Nasib Rakyat Miskin: Antara Subsidi BBM & Politik Perlindungan Sosial (Bagian I)
Oleh Abdurrahman Syebubakar - Kritikus Sospol & Analis Ekonomi-Politik Perlindungan Sosial
AWAL 2014, saya menulis artikel bertajuk “Why are the poor getting poorer? (Mengapa rakyat miskin semakin miskin?)” yang dimuat Harian the Jakarta Post. Tulisan ini sempat mendapat sorotan sejumlah kalangan di pemerintahan SBY, termasuk para elit Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di bawah Sekretariat Wakil Presiden, lembaga tempat saya bekerja saat itu.
Inti tulisan tersebut, di antaranya, pemotongan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) berkontribusi terhadap kenaikan jumlah dan tingkat deprivasi penduduk miskin. Konon, kebijakan ini terpaksa dilakukan guna mengurangi tekanan terhadap kas negara, dan dalam rangka menggelar keadilan di tengah-tengah masyarakat karena sebagian besar subsidi BBM dinikmati kalangan berpenghasilan menengah ke atas, bukan rakyat miskin. Alasan normatif ekonominya adalah subsidi barang, seperti BBM, mendistorsi mekanisme pasar.
Saat itu, untuk mengatasi dampak negatif kenaikan harga BBM terhadap masyarakat miskin, pemerintah menggelontorkan paket kompensasi bantuan sosial, dalam bentuk program bantuan langsung tunai sementara tanpa syarat (BLSM) dengan nilai Rp150 ribu kepada rumah tangga miskin setiap bulan selama empat bulan. Pemerintah juga memperluas program bantuan sosial yang sudah ada, termasuk beras bersubsidi untuk masyarakat miskin (Raskin) dan Bantuan Tunai Siswa Miskin (BSM). Paket-paket bantuan tersebut disalurkan melalui satu Kartu Perlindungan Sosial (KPS), dan didistribusikan kepada 25 persen penduduk termiskin yang mencakup sekitar 15,5 juta rumah tangga.
Setelah itu, apa yang terjadi?
Ada kemungkinan paket kompensasi ikut berperan dalam mencegah terjadinya keresahan sosial. Selain itu, beban sebagian masyarakat miskin, yang timbul akibat kenaikan harga BBM, mungkin menjadi lebih ringan. Tetapi, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin per September 2013 sebanyak 28,55 juta (11,47%), naik 480 ribu jiwa, dari 28,07 juta (11,37%) pada bulan Maret tahun yang sama. Artinya, paket kompensasi tidak mampu membantu rakyat dalam mengatasi dampak negatif kenaikan harga BBM.
Sederhananya, masyarakat miskin mengalami kerugian neto (net-loss) dalam neraca kesejahteraannya. Oleh karena itu, hipotesis bahwa pengurangan subsidi, yang disertai paket kompensasi, mendatangkan keadilan bagi rakyat miskin, gugur dengan sendirinya. Alih-alih keluar dari jeratan kemiskinan, masyarakat miskin justru semakin menderita.
Bagaimana dengan kondisi sekarang?
Hal yang sama terjadi di era pemerintahan Presiden Jokowi, dengan dampak negatif yang lebih luas. Kendati berjanji tidak akan ada kenaikan harga BBM, tak lama berselang setelah pelantikannya, Presiden Jokowi menaikkan harga BBM pada bulan November 2014. Kompensasi yang diberikan kepada rakyat kecil, tidak sebanding dengan dampak yang diterima akibat kenaikan harga BBM. Tak ayal, kondisi kehidupan mereka tergerus. Lima bulan kemudian, pada Maret 2015, tercatat jumlah penduduk miskin bertambah sebesar 860 ribu jiwa (hampir dua kali lipat jumlah kenaikan pada 2013) dengan deprivasi (penderitaan) yang semakin parah. Di periode pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi berkali kali menaikkan harga BBM.
Kini, di saat sebagian besar rakyat masih tertekan dampak pandemi COVID-19, Presiden Jokowi kembali akan mengurangi subsidi BBM, listrik dan gas, sehingga harganya akan segera naik.
Deretan dalih pemotongan subsidi tidak jauh berbeda dari alasan-alasan klasik yang dipakai selama ini, mulai dari kuatnya tekanan terhadap APBN, pemborosan uang negara, hingga mantra keadilan dan transisi menuju BBM ramah lingkungan. Dalih yang terakhir ini sangat bertolak belakang dengan perilaku pembangunanisme pemerintahan Jokowi yang ugal-ugalan menjalankan proyek-proyek infrastruktur fisik dengan mengorbankan keselamatan lingkungan hidup dan kepentingan rakyat banyak.
Yang sangat memperihatinkan, Presiden Jokowi secara serampangan membandingkan harga BBM di Indonesia dengan harga yang berlaku di sejumlah negara, termasuk negara-negara maju, dengan pendapatan per kapita berpuluh kali lipat dan tingkat ketimpangan yang jauh lebih rendah, dibandingkan Indonesia. Selain itu, layanan dasar dan perlindungan sosial di negara-negara tersebut sudah sangat komprehensif dan mencakup sebagian besar penduduk. Bahkan beberapa diantaranya, terutama negara-negara dengan sistem demokrasi sosial (social democracy) telah menerapkan skema perlindungan sosial cakupan semesta (universal social protection) sejak lama, ketika mereka masih miskin.
Jika harga BBM, gas dan tarif dasar listrik, naik sekaligus, tidak terelakkan penduduk miskin dan rentan miskin, yang jumlahnya lebih dari 100 juta jiwa, akan menlonjak, dengan kondisi kehidupan yang semakin terpuruk. Belum lagi menyebut 115 juta jiwa kelas menengah baru (Aspiring middle class) versi Bank Dunia (2019) dengan pengeluaran hanya berkisar antara 1,5 dan 3,5 kali garis kemiskinan. Dengan garis kemiskinan nasional sebesar Rp486.168,-/kapita/bulan pada September 2021 (BPS 2022), artinya pengeluaran kelompok tersebut berada di kisaran Rp. 730.000 – Rp. 1.700.000, di bawah Rp2 juta per orang dalam satu bulan. Lebih jauh, kelaparan masif bisa saja berulang seperti yang pernah dilaporkan ADB (2019), mana kala 22 juta rakyat Indonesia menderita lapar kronis antara 2016 dan 2018.
Lantas, apa pra-syarat atau pra-kondisi ekonomi politik pengurangan subsidi energi seperti BBM sehingga tidak merugikan rakyat kecil? Tulisan berikutnya (bagian kedua) akan menjawab pertanyaan ini. (*)