Kuliah Maulid Rocky Gerung: Rasulullah Mengedepankan Etikabilitas Dalam Mencari Pemimpin

Rocky Gerung saat memberikan ceramah publik dalam acara peringatan Maulid Nabi di Kembang Tanjong, Aceh

Jakarta, FNN - Rocky Gerung memilih memberikan ceramah publik daripada menghadiri undangan pernikahan Kaesang-Erina Gudono. Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa Rocky Gerung tidak bisa menghadiri undangan Presiden Joko Widodo karena dia harus menghadiri undangan warga Kembang Tanjong, Aceh, untuk memberikan ceramah publik dalam acara khusus bagi umat Islam, yaitu Maulid Nabi Muhammad. “Kalau saya memang enggak hadir karena ada acara Maulidan, dan saya mesti kasih ceramah publik. Itu menarik karena orang mengundang saya untuk membicarakan masalah sosial di dalam momen perayaan hari khusus bagi umat Islam, yaitu Maulid Nabi,” kata Rocky Gerung. Kanal Youtube Rocky Gerung edisi Senin (12/12/2022) yang biasa dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, kali ini memuat ceramah publik tersebut. Berikut adalah isi ceramahnya.

“Ini satu penghargaan luar biasa, dipasangkan sesuatu (peci) yang akan saya ingat terus bahwa saya pernah ada di dalam sebuah komunitas Kembang Tanjung. Yang dikembangkan bukan sekedar silaturahmi, tapi akal pikiran. Yang dikembangkan adalah keinginan untuk merawat bangsa ini dengan keadilan. Jadi, saya di sini minoritas, sangat minoritas. Tapi, saya ingat bahwa Nabi Muhammad menulis naskah plaktat Madinah, yang isinya adalah dalil tentang kesetaraan manusia.  Yang isinya adalah undangan persahabatan. Jadi, sangat kontekstual yang diterangkan tadi oleh teman-teman bahwa kita masuk di dalam upaya untuk merefleksikan gaya berpikir, gaya batin, gaya politik, dari Nabi Muhammad. Jelas Nabi Muhammad adalah seorang politisi, jelas Nabi Muhammad adalah pemimpin dunia, karena sesuatu yang diucapkan dari pada abad ke-6 tahun 602 Masehi, sampai sekarang orang membaca kembali risalah sosiologis atau versi politik atau terjemahan herminolitik dari ayat-ayat Quran, terutama tentang keadilan sosial.

               Sekarang ada keresahan di dunia ini, desain apa yang memungkinkan manusia hidup berdampingan dalam status keadilan sosial. Ada kapitalisme, gagal. Ada komunisme berbahaya. Orang masuk sekarang pada upaya untuk memikirkan jenis ekonomi, jenis transaksi sosial, yang dasarnya adalah kesetaraan manusia. Orang pergi pada studi-studi baru tentang Islam. Karena Islam adalah dokumen yang selesai, dokumen yang final, sebagai revolution, sebagai Wahyu. Tidak ada interpretasi setelah itu, satu tahun setelah meninggalnya Nabi, naskah itu selesai. Dan tidak ada interpretasi lain.

             Jadi, orang melihat betul bahwa secara tekstual Quran itu memuat secara sempurna, secara lengkap, seluruh bayangan manusia tentang kehidupan, baik kehidupan pribadi, kehidupan dengan alam, kehidupan dengan akhirat, maupun kehidupan bernegara. Jadi, saya menganggap bahwa ini ada satu dokumen sosial yang menjadi acuan ketika dunia mengalami fatamorgana, mengalami ilusi tentang masa depan. Itu yang memungkinkan Saya belajar filsafat Islam cukup lama 5-6 tahun, dan sekarang masih baca. Tetapi, yang unik pada kita adalah kalau kita merefleksi tentang apa sebetulnya nilai kepemimpinan, leadership dari Nabi Muhammad.

             Fakta pertama adalah kepemimpinan beliau terus menjadi model bagi sepertiga umat manusia, banyak sekali itu. Kalau sekarang  9 miliar, berarti ada 3 miliar orang secara statistik yang menganggap bahwa desain keadilan sosial ada pada Islam. Kita punya Pancasila, tapi itu adalah kesepakatan kewarganegaraan, yang implementasinya masih macam-macam. Jadi, saya senang di sini karena kita mampu untuk mengucapkan kembali dalil-dalil itu. Dan yang pertama, yang saya tahu, dan saya kira bagian yang paling penting tadi, adalah perintah untuk berjihad. Berjihad artinya mengucapkan kebaikan dan menyelenggarakan kebaikan. Artinya, menghalangi keburukan dan mengupayakan tidak bertambahnya kejahatan. Itu pengertian saya. Tapi, negara sering menganggap jihad artinya kekerasan. Jadi negara buta huruf terhadap interpretasi sosiologis, interpretasi perdamaian, yang diajarkan di dalam kitab suci Alquran. Saya membaca banyak versus itu.

              Kita sekarang ada di dalam upaya untuk memahami bagaimana mungkin kitab itu diturunkan pada seseorang yang buta huruf. Bagaimana mungkin, kitab itu diajarkan dan diterima oleh sepertiga bangsa manusia. Artinya ada sesuatu yang sakral dan ada sesuatu yang masuk akal di dalam uraian-uraian tekstual Quran. Bagian yang masuk akal ini yang bisa kita persoalkan. Mempersoalkan artinya membaca secara serius supaya kita bisa ambil saripati keadilan, saripati kebenaran, dan saripati kejujuran. Tadi di meja itu, saya sendirian mendengarkan bapak-bapak bicara pakai bahasa Aceh, tapi saya mengerti bahasa tubuh dari enam orang yang sedang bicara di depan saya. Bahasa tubuh kejujuran, bahasa tubuh keberanian, bahasa tubuh kebenaran. Itu dalil kepemimpinan yang seharusnya:  jujur, benar, berani.

Itu yang kita mau bandingkan dengan keadaan sekarang: tidak jujur, tidak benar, tidak berani. Tadi ada kopi sotek (sok tahu tapi ekonomi kurang), nggak apa-apa, tapi enak kopinya. Kalau keadaan sekarang namanya sotok (sok tahu tapi otak kurang). Ada pemimpin yang sok tahu, tapi otak kurang. Akibatnya, kita berhutang, akibatnya lingkungan rusak, akibatnya keakraban sosial berhenti, itu karena ada seseorang yang punya modal sotok. Itu yang ingin kita kemukakan dalam upaya refleksi terhadap kepemimpinan.

Kenapa begitu, kalau Nabi adalah pemimpin, terjemahnya dia adalah leader. Seorang leader akan menuntun umatnya, warganya, pergi pada harapan. Itu namanya leader. Ada wahyu di depan yang kita upayakan diselenggarakan oleh seorang pemimpin. Di dalam sistem bernegara, wahyunya namanya konstitusi. Tetapi, justru konstitusi itu yang sekarang sedang dipermainkan oleh seseorang untuk memperpanjang kekuasaannya. Jadi, dari awal kita lihat bahwa kalau dia leader, dia paham bahwa tuntunan itu harus menghasilkan harapan.

Kalau sekarang kepemimpinan politik kita nggak ada harapan. Orang frustrasi di mana-mana. Bupati Meranti ngamuk menganggap bahwa Riau itu dieksploitasi kekayaannya, tidak dikembalikan pada Meranti. Dan dia bahkan menantang kalau begini terus eksploitasi terhadap sumber daya alam dan tidak kembali pada Meranti, dia mau mungkin dia berpikir lebih baik jadi bagian dari provinsi Malaysia. Demikian juga di tempat yang lain. Saya baca tadi, Bupati Paser Utara, tempat ibukota negara akan dipindahkan, mengeluh bahwa di situ tidak ada universitas baru. Sekarang dia terbuka pikiran bahwa ibukota negara tanpa akal itu artinya tempat tukar tambah ketidakadilan. Dan kita mulai paham bahwa kenapa para Bupati mulai resah sekarang, karena ketidakadilan tidak tiba. Kalau misalnya kita berpikir bahwa semacam upaya untuk memperlihatkan kemegahan bangsa, di situ akan ada kerusakan lingkungan. Di situ akan ada makhluk Tuhan yang akan disingkirkan demi menanam beton di IKN. Padahal, doktrin Islam adalah pelihara, hormati, semua makhluk.

Jadi, IKN itu tidak berbasis pada sosiologi Islamis yang memerintahkan manusia untuk saling bersahabat, bahkan bersahabat dengan makhluk. Kalau kita perluas pembicaraan ini kita kehilangan kemampuan untuk membaca masa depan, karena seolah-olah keadilan sosial itu terhalang oleh kita. Doktrin sosial Islam adalah kesetaraan manusia, bahkan kesetaraan antar-makhluk, penghormatan antar-makhluk. Kita diminta untuk berlaku dalam perspektif mencintai, bukan memusuhi. Yang terjadi sekarang adalah pertarungan politik sama dengan pertarungan suku, sama dengan pertarungan etis.

Saya pernah membaca kuliah atau khotbah terakhir Nabi Muhammad ketika beliau mengatakan bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari orang Yahudi, orang Yahudi tidak lebih tinggi dari ini orang Barat, kulit hitam tidak lebih buruk dari kulit putih, kulit putih tidak lebih indah dari kulit hitam. Hal yang itu diucapkan 1300 tahun yang lalu, yang baru dipahami oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia ke-2. Islam mendahului kesetaraan manusia. Nabi Muhammad, dalam perspektif itu, bukan seorang rasis pasti. Orang Aceh tidak lebih tinggi dari orang Jawa, orang Jawa tidak boleh menganggap lebih tinggi dari orang Papua. Itu ajaran Islam. Itu kesetaraan manusia. Itu khotbah terakhir dari Nabi Muhammad.

Saya mengingatkan itu, kepada para pemimpin, untuk pergi kembali pada moral call. Jadi, hal-hal yang sifatnya teologis, yang hanya mungkin dipahami kalau orang punya kecerdasan dan orang punya akal sehat. Dan memang Quran diturunkan ke wilayah kedunguan, ketika masyarakat Arab mengalami penzaliman karena otak tidak dikembangkan. Itu yang menyebabkan ayat pertama adalah baca baca baca. Itu isi pertama, dalil pertama dari Qur'an. Baca baca baca, belajar belajar belajar,  pikir-pikir-pikir, Iqro Iqro Iqro, bukan kerja kerja kerja.

Jadi, kalau kita memakai paradigma itu, bagian sosiologis, tentu saya tidak bisa bicara bagian-bagian akidah, bagian teologis, tapi saya paham sosiologi Islam. Semua agama ada dimensi esoteris dan dimensi exoteris. Esoteris itu bagian batin yang hanya mungkin dialami ketika orang ada pada kekhusukan  individual. Khusuk dia mengalami gejala esoteris. Fenomena esoteris berupaya untuk menyatukan batin dengan alam semesta dan dengan pencipta alam semesta, bagian yang rahasia dari manusia, yang kita sebut iman. Tapi ada bagian yang exoteris itu bagian kemasyarakatan, bagian yang bisa kita akses bersama-sama.

Jadi, nanti orang akan mempersoalkan kenapa Rocky Gerung, non-muslim, bicara di dalam forum Maulid Nabi. Karena mereka tidak paham bahwa agama itu ada bagian esoteris dan ada bagian exoteris, di mana persahabatan manusia itu diikat oleh janji kebenaran, janji keberanian, janji keadilan. Suatu waktu saya berceramah di Universitas Gontor, di Jombang, juga dikritik. Padahal, saya bicara tentang keadilan sosial. “Tapi Anda kasih kritik kepada Pak Jokowi.” Ya, jelas Pak Jokowi tidak memberikan keadilan sosial. Apa yang salah.

Suatu waktu saya berceramah di Ngruki, pesantren yang dianggap sarang teroris. Saya diundang di situ dan kita berdebat tentang keadilan sosial. Saya diundang, ketika itu Ustad Abu Bakar Baasir masih ada di penjara. Adiknya mendampingi saya. Ada 5000 orang dengerin uraian saya, pakai televisi di luar. Lalu polisi datang, “Pak Rocky hati-hati, ini sarang teroris,” katanya. Saya bilang, saya diundang untuk debat pikiran, bukan untuk kekerasan. “Iya, tapi ini sarang teroris,” diulang-ulang. Saya bilah saya tahu kalau ini sarang teroris, ini juga sarang intel. Logikanya begitu. Di mana ada teroris, pasti ada intelijen di situ. Ini kampung teroris, pasti ini kampung intel. Kan dengan mudah kita tahu. Kalau seseorang bisa mengatakan ini seorang teroris, artinya di situ juga ada aktivitas intelijen. Entah untuk mengkontai,  untuk deradikalisasi, atau untuk memprovokasi. Biasa dalam kehidupan intelijen.

Jadi, kita balik pada tema, kita ingin melakukan refleksi kepemimpinan. Kalau kita sekadar mengatakan kita mau supaya mengingatkan kembali kemampuan taktis, kemampuan strategis, dari Nabi sebagai pemimpin militer, pemimpin politik, pemimpin umat, enggak ada bandingannya. Karena kita tidak melihat satu kemampuan yang setara dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad di masa itu. Kenapa begitu? Karena ada keyakinan di dalam perjuangan, yaitu ingin membebaskan diri dari kedunguan dan jihad anti-kedunguan itu yang seharusnya.(ida)

 

1185

Related Post