Pancasila Sakti atau Sakit?
Kemerdekaan bagi Muslim adalah perwujudan tauhid, dan keadilan bagi semua adalah cita-cita setiap jiwa yang merdeka. Itulah hakekat Kesaktian Pancasila.
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts
AYAH saya suatu ketika bercerita saat satu tim RPKAD yang berhasil merebut RRI dari tangan sekelompok prajurit tak dikenal yang kemudian ternyata itu bagian dari Gerakan G30S/PKI. Kurang dari 10 menit, RRI beralih tangan ke RPKAD, dan kegagalan G30S/PKI pun dimulai.
Ayah saya pada akhir September dan awal Oktober 1965 itu banyak berada di sekitar stasiun Gambir, Jakarta, setelah selesai bertugas sebagai Jaksa di Ambon. Tanda-tanda kejatuhan Soekarno dari puncak kekukasaan otoriternya diam-diam disambutnya dengan penuh sukacita.
Sebagai sosok yang diasingkan di lingkungan kerjanya yang sangat memuja Soekarno, di akhir hidupnya kemudian, dia malah membayangkan sebuah prospek kejatuhan Soeharto sebagai sosok otoriter dengan varian yang berbeda.
Kedua rezim pra-reformasi itu memiliki karakter yang nyaris sama: memusuhi Islam, jika bukan takut pada Islam.
Sekalipun Soeharto menjelang kejatuhannya relatif lebih dekat dengan Islam melalui ICMI, agenda senyap Islamophobic ini sulit dihentikan begitu saja, karena terus digarap oleh kelompok kiri dan nasionalis sekuler senantiasa mengelilingi Soekarno maupun Soeharto.
Kaum muslim Indonesia, kecuali Masyumian, tidak memiliki ambisi politik yang cukup besar untuk berkuasa. Baik kaum Muhammadiyyin maupun Nahdliyin berpuas diri menjadi ormas sambil berbicara tentang NKRI harga mati.
Akibatnya, Republik ini sejak proklamasi terombang-ambing ke sosialisme komunis atau kapitalisme liberal. Pancasila dan UUD 1945 bahkan boleh dikatakan hanya semacam bungkus rapi kedua paham dominan itu. Hingga hari ini.
Revolusi industri dan gelombang globalisasi serta kemenangan kapitalisme ikut membentuk sejarah Republik ini. Soekarno kemudian harus jatuh karena melawan kampiun kapitalisme. Soeharto terbukti berhasil melahirkan sebuah generasi kapitalisme semu (Yoshihara Kunio, Ersatz Capitalism in South East Asia, 1988) di sekitar segelintir taipan China dan beberapa pribumi jet set binaan Soeharto.
Namun kedekatannya pada Islam (justru) terbukti menjadi salah satu sebab kejatuhannya menjelang Reformasi. Namun perlu dicatat, bahwa kebangkitan kapitalisme semu selama Orde Baru telah menjadi lahan subur kebangkitan komunisme gaya baru di negeri ini.
Kaum kiri sekuler radikal ini kemudian berhasil memanfaatkan kemunduran kapitalisme global yang semula diakui berjaya oleh Francis Fukuyama dalam The End of History, 1992 setelah keruntuhan Uni Sovyet.
Seiring dengan kebangkitan China sebagai raksasa ekonomi dan militer, kaum kiri sekuler radikal di Indonesia mencoba membangkitkan kembali agenda lama mereka untuk menyingkirkan Pancasila dan mengambil alih Republik melalui kudeta konstitusi.
Sementara itu umat Islam Indonesia selalu diperalat sebagai sekedar kekuatan change follower, bukan perancang perubahan.
Bagaikan pendorong mobil mogok Republik ini. Berkali-kali Pemilu, umat Islam diperalat menjadi legitimator dalam setiap Pemilu sebagai mekanisme pergantian kekuasaan secara damai, namun selalu dicegah untuk memajukan agenda Islam.
Setiap upaya politik umat Islam selalu dituduh sebagai bagian dari gerakan anti-NKRI, intoleran, anti kebhinnekaan, bahkan anti-Pancasila. Menjelang 2024, kini gencar narasi publik oleh kaum sekuler radikal yang menyudutkan Islam politik sebagai politik identitas.
Padahal Pancasila kini sudah dikubur hidup-hidup di bawah kaki kaum kiri sekuler radikal dengan, seperti kata Lenin, memanfaatkan kaum nasionalis radikal sebagai useful idiots.
Sulit untuk menolak kesimpulan bahwa saat ini Republik sudah dikuasai oleh kaum kiri sekuler radikal ini. Sebagai koreksi diri, situasi sekarang ini adalah kekalahan, jika bukan kesalahan elit Islam sekaligus kaum cendekiawan.
Elit Islam terjebak pada mitos mayoritas Islam, sehingga dakwahnya gagal menjangkau kaum abangan yang jumlahnya makin besar seiring dengan proyek sekulerisasi besar-besaran sejak Orde Baru. Para pendakwah terjebak pada rutinitas internal di masjid-masjid yang semakin menjauhkan umat Islam dari politik.
Sementara itu kaum cendekiawan di kampus-kampus sibuk memantaskan diri untuk menjadi lawan berwacana para profesor di Oxford, Sorbonne, Harvard atau UCLA. Akibatnya proses mem-Pancasila-kan ilmu-ilmu sosial, terutama ekonomi, praktis terbengkalai.
Pembangunan, kemudian, dirumuskan sekedar peningkatan konsumsi listrik, bensin, dan beton. Pembangunan tidak dirumuskan sebagai upaya perluasan kemerdekaan setelah proklamasinya.
Bagi H. Agus Salim, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, sebagai penerus perjuangan HOS Tjokroamimoto sudah jelas bahwa Pembukaan UUD ‘45 yang berintikan Pancasila adalah rumusan maqoshid syariah bangsa Indonesia di ruang Nusantara di era post-colonialism.
Pembukaan itu adalah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia secara komprehensif. Umat Islam bukan imigran di negeri ini, apalagi penumpang gelap. Islam adalah pandangan yang memungkinkan bangsa Indonesia lahir terbebas dari perangkap sukuisme dan feodalisme, sedangkan nasionalisme tidak menjadi semacam glorified tribalism.
Kemerdekaan bagi Muslim adalah perwujudan tauhid, dan keadilan bagi semua adalah cita-cita setiap jiwa yang merdeka. Itulah hakekat Kesaktian Pancasila.
Jika kemerdekaan dan keadilan itu lenyap, maka Pancasila tidak lagi sakti, tapi sakit.
Nobar di DK 61, Surabaya, 30/9/2022. (*)