Nestapa UUD 1945

Muhammad Chirzin, Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Bahwa, kita telah kehilangan norma-norma dasar negara. Ini berbahaya karena kita kehilangan pedoman. Jika setiap generasi boleh mengganti kesepakatan awal pendirian negara.

Oleh: Muhammad ChirzinGuru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta 

PASCA Reformasi 1998, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen, yakni 1999, 2000, 2001, dan 2002. UUD 1945 hasil amandemen dinamai UUD NRI 1945.

Para aktivis peduli konstitusi dan masalah negara yang tergabung dalam sebuah grup WhatsApp dengan 296 peserta menolak amandemen UUD 1945 dan berjuang untuk kembali ke UUD 1945. Mereka menyebut UUD 1945 hasil amandemen sebagai UUD 2002.

Efek fatal amandemen tersebut adalah hapusnya kedudukan MPR sebagai pemberi mandat Presiden. Akibatnya, Presiden memiliki kedudukan yang setara dengan MPR. Karena itu tidak ada lembaga negara yang bisa meminta pertanggungjawaban Presiden.

Jika Presiden bertanggung jawab langsung kepada Rakyat, apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bertaji untuk mengontrol kebijakan dan sepak terjang Presiden, sedangkan mayoritas anggota DPR adalah pendukung Penguasa?

Anthony Budiawan menulis bahwa keputusan amandemen UUD 1945 tidak lepas dari pengaruh “Washington Consensus”, yakni kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh “Washington(-based) Instutitions”, yaitu IMF dan World Bank. Program Kebijakan Ekonomi tersebut wajib diikuti negara penerima bantuan IMF seperti Indonesia pada 1997/1998, sebagai persyaratan bantuan.

Masih menurut Anthony Budiawan, untuk menjalankan program kebijakan ekonomi tersebut agar lancar, maka UU, bahkan UUD, yang bertentangan dengan program kebijakan ekonomi, wajib diubah. Program IMF tersebut dinamakan Structural Adjustment Programs (SAP), yang isinya Liberalisasi, Privatisasi, dan Globalisasi (LPG).

Maka itu, tidak heran banyak sekali UU yang diubah secara mendasar pada periode Indonesia di bawah cengkeraman IMF, termasuk Perubahan UUD. Hasilnya, ekonomi Indonesia sangat terbuka untuk asing, Indonesia menjadi pasar perusahaan global (Globalisasi), BUMN, termasuk BUMN strategis diprivatisasi, dan tidak ada batasan PMA (Liberalisasi).

UUD (amandemen) 2002 merampas kedaulatan daerah. Utusan daerah dan utusan golongan dikeluarkan dari MPR yang juga sudah tidak berdaulat lagi. Pilpres langsung membuat daerah tidak berdaya.

Terjadi perampasan kekayaan Daerah ke Pusat bersama kroni oligarki. Pihak status quo berupaya keras mempertahankan UUD 2002, karena bisa berkuasa mutlak. Mereka menuduh pihak yang ingin kembali ke UUD asli sebagai antek Orba. Padahal UUD asli tidak ada hubungannya dengan Orba. Justru yang menghidupkan kembali UUD asli adalah Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Penggantian UUD 1945 itu adalah sebuah penghianatan. Upaya kembali ke UUD 1945 Asli itu juga harus ekstra hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Bukan tidak mungkin itu juga akan dimanfaatkan oleh rezim saat ini beserta para oligarki di belakangnya untuk menjadikan kekuasaan Presiden sekarang 3 periode, atau bahkan presiden seumur hidup. Maka pembatasan 2 periode jabatan presiden tetap perlu dipertahankan. Kembali ke UUD 1945 dengan adendum.

Aktivis yang lain berpendapat bahwa kembali ke UUD 1945 asli adalah wajib, tapi tidak di era Jokowi; tunggu presiden baru, karena masih ada orang-orang yang berusaha 3 periode lewat amandemen UUD 2002 atau dekrit kembali ke UUD 1945 asli dengan menekan Ketua Umum partai untuk mendukung amandemen terbatas UUD 2002.

Para pendiri negara ini sudah memikirkan segala kemungkinan, kalau batang tubuh kurang jelas, misal tentang pembatasan masa jabatan Presiden, bisa ditulis dalam penjelasan. Kalau ada aturan yang perlu ditambahkan, misalnya pasal 33, bumi air dan "udara", bisa masuk pada aturan tambahan.

Kalau ada pasal yang perlu direvisi bisa masuk dalam aturan peralihan. Begitu kembali ke UUD 1945 Presiden adalah Mandataris MPR. Sewaktu-waktu MPR bisa menurunkannya. Tidak harus melalui MK, karena MK sudah bubar, dan masuk menjadi kamar MA.

Perjuangan itu memerlukan persatuan dan pengorbanan. Apalagi perjuangan untuk melakukan perubahan secara total dan 'radikal'. Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, adalah refleksi persatuan pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia. Mereka telah berhasil membuat sejarah perjuangan bangsa.

Jika kita memang menghendaki perubahan, maka harus berani berkorban dan menggalang persatuan. Sayangnya, di antara kita belum bersatu, bahkan ada mencurigai dan menghujat dengan penuh kebencian terhadap orang-orang yang sebenarnya satu barisan dalam gerakan perubahan.

Pasal 7 UUD 1945 sudah disalahtafsirkan sedemikian rupa, sehingga Suharto berkali-kali dipilih kembali, dan tak seorang pun berani menolak interpretasi tersebut, hingga tiba masa reformasi. Sayangnya, Reformasi akhirnya juga telah disimpangkan demikian rupa, hingga membuahkan UUD 2002 yang membawa nestapa pada Bangsa.

Kembali ke UUD 45 Asli adalah sebuah keharusan, kalau masih ingin mempertahankan Negara Republik Indonesia yang terdiri atas daerah-daerah yang sebelumnya di bawah kekuasaan kerajaan, kesultanan atau bangsawan yang berdaulat, sebelum mereka sepakat menyerahkan kedaulatannya dengan mendirikan Negara baru, Negara Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945.

UUD 2002 hasil empat kali amandemen sudah merampas Kedaulatan Daerah, dengan menghapus Utusan Daerah, sehingga Daerah tidak mempunyai suara lagi untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden, dan hanya menjadi (suku) bangsa inferior di Negara Republik Indonesia yang dikuasai sekelompok kecil elit politik dan oligarki pengusaha.

Mereka merampas kekayaan Daerah, seperti batubara, mineral, hutan dan perkebunan, untuk memperkaya kelompok mereka sendiri dengan cara membuat UU untuk kepentingan mereka, agar perampasan kekayaan sumber daya alam tersebut dapat dilakukan seolah-olah legal.

Sedangkan rakyat Daerah pemilik kekayaan alam tersebut dibiarkan miskin, bahkan diusir dari lahan pertambangan, perkebunan atau kawasan proyek real-estate untuk oligarki. Mereka bahkan diintimidasi kalau melawan. Kasus Wadas adalah contoh yang masih segar dalam ingatan kita.

Hanya dalam waktu 20 tahun cengkeraman kekuasaan Pusat terhadap Daerah semakin memburuk dan sudah pada tahap tidak bisa ditoleransi lagi. Eksploitasi kekayaan alam Daerah semakin tidak terkendali.

Di lain sisi, kerusakan alam semakin buruk dan mengakibatkan bencana alam yang tak terperi. Kalau kondisi ini tidak segera diperbaiki maka tinggal tunggu waktu Daerah akan memisahkan diri dari Negara. Efek amandemen UUD 1945 lainnya adalah pemilihan Presiden langsung oleh semua Rakyat Indonesia.

Hal ini bertentangan dengan sila keempat Pancasila bahwa: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Efek domino perubahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden ialah lahirnya Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, terutama pasal 222 tentang Presidential Threshold 20%.

Dampak Pilpres langsung adalah pembelahan anak bangsa serius. Menurut Anthony Budiawan, pada era ini publik sengaja dipecah-belah oleh rezim melalui buzzeRp dan survei. Bahkan, Mesin buzzeRp langsung bekerja siap menghancurkan dan mematikan pendapat yang tidak diinginkan, sekaligus membentuk opini menyesatkan: memproduksi masyarakat akal sehat versus akal bulus.

Pada 8 Oktober 2022 Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Lintas Provinsi membuat pernyataan sikap antara lain sebagai berikut.

Bahwa, UUD 2002 telah membuka bagi kesalahan tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga para Bandar dan Bandit politik leluasa melakukan apa saja.

Bahwa, peran DPR, MK, KPU, KPK hingga POLRI kini hanya menjadi badut politik yang dengan sukarela menjadi alat kekuasaan para Bandit dan Bandar politik.

Bahwa, praktik politik tidak bisa menjadi alasan mengganti UUD45 diganti dengan UUD2002. Jika UUD bisa diganti oleh MPR hasil Pemilu, maka kesesatan praktik politik akan selalu memperoleh pembenaran UUD melalui penggantian tersebut.

Bahwa, kita telah kehilangan norma-norma dasar negara. Ini berbahaya karena kita kehilangan pedoman. Jika setiap generasi boleh mengganti kesepakatan awal pendirian negara.

Bahwa, UUD 1945 bukan sekadar dokumen akademik, tapi dokumen sejarah yang menjadi fondasi negara ini.

Atas kesimpulan telaah dan kajian tersebut, KAMI Lintas Provinsi, bersikap bahwa:

1. Saatnya rakyat meminta dan mewajibkan Negara secepatnya mengagendakan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 asli versi Dekrit Presiden Soekarno 1959.

2. Untuk mengantisipasi tuntutan adaptasi dengan lanskap global strategis yang berkembang, perubahan atas UUD 1945 dimungkinkan dengan metode adendum, tanpa mengubah Pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya.

3. Memfungsikan dan mereposisi MPR RI kembali sebagai lembaga tertinggi negara. Kedaulatan harus dikembalikan ke tangan rakyat, bukan ke partai politik.

4. Presiden dipilih oleh MPR sebagai mandataris MPR untuk menjalankan GBHN sebagai amanah rakyat, bukan petugas partai, apalagi menjadi badut politik kaki tangan para taipan.

5. Kembali ke UUD45 adalah pertobatan bangsa ini. Paska mengganti menjadi UU 2002 semua kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercengkeram Bandar dan Badut politik saat ini adalah ekspresi para penguasa yang terkutuk.

Ya Allah satukan hati dan langkah kami untuk melakukan perubahan ke arah kebaikan. Bimbinglah dan berikan petunjuk yang benar, serta ridhai perjuangan ini, amin. (*)

406

Related Post