Nawadosa Jokowi di Depan Mahkamah Rakyat Luar Biasa

Jakarta| FNN - Inisiator, penggagas dan pencetus Maklumat Yogjakarta pada 18 Mei 2024 yang terdiri dari Jenderal TNI (Purn.) Tyasno Sudarto, Prof. Dr. Rochmat Wahab M.Pd., M.A., Prof. Dr. Soffian Effendi, B.A.(Hons.), M.A., M.P.I.A., Ph.D., menyimpulkan bahwa negara hari ini dalam keadaan bahaya. Setidaknya ada sembilan dosa besar Jokowi yang mengakibatkan Indonesia terpuruk hari ini.

Berikut rilis lengkap yang diterima redaksi FNN, Ahad (30/06/2023).

INDONESIA DALAM BAHAYA

Kami Penggagas dan Pencetus Maklumat Yogjakarta (18 Mei 2024 ) :

Dengan senantiasa berlindung dan memohon pertolongan Tuhan YME, untuk menyelamatkan Indonesia .

Terus  mencermati perkembangan dinamika denyut nadi kehidupan praktek penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.

Keadaan terus memburuk dan membahayakan eksistensi NKRI

Telah muncul 9 catatan dosa dosa Jokowi melalui  Persidangan Mahkamah Rakyat  di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (25/6/2024).

"Memperingatkan Presiden Jokowi" :

Jangan mengabaikan suara / aspirasi rakyat ( Mahkamah Rakyat ) , apalagi muncul dan lahir dari lingkungan kampus (terlampir).

.Apabila suara / aspirasi rakyat tersebut di abaikan maka benar benar NKRI dalam bahaya.

Presiden harus introspeksi dan memperbaiki diri untuk menghindari segala kemungkinan lahirnya kemarahan rakyat yang lebih besar akan menerpa dan menimpa dirinya.

Inisiator, Penggagas dan Pencetus Maklumat Yogjakarta (18 Mei 2024)

- Jenderal TNI (Purn.) Tyasno Sudarto
- Prof. Dr. Rochmat Wahab M.Pd., M.A.
- Prof. Dr. Soffian Effendi, B.A.(Hons.), M.A., M.P.I.A., Ph.D. 

Lampiran:

"TUNTUTAN MAHKAMAH RAKYAT LUAR BIASA"
--------------------
Program pembangunan ala Jokowi atau Nawacita yang mengakibatkan maraknya ketidakadilan menjadi sembilan dosa atau Nawadosa yang disampaikan dalam Mahkamah Rakyat Luar Biasa.

Dosa Dosa Jokowi :

Pertama merupakan perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat yang terjadi akibat ambisi investasi Jokowi. Untuk melancarkan bisnisnya, pemerintah menggunakan kata eco atau green agar menciptakan citra ramah lingkungan yang sesungguhnya menimbulkan kerusakan ekologis dan permasalahan sosial, seperti pembangunan IKN.

Kedua, kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi terhadap masyarakat yang menuntut dan membela haknya, seperti kasus Wadas, Rempang, hingga kriminalisasi buruh. Fenomena “No Viral No Justice” pun menjadi contoh besar aparat penegak hukum tidak memproses laporan pelanggaran sebelum laporan tersebut viral dan mendapatkan tekanan sosial dari masyarakat.

Ketiga, kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas yang menunjukkan hukum tajam ke bawah selama era Jokowi. Kasus kekerasan terhadap masyarakat di Papua hingga peristiwa Kanjuruhan yang menelan ratusan korban jiwa menjadi contoh nyata impunitas yang membuat kasus pelanggaran hak sipil tak pernah dituntaskan akibat pembiaran dari pemerintah.

“Impunitas yang melenggang bebas selama rezim ini memberikan ruang untuk melakukan kesalahan secara terus-menerus karena tidak ada mekanisme penghukuman. Karenanya, pelanggaran HAM yang terjadi difasilitasi oleh negara. Maka, penyelesaian harus diserahkan pada mekanisme yang disepakati oleh rakyat untuk menghapus kultur impunitas dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran dan kejahatan HAM berat,” ujar Dimas Bagus Arya dari Kontras.

Keempat, komersialisasi, penyeragaman, dan penundukan sistem pendidikan yang mengakibatkan carut-marutnya sistem akademik di Indonesia. Pendidikan yang menjadi hak dasar setiap warga justru dikomersialisasi dengan biaya pendidikan yang mahal dan berbanding terbalik dengan kesejahteraan guru.

Kelima, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindakan perlindungan koruptor. Penindakan yang lemah bagi para koruptor, pemecatan pegawai KPK yang menolak upaya penggembosan KPK, hingga perkawinan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan keluarga Jokowi menjadi bukti bobroknya sistem hukum di Indonesia.

“Pemberantasan korupsi terburuk terjadi selama sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi. Dari sekian banyak kasus korupsi yang jumlahnya triliunan rupiah kurang dari Rp10 persen yang dikembalikan ke negara. Sayangnya, presiden tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk memberantas kasus korupsi. Pemerintah malah memotong taring untuk dilaksanakannya pemberantasan kasus korupsi.

Selain itu, nepotisme dan politik dinasti ditunjukkan secara terang-terangan saat Pilpres tahun ini. Semangat anti-korupsi dalam UUD 45 justru digerogoti selama sepuluh tahun masa Jokowi,” ujar Yaser Aulia dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

“Dosa rezim hari ini adalah pelemahan pemberantasan korupsi dan yang menjadi perhatian adalah kepastian hukum dan bisnis yang dapat dilihat dari praktik revolving door. Analogi itu kita artikan seperti pejabat adalah pebisnis dan ada juga pebisnis yang jadi pejabat atau pebisnis yang mempengaruhi pejabat.

Praktik ini banyak di pengelolaan SDA. Praktik revolving door ini new normal di Indonesia dan menjadi satu hal yang dititikberatkan dalam Mahkamah Rakyat ini,” ujar Bagus Pradana dari Transparency Indonesia.

Keenam, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan program solusi palsu untuk krisis iklim. Eksploitasi besar-besaran terhadap SDA seperti penghancuran wilayah Indonesia bagian Timur untuk proyek hilirisasi nikel, solusi ketenagalistrikan yang masih menggunakan batubara, hingga penggunaan biomassa yang menebang hutan secara besar-besaran.

“Hari ini kita kembali berduka karena lubang tambang di Samarinda, Kalimantan Timur kembali menelan korban jiwa, yaitu dua pelajar berusia sembilan tahun. Selama 2011 hingga 2024 ada 47 korban yang meninggal di lubang tambang di Kalimantan Timur. 

Ketujuh: Pembobolan PDN (Pusat Data Nasional) dan kontrak penyimpanan dan pengolahan data pemilihan umum Indonesia adalah kejahatan terbesar terhadap bangsa dan negara yg dilakukan oleh pimpinan pemerintahan dan perusahaan negara, yg berdampak luat biasa. kejahatan pembocoran dara dan atau menyerah- kan pengumpulan dan pemrosesan dara pada perusahaan atau non perusahaan non pemerin-tah harus dilarang dan bagi yg melanggar dikenakan hukuman seberat-beratnya.(*)

1943

Related Post