Negara Mengakui Pelanggaran HAM Berat, Presiden Tak Punya Legitimasi Moral
Jakarta, FNN - Sosiolog Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menilai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 terkait Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Non-Yudisial, semakin menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo tidak memiliki legitimasi moral, sebab dalam masa kepemimpinannya pelanggaran HAM terus terjadi.
"Presiden Jokowi tidak punya legitimasi moral sebab hingga saat ini pelanggaran HAM terus terjadi. Pada 2019 terjadi penembakan mahasiswa, ada ratusan petugas Pemilu meninggal, kasus Bawaslu ada puluhan orang terbunuh, dan di KM 50 tol Cikampek, ada 6 anak muda ditembak mati. Ini bagian integral pelanggaran HAM," kata Ubedilah dalam diskusi bertajuk “Mengkaji Pernyataan Presiden tentang Pengakuan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu dan Dampaknya bagi Kehidupan Sosial, Berbangsa dan Bernegara” yang dialkukan oleh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), pada hari Jumat 24 Februari 2023, di Jl. Kusuma Atmaja 76, Menteng, Jakarta Pusat.
Hadir sebagai narasumber antara lain: Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Panglima TNI Periode 2015-2017 sebagai clossing statement, Prof. Sri Edi Swasono (Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia), Brigjend (Purn) Hidayat Purnomo (Ketum Gerakan Bela Negara), Bachtiar Chamzah (Mantan Menteri Sosial), Ubedilah Badrun (Sosiolog Politik UNJ), Adhii Massardi (Juru Bicara Presiden Gus Dur) dan Hersubeno Arief, wartawan senior FNN sebagai moderator.
Ubed, panggilan akrab Ubedilah Badrun menegaskan Keppres Jokowi tersebut seolah-olah ingin jadi pahlawan. Bahkan semua NGO menyatakan pernyataan Jokowi telat.
Padahal hal ini kata Ubed hanya aksesoris politik saja dari Jokowi.
"Justru pernyataan Jokowi mengandung persoalan serius sebab tidak clear di depan publik bahwa siapa aktornya? Sementara yang terlihat jelas adalah bahwa yang terbunuh para jenderal dan di masyarakat juga terjadi pembunuhan, siapa aktornya?," tegasnya.
Menurut Ubed, aktornya kompleks, tidak tunggal yang tidak bisa diarahkan pada satu entitas.
"Talangsari, siapa aktornya? Peristiwa Semanggi 1 dan 2, siapa aktornya. Di mana mereka sekarang? Ada peristiwa Aceh dan Papua 2002 dan 2003. Siapa aktornya?," tanya Ubed.
Kalau bicara aktor kata Ubed, maka ada Soekarno, Soeharto, Wiranto, Habibie, Prabowo.
"Kenapa kasus Munir gak dimasukkan sebab Presidennya Megawati," katanya.
Ubed menyarankan agar presiden jangan mudah bikin keputusan. "Bersihkan dulu orang orang di lingkaran istana yang melanggar HAM, jangan dilindungi. Kalau tidak ada yang melawan, mereka akan jalan terus," paparnya.
Tim penyelesaian Non-Yudisial ini menurut Ubed dampaknya akan dahsyat, karena berdampak pada ekonomi, yang bisa menghabiskan dana puluhan triliun.
Juga akan membuka luka lama, karena non PKI juga akan jadi korban. Ketegangan sosial akan naik serta menimbulkan spekulasi di masyarakat.
"Mengapa tidak menggunakan landasan UU 26 tahun 2000?," tanya Ubed.
Sementara Brigjend Hidayat Purnomo, Ketua Umum Gerakan Bela Negara mengingatkan bahwa sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya negara ini didirikan atas dasar agama.
"Pelanggaran HAM terjadi sejak kemerdekaan sampai KM 50 dan hari ini, bukan hanya tahun 1965 saja. Tahun 1948 Indonesia mau dibikin komunis. Muso bikin negara Soviet Komunis. Sementara Aidit berkiblat ke Peking," tegasnya.
PKI kata Hidayat ingin bikin angkatan ke lima tapi ditolak TNI. Yang menolak adalah mereka yang dibunuh di Lubang Buaya. Namun sekarang ada upaya untuk memutar balikkan fakta.
"Tidak ada kyai dan santri yang memulai membunuh. PKI yang memulai, Gerwani bahkan melakukan di masjid. Saya ingatkan kepada TNI yang masih dinas, tolong Keppres ini direspons," tegasnya.
Hidayat mencatat sejak 1998 semua lini bangsa sudah dimasuki komunisme. Bahkan sekarang ada perintah agar monumen Lubang Buaya dihancurkan.
"Ini berbahaya, bisa menimbulkan konflik horizontal. Begitu ada konflik negara lain masuk. Maka TNI harus bikin kontigensi plan. TNI harus memikirkan langkah yang tepat menghindari negara ini hancur," teganya
Jika tidak, kata Hidayat maka Presiden harus membatalkan Keppres tersebut. Presiden harus memikirkan ekonomi rakyat morat marit, masalah pemilu yang memanas. (sws).