Pancasila dan Indonesia
Tentu saja gagasan negara Pancasila tidak mungkin dikerjakan oleh penguasa yang rabun Pancasila dan konstitusi walaupun mereka tinggal di Istana Indonesia. Sebab, solusi mereka masih sama: utang, gadai, dan obral.
Oleh: Dr. Yudhie Haryono, Direktur Nusantara Center
HARI-hari ini, secara reflektif, Pancasila sedang menghadapi enam hal genting:
1) Darurat politik. Semua ilmuwan politik dan politisi Indonesia menyepakati bahwa politik kita sangat liberal, sehingga sangat mahal dan beresiko sangat tinggi.
2) Darurat ekonomi. Banyak ekonom waras dan warga negara cerdas setuju bahwa ekonomi kita sangat neoliberal. Dikte pasar dan kuasa oligarki. Menciptakan kesenjangan tanpa ada ujung.
3) Darurat kebudayaan. Sebagian besar budayawan besar setuju bahwa budaya kita kini sangat amoral. Memuja yang bayar. Ekonometriks.
4) Darurat agensi. Para alim di berbagai bidang yakin sekali bahwa tokoh-tokoh nasional dan lokal kita kini sangat individualis dan fasis. Kehilangan perilaku gotong-royong, mentradisikan gotong-nyolong.
5) Darurat agama. Para spiritualis dan pelaksana multikultural berkeyakinan bahwa kita kini terjangkiti penyakit fundamentalis bin teroris. Merasa benar sendiri, masuk sorga sendiri.
6) Darurat mental. Semua warganegara kini yakin bahwa mental semua pemimpin kita rusak dan bermental kolonial. Tak membela kepentingan nasional. Hampir semua profesi menjadi santri KPK. Sedih dan malu.
Lalu, bagaimana mengatasinya? Perlu proyeksi besar yang harus berdentum keras. Agar tak mogok dan mubazir. Agar ada kemajuan.
Menurut penulis, ternyata mudah di ide, tetapi sulit di praktik. Idenya ada dua:
1) Menjadikan Pancasila sebagai alat juang dalam the battle of sovereignty (perang kedaulatan) guna mendapat prosperity (kemakmuran bernegara).
2) Merealisasikan negara Pancasila. Negara yang dalam praktiknya menjadi law governed state (negara berpanglima hukum). Sebuah negara yang praksisnya mengerjakan enam hal:
1) Nasionalisasi seluruh aset strategis. Yaitu, mengambilalih semua aset nasional yang telah dirampok para raja rampok. Tanpa itu, negara kita belum berdaulat. Dalam praktik nasionalisasi ini tak ada konglomerasi, yang ada koperasi.
2) Melakukan transformasi shadow economic. Selama ini, bisnis shadow hanya diharamkan tanpa solusi. Maka, kita harus membuat UU-nya. Sebab, kita belum punya UU Narkoba, UU Prostitusi, UU Perjudian. UU itu akan merubah bisnis ilegal yang bersekutu dengan bedil menjadi legal dan bayar pajak secara adil.
3) Merekapitalisasi BUMN. Yaitu membuat holding yang profesional, progresif, terstruktur dan masif. Inilah pilar ketiga yang dahsyat karena menjadi bagian integral dari revolusi nalar dan revolusi mental.
Dalam praktik ini tak ada asengisasi dan asingisasi, yang ada trias-ekonomika (BUMN, koperasi, swasta).
4) Merealisasikan pajak super progresif. Makna pajak super progresif di sini adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang sangat tajam naiknya dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak. Kenaikan persentase untuk setiap jumlah kekayaanya per satuan menjadi seratus prosen.
5) Mempraktikkan gagasan strong state. Yaitu praktik negara yang harus dipimpin manusia jenius dan crank (menyempal) karena anti duit, anti lawan jenis dan anti kemapanan (kursi dan waktu). Ia harus zuhud, spiritualis dan "miskin" tapi jenius. Dalam strong state tak ada main hakim sendiri, yang ada konsensus untuk dipatuhi.
6) Merealisasikan negara multikultural. Yaitu praktik negara yang melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan membariskan seluruh warga menjadi warga negara. Dalam negara multikultural ini mentalnya adalah mental Pancasila: merdeka, mandiri, modern, mendunia dan martabatif.
Enam problema dengan 6 solusi. Mudah dituliskan, betapa sulit dipraktikkan. Dus, kita butuh kesabaran revolusioner yang berdentum keras. Butuh kalian yang mengerti, memahami dan mempraktikkan negara Pancasila. Sebuah negara gotong-royong yang dinamis dan bersendikan hukum.
Tapi, hukum negara Pancasila harus tampil akomodatif, adaptif, dan progresif. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung dan merealisasikan keinginan seluruh warga negara yang multikultural. Makna hukum seperti ini menggambarkan fungsinya sebagai pengayom, pelindung dan penjaga.
Adaptif, artinya mampu menyesuaikan dinamika perkembangan jaman, sehingga tidak pernah usang. Makna hukum seperti ini menggambarkan anti fasis, anti fundamentalis dan anti feodalis.
Progresif, artinya selalu berorientasi kemajuan, perspektif masa depan. Makna hukum seperti ini menggambarkan kemampuan hukum nasional untuk tampil dalam praktiknya mencairkan kebekuan-kebekuan dogmatika. Hukum harus menciptakan kebenaran yang berkeadilan bagi setiap warga negara.
Tentu saja gagasan negara Pancasila tidak mungkin dikerjakan oleh penguasa yang rabun Pancasila dan konstitusi walaupun mereka tinggal di Istana Indonesia. Sebab, solusi mereka masih sama: utang, gadai, dan obral.
Di atas segalanya, kita harus mengikat semua program di atas dengan keimanan pancasila; mencetak agensinya kapanpun dan di manapun. Segera hari ini juga. (*)