa Agung 1950-1959. Prapto, pria kelahiran 2 Maret 1894 pernah bertugas diberbagai tempat. Pernah menajdi voorzitter pada Landraad Banyuwangi, Singaraja, Bali, dan Lombok pada tahun 1920 hingga 1929. Dia juga pernah menjadi hakim di Salatiga dan Pekalongan pada tahun 1941-1942, dan Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tahun 1948.

Lima bulan menjadi hakim Agung (20 Juli 1950), Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung. Pengangkatan ini dituangkan dalam Kepres No. 64 pada 2 Desember 1950. Bening dengan kejujuran, berkilau dengan keadilannya, Pria ini menolak perintah Presiden Soekarno, untuk satu urusan kecil, tetapi penting.

Soeprapto menolak melaksanakan perintah Bung Karno, yang menurut penilaiannya bertentangan dengan hukum. Perintah Bung Karno itu adalah menindak Mochtar Lubis, penanggung jawab Harian Indonesia Raya. Karena berita-beritanya Harian Indonesia Raya yang dinilai mencemarkan nama baik Bung Karno, ditolak Prapto.

Jauh setelah masa keduanya, tata negara dan politik Indonesia menemukan Pak Jendral Suroyo Bimantoro. Kapolri yang satu ini juga top. Sikapnya menolak melaksanakan tindakan atau perintah Presiden, jelas. Pria pintar ini, begitu kukuh menjaga marwah konstitusi dan eksistensi Kepolisian. Top.

Agungkan Konstitusi

Pak Hoogeng dan Pak Prapto, jelas, teladan dunia hukum negeri ini. Diseberang jauh, dunia baru saja menyaksikan kebesaran Mark Esper, Menteri Pertahanan Donald Trump ini memutuskan hubungan dengan Trump setelah secara terbuka menentang permohonan Insurection Act of 1807, terkait perintah Trump untuk penempatan pasukan aktif di kota-kota Amerika. Esper mengatakan bahwa "Pengawal Nasional paling cocok untuk melakukan dukungan domestik kepada otoritas sipil.”

Saya mengatakan ini tidak hanya sebagai Menteri Pertahanan. Saya mengatakan ini juga sebagai mantan tentara, dan mantan anggota Garda Nasional. Pilihan untuk menggunakan pasukan aktif dalam peran penegakan hukum sebaiknya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dan hanya dalam dan situasi yang mengerikan. Top markotop Mark Esper.

Kami, kata Esper, tidak berada dalam salah satu situasi itu sekarang. Saya tidak mendukung penerapan Insurrection Act. "Hebat, Esper menemukan langkah-langkah di hari-hari berikutnya untuk lebih menurunkan situasi. Esper mengembalikan pasukan ke pangkalan mereka tanpa memberi tahu Gedung Putih. Dia begitu faham konstitusi. Sehingga dia faham dan tunduk hanya kepada konstitusi, juga prinsip-prinsip demokrasi. Super top Mark Esper.

Lain Esper, lain pula Jeffrey Rosen, Deputy Attorney General, meninggalkan jabatan yang disandangnya, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkarir di kementerian ini. Rosen memutuskan meninggalkan jabatannya, karena satu alasan yang khas konstitutional. Rosen menilai William Barr, Bosnya, telah menggunakan, mendedikasikan kementerian untuk kepentingan politik Trump, bukan untuk konstitusi.

Tragis, William Barr, sang Jaksa Agung, akhirnya juga frustrasi dengan perintah Trump. Karena Trump perintahkan Barr untuk menyediliki kecurangan pemilu, yang ternyata tidak ditemukan, justru membuat Trumph marah. Trumph juga marah, karena Barr dinilai tidak tuntas mengusut Hunter Biden, anak Joe Biden, Presiden terpilih.

Frustrasi dengan perintah Trump yang menyebalkan berbagai kalangan sejauh ini, karena dinilai merusak konstitusi, Barr kehilangan kemampuannya menjadi jongos Trump. Harga dirinya bergerak naik, dan menguat melemahkan energinya melayani administrasi Trumph.

Barr akhirnya menemukan dirinya sebagai laki-laki terhormat. Dia memilih meletakan jabatan itu. Selalu seperti sebelumnya, Trump mempersilahkannya, sembari mengucapkan terima kasih, member pujian politis kepada Bar (Lihat Spectrum News, Com. 23/12/2020).

Kepala polisi Capitol AS dan dua pejabat keamanan senior, juga memperlihatkan level integritasnya yang sama. Menyusul pendudukan dan pengrusakan Capitol Hill, mereka mengundurkan diri. Apalagi seiring terjadinya peristiwa jorok itu, kritik masyarakat bergerak naik. Polisi dinilai ceroboh menangani serangan kejam pendukung Trump terhadap Capitol Hill.

Nancy Pelosi, House Speker dari Demokrat, terlepas dari kenyataan dirinya cukup sering berseberangan dengan Trump, mengecem aksi ini. Tidak sendirian di barisan, tokoh senior lainnyapun mengecamnya. Steven Sund, Kepala Polisi Capitol Hill, tidak ngeyel khas polisi-polisi kerdil, untuk kelalaiannya itu. Dia mengundurkan diri dari jabatan itu, terhitung efektif mulai 16 Januari nanti (The Guardian, 8/1/2021).

Presiden, dalam semua republik, tidak dapat disamakan, apapun alasannya, dengan konstitusi. Presiden tidak sama dengan hukum, apalagi hukum itu sendiri. Presiden adalah nama jabatan, yang pemangkunya (orangnya) dibebankan kewajiban melaksanakan konstitusi. Melaksanakannya juga harus adil.

Adil mensyaratkan presiden harus transparan, dengan argumen-argumen konstitusi. Presiden juga harus tahu dignity, dan humanity. Dia harus tahu equality before the law dalam semua aspek kehidupan. Presiden, harus tahu Polisi kita, dengan argumentasi apapun, tidak bisa dikonstruksi menjadi Polisi Presiden Republik Indonesia. Betul, presiden adalah satu-satunya figur tata negara memegang kewenangan melaksanakan hukum. Betul itu. Tetapi Polisi kita, bukan Polisi presiden.

Kepolisian kita adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Itulah status konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Kepolisian Republik Indonesia. Sehingga Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus memahami prinsip-prinsip konstitusi itu. Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus mengikatkan diri sepenuhnya pada konstitusi.

Kapolri baru, terlepas dari siapapun orangnya, harus mengkerangkakan norma “menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam UUD 1945 ke dalam konsep negara hukum yang demokratis. Konsep ini juga dinyatakan dalam UUD 1945.

Polisi itu punya hukum dan bedil. Jaksa hanya punya hukum, tanpa bedil. TNI hanya punya bedil, tak punya hukum. Polisi, sekali lagi, memiliki kedua-duanya. Demi bangsa ini, kewenangan ini harus ditata. Ilmuan tata negara dan politik yang mendalami sejarah, mengerti aksioma sejarah dua alat itu.

Aksioma itu sangat yang jelas. Bedil dan hukum selalu dipakai, dengan berbagai alasan khas rezim bejat, untuk memperbesar kekuasaannya. Melumpuhkan, memenjarakan dan membunuh orang-orang yang berseberangan dengan penguasa. Penguasa-penguasa bejat membentengi kekuasaannya, hanya dengan dua alat itu, hukum dan bedil.

Aksioma itulah yang merangsang orang-orang bijak yang memimpikan demorasi menggariskan prinsip-prinsuip penggunaan hukum dan bedil. Harus ada restriksi. Tujuannya melindungi dan eksistensi rakyat. Akhirnya digariskan kewenangan menggunakan dua alat itu dapat diletakan hanya pada orang yang beres otak dan mentalnya. Bukan pada orang yang kaleng-kelang, odong-odong dan beleng-beleng.

Terlalu sukar untuk tak menilai bahwa salus populi suprema lex esto, sejauh ini, telah dimaknai secara keliru. Doktrin ini terlihat konyol penerapannya. Main buntuti, tembak dan bunuh, sebagaimana yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), harus dilihat sebagai bentuk kongkrit dari kekeliruan memahami salus polpuli suprema lex esto itu.

DPR harus mengerti itu. Sebab gagasan itulah yang menjadi akar lahirnya fit and proper test. Secara praktis fit and proper test, merupakan cara politik rakyat mengecek level otak dan mental orang yang bakal memegang kewenangan itu. Darah yang tertumpah dan nyawa yang melayang di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu, yang menambah darah-darah yang telah lebih dahulu tumpah dan nyawa-nyawa yang telah lebih dahulu melayang, harus menjadi yang terakhir.

Kesewenang-wenangan hukum harus diakhiri. Akankah sejarah hukum dan tata negara Indonesia kelak, menuliskan lagi nama seorang Kapolri, yang dengan cara halus, menolak melaksanakan perintah Presiden? Hanya karena perintah itu dinilai bertentangan dengan rule of law dan etika republik? Sejarah punya cara untuk membicarakannya.

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

598

Related Post