Pasca Covid-19: Faktor Global Memperburuk Ekonomi Nasional
Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003, yakni defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto.
Oleh: Eisha M Rachbini SE, MSc, PhD, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
DALAM “Seminar Evaluasi Ekonomi Akhir Tahun” di Universitas Paramadina, di Jakarta, Selasa (20/12/2022) bahwa penyebab utama yang menjadi pemicu persoalan ekonomi beberapa tahun terakhir ini adalah adalah Covid-19.
Covid-19 melanda seluruh dunia termasuk Indonesia dan tentu berdampak terhadap ekonomi yang tidak hanya bersifat buruk, tetapi juga mengubah secara total dan mendasar struktur dan sifat perekonomian global dan Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi dunia anjok berat menjadi negatif -3,1 persen karena disrupsi sisi permintaan dan supplainya.
Menurut catatan saya, pasca covid-19 publik berharap betul langsung terjadi recovery ekonomi, namun kondisi normal itu pun tidak terjadi dan masih saja kelabu. Karena faktor ekonomi global juga langsung dihantam perang yang meluas di Eropa dan Rusia.
Faktor geopolitik yang keras ini begitu memperparah ketidakpastian ekonomi global dan berakibat pada kelangkaan pangan dan energi. Implikasi buruknya adalah harga pangan dan energi meningkat tinggi dan menyebabkan tingkat inflasi di banyak negara meningkat pesat.
Kondisi global sudah diubah prediksinya berkali-kali dan tahun 2022 ini diperkirakan hanya tumbuh 3,2 persen dan inflasi tinggi sekitar 8,8 persen (IMF, 2022).
Yang juga perlu dipertanyakan sumbernya dari mana channeling Indonesia untuk menyiasati dampak ekonomi global saat ini? Seharusnya channeling itu berasal dari nilai tukar, inflasi, dan bagaimana konsolidasi yang diperlukan dengan evalusi terhadap perekonomian domestik.
Indonesia cenderung menerapkan kebijakan moneter ketat, sehingga akan berdampak pada sektor riil. Sektor riil di Amerika Serikat juga mengalami perlambatan pertumbuhan. Secara global jika ada pengetatan moneter maka hal tersebut akan menyebabkan perlambatan ekonomi.
Di kawasan Asia Pasifik, kesempatan kerja turun 3,2 persen (yoy) atau sekitar 61.8 juta orang yang kehilangan pekerjaan. Level kesempatan kerja di sini ini sekitar 1,8 miliar orang (2020).
Pengangguran di negara-negara G20 juga cukup tinggi rata-rata 8,5 persen di tahun 2020, lebih tinggi dari tahun sebelumnya, 7,2 persen. Pada tahun 2021, pengangguran di negara-negara ini sekitar 7,9 persen dan diperkirakan akan meurun tahun 2022 sekitar 6,97 persen.
Sedangkan di Indonesia, sekitar 29, 1 juta orang terkena dampak dari covid-19 atau sekitar 14,3 persen dari total populasi angkatan kerja (2020). Dampak ini berpengaruh pada tahun berikutnya 2021 dan 2022.
Kebijakan the Fed telah meningkatkan suku bunga acuan dengan melakukan kebijakan kuantitatif leasing (suku bunga rendah) selaian ini untuk menjaga pertumbuhan dan tingkat pengangguran yang rendah.
Kondisi perekonomian AS mengalami masalah cukup berat, inflasi tinggi (8.5% in March 2022), dan pengangguran yang dapat dikendalikan pasca pandemi (3.6% April 2022).
Keputusan the Fed menaikkan suku bunga acuan dilakukan secara beruntun pada bulan Maret dan April. Pada bulan November 2022 berada pada level 3.78.
Saat AS menaikan suku bunga akan berdampak pada perekonomian Indonesia terutama dari sisi nilai tukar, inflasi yang tinggi itu karena kenaikan harga pangan dan energi. Sektor riil mendapat beban besar dari harga impor include bahan impor akibat kenaikan nilai tukar. Dibutuhkan penguatan dari sisi fiskal di Indonesia.
Salah satu risiko besar yang menjadi ancaman stabilitas ekonomi global adalah krisis energi akibat tren peningkatan harga komoditas energi dunia. Harga Minyak Mentah dan Gas Alam meningkat lebih tinggi dibandingkan level awal tahun 2022.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik pada 0Q3 dan Q4 berada pada level 5.45% dan 5.72% (yoy). Pertumbuhan ekonomi 2022 menurut pengeluaran didorong oleh Ekspor dan Konsumsi RT.
Tetapi pengeluaran pemerintah mengalami pertumbuhan negatif (yoy) pada Q2 dan Q3 2022. Data lapangan usaha, kinerja sektoral mengalami pertumbuhan pada Q2 dan Q3 2022, terutama pada sektor transportasi dan pergudangan, akomodasi, makanan dan minuman, industri pengolahan, informasi dan komunikasi.
Sedangkan tingkat inflasi masih bisa dikendalikan meskipun lebih tinggi pada tahun 2022, dibandingkan tahun 2021. Pada sisi penawaran, terjadi kenaikan harga-harga komoditas dunia dan juga ada gangguan pasokan global dan domestik.
Penyumbang utama inflasi tahunan: komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga,dan tarif angkutan udara. Pada November 2022, penyumbang utama inflasi bulanan di antaranya adalah komoditas telur ayam ras, rokok kretek filter, dan tomat
Jadi, Tren penurunan Global Purchasing Managers' Index (PMI): indikasi perlambatan ekonomi global yang disebabkan oleh melemahnya permintaan dunia. Pada Oktober 2022, global PMI Manufaktur mencapai 49,4 (dari 49,8 di September).
Penurunan output didominasi pada sektor barang setengah jadi. Kindisi ini tentu menandakan optimisme bisnis turun mendekati level terendah dalam dua setengah tahun terakhir.
Melemahnya permintaan global menjadi tantangan bagi kinerja industri dan investasi di dalam negeri. Inflasi vang tinggi juga menjadi ancaman pada peningkatan biaya produksi.
Sedangkan Pertumbuhan investasi yang tak disertai dengan laju pertumbuhan industri pengolahan yang juga tinggi.
Seperti pada triwulan III 2022, pertumbuhan investasi mampu mencapai 42,1 persen (yoy) namun industri pengolahan (non migas) hanya tumbuh 4,88% dan masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Usaha mengarahkan investasi harus semakin banyak masuk ke sektor manufaktur dan ini menjadi tantangan besar bagi proses industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam strategis. Pada saat ini visi besar Pemerintah
adalah fokus untuk mewuiudkan transformasi ekonomi dengan penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi industri.
Terdapat tantangan cukup besar dari sektor industri untuk menjadi pusat pertumbuhan kembali. Sektor yang tertekan dampak ekonomi global dan menyebabkan menurunnya optimisme bisnis.
Pada 2021 – 2022 porsi sektor manufaktur menjadi penyumbang bagi PDB menurun menjadi hanya 20% an saja, padahal sebelum pandemi bisa mendekati 30%. Untuk tantangan sektor riil saat ini, adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang bisa memberi nilai tambah untuk mencapai target 2045.
Untuk itu perlu didorong investasi dalam dan luar negeri untuk meningkatkan kemampuan sektor riil. Seharusnya semakin banyak investasi masuk, akan semakin menambah nilai tambah lebih besar bagi sektor manufaktur yang akhirnya mampu menaikkan kontribusi ke PDB.
Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003, yakni defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto.
Dengan mengembalikan aturan ini, maka Pemerintah bisa menekan angka rasio utang pemerintah terhadap PDB, karena penarikan utang Pemerintah tidak sebesar ketika pandemi berlangsung. (*)