Paten, Alih Teknologi dan Local Working (Catatan Diskusi Akhir Pekan APHKI)

Oleh Prof. Dr. OK.Saidin, SH.M.Hum.

Pengatar

Akhir pekan, tepatnya 28 Agustus 2021, Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, berdiskusi melalui media sosial, terkait dengan adanya usulan Perubahan UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten yang akan mulai dibahas di DPR-RI pada akhir tahun ini. Salah satu yang dibincangkan adalah, terkait perubahan redaksi Pasal 20 undang-undang tersebut. Perubahan itu sebenarnya sudah dilakukan melalui UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dimuat dalam Pasal 107. Inti dari perubahan pasal itu adalah, dihapuskannya ketentuan tentang kewajiban pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia yang kegiatan itu harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan peneyediaan lapangan kerja. Dengan Pasal 107 UU No.11 Tahun 2020, paten itu sudah dianggap dilaksanakan di Indonesia cukup dengan melakukan perbuatan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melinsensikan produk, yang diberi paten. Demikian juga untuk paten proses danggap sudah dilaksanakan jika sudah dilakukan perbuatan yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten. Selanjutnya untuk paten metode (ini klasifikasi baru tentang paten yang dianggap rancu), juga sudah dianggap dilaksanak an jika, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten, sudah dilakukan

Ketentuan ini nantinya akan menjadi Ketentuan Pasal 20 UU Paten yang akan direvisi nanti. Artinya seluruh ketentuan yang termuat dalam Pasal 107 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan diambil utuh yang akan ditempatkan dalam Pasal 20 dan ditambah dengan ketentuan Pasal 20 A yang berbunyi, " Pemegang Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib membuat pernyataan pelaksanaan Paten di Indonesia dan memberitahukannya kepada Menteri setiap akhir tahun setelah diberikan. Ada dua hal yang perlu diberi catatan dari redaksi Pasal 20 dan Pasal 20 A yang nantinya akan ditempatkan dalam Undang-undang Paten hasil revisi. Kehadiran Pasal 107 UU No.11 Tahun 2007 ini tidak berdiri sendiri. Perubahan ketentuan itu mengalami perjalanan yang panjang dan berkahir dengan ketentuan yang oleh sebahagian peserta diskusi dianggap bertentangan dengan landasan filosofis Panacasila dan Tujuan Negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945. Diskusi menjadi hangat ketika Pak Gunawan Soeryomurcito salah seorang dari peserta diskusi yang keberatan dan menyatakan ketidak setujuan atas pandangan peserta diskusi terkait pernyataan yang menggeneralisir seolah-olah Negara tidak berpihak pada rakyat. Akhirnya perbincangan melebar pada persoalan local working dan alih teknologi. Banyaklah pandangan yang muncul. Jalannya dikusi secara utuh dapat diturunkan sebagai berikut.

Paten Sebagai Alat Penjajahan Baru

Paten yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual telah menjadi alat penjajahan baru Negara industri maju terhadap Negara dunia ketiga seperti yang diungkapkan oleh Christoper May (2009) dalam bukunya, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights. Amerika dan sekutunya telah menggunakan Marakes Convention, untuk menaklukkan Asia dan negara-negara dunia ketiga melalui sistem perdagangan. Negara-negara di dunia bergabung dalam keanggotaan The General Agreement Tariff and Trade (GATT) dan telah bersidang pada bulan April 1994 di Marakesh. Capaiannya berupa kesepakatan yang disebut dengan The Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) yang dikenal dengan Marakesh Convention dan seluruh rangkaian konvensi ikutannya. Salah satu dari instrumen ikutannya adalah Trade Rekated Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement). Penerapan TRIPs Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan negara anggota adalah menjadi harapan Amerika Serikat dan negara sekutunya. Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan hasil kesepakatan Marakesh ini. Itulah sebabnya utusan khusus Presiden Amerika harus terbang jauh menyeberangi Samudera Atlantik hanya untuk menghadiri sesi terakhir sidang GATT pada tanggal 5 April 1994 yang akan ditutup esok harinya. Itu dilakukan Amerika hanya untuk memperkuat delegasi negara maju. Utusan khusus Bill Clinton itu menyampaikan orasi di depan peserta sidang GATT. Hasilnya adalah disetujuinya Marakesh Convention dan pembentukan World Trade Organization (WTO) yang menurut analisis Chriatianto Wibisono (1998) hal itu tidak lebih dari alat penjajahan baru negara maju terhadap negara berkembang. Setelah lebih dua windu pemberlakuan Marakes Convention, Christoper May (2009) menulis dalam bukunya, The Global Political Economy of Intellectual Property Rights bahwa, Hak Kekyaan Intelektual termasuk Paten, akan menjadi alat politik ekonomi Negara maju terhadap Negara berkembang. Semua urusan yang terkait dengan perdagangan Internasional, harus dihubungakan dengan aspek hak kekayaan intelektual (trade related to aspects intellectual property right). Inilah politik penjajahan gaya baru (neo imperialism) Negara maju terhadap Negara berkembang.

UU Paten Indonesia Pasca Ratifikasi Marakesh Convention

Indonesia pasca ratifikasi Marakesh Convention, melalui UU No. 7 Tahun 1994 menyesuaikan peraturan HKI-nya termasuk Paten. Terakhir penyesuaiannya tampak dalam UU No.13 Tahun 2016. Tapi ada pasal yang masih mengganjal. Salah satu bunyi Pasal yang mengganjal itu adalah ketentuan yang termuat dalam Pasal 20 yang mewajibkan pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia. Ketentuan ini kemudian dilanjutkan lagi dengan keharusan untuk menunjang pelaksanaan transfer teknologi, penyerapan investasi dan peneyediaan lapangan kerja.

Amerika dan Negara maju lainnya melihat ketentuan ini bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam TRIPs Agreement. Pasal ini diskriminatif dan dipandang bertentangan dengan article 27 (1) TRIPs Agreement yang konvensi induknya Marakesh Convention sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1994. Amerika dan sekutunya Negara Industri maju yang notabene sebagai Negara pemilik paten terbesar di dunia, memang memiliki kepentingan untuk penghapusan Pasal itu. Karena Indonesia dianggap Negara yang paling potensial untuk pemasaran produk mereka yang berasal dari paten yang dilindungi. Seperti kata Agus Sardjono, "Intinya, asing memang cuma mau jualan produk ke pasar Indonesia." (Agus Sardjono, 28 Agustrus 2021).

Kegelisahan Amerika itu terbukti. Sekaligus menjawab tesa yang dikemukakan May Christoper. Tepat pada Tahun 2018, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan Jr menemui Menteri Hukum dan HAM pada suatu kesempatan. Inti percakapannya meminta Indonesia untuk membahas norma Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 (Bisnis Indonesia, 22 Pebruari 2019). Ujung-ujungnya Menteri Hukum dan HAM menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.15 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemegang Paten. Alhasil Ketentuan Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 dapat ditunda keberlakuannya. Jika pemegang paten tak dapat melaksanakan ketentuan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016, maka Pemegang paten dapat mengajukan permohonan untuk menunda pelaksaan pembuatan produk atau penggunaan proses paten di Indonesia paling lama 5 (lima) tahun. Yang dianulur oleh perturan menteri adalah Undang-undang. Produk hukum yang lahir atas kehendak rakyat, bukan atas kehendak pemerintah. Tapi produk ini dikesampingkan karena adanya tekanan pihak asing. Di sinilah kita berbicara soal kemandirian bangsa, soal marwah bangsa.

Jika persoalan local working yang tak dapat dilaksanakan pada tataran praktis, seperti yang disinyalir oleh Gunawan Suryomurcito ( 28 Agustus 2021), menurut hemat kami itu tak dapat dijadikan alasan agar bangsa ini mengalah. Bangsa ini bangsa besar, jangan dikalahkan oleh segelintir para "makelaar". Jangan dikalahkan oleh keinginan-keinginan para pembisnis. Pembangunan bangsa ini jangan diukur melulu dari tingkat kesejahteraan ekonomi, tapi indeks kebebasan, keadilan sosial, pelindungan hak-hak rakyat, hak asasi manusia, capaian terhadap tujuan Negara, harus dimasukkan ke dalam korider indeks keberhasilan pembangunan Indonesia, seperti variabel kesejahteraan yang ditulis oleh Amartya Sen, yang mengantarkannya sebagai Peraih Nobel Bidang Ekonomi dalam bukunya, "Development As Freedom (1999). Singapore memang menjadi Negara yang berada pada peringkat pertama dalam hitungan indeks kesejahteraan ekonomi, untuk Negara-negara di Asia, tapi pers di Singapore tidak sebebas di Indonesia. Rakyat hidup mewah, tapi hidup bak burung di sangkar emas. Jadi kesejahteraan itu di dalamnya terdapat perlindungan terhadap marwah, harga diri dan kemandirian bangsa. Bukan soal hitung-hitungan ekonomi semata. Itulah dahulu alasannya mengapa bangsa ini berjuang untuk merdeka, melepaskan belenggu penjajah dan itu dituangkan dalam hukum dasar berdirinya Negara ini yang dinukilkan dalam Pembukaan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Terjebak Kehendak Makelaar

Jika hari ini, tenaga kerja lokal kita belum mampu disinilah letak persoalannya. Prof. Agus Sardjono mengatakan, ini bukan kesalahan asing, tatapi kesalahan bangsa ini. Apa alasannya kita tidak dapat membangun SDM yang mampu bersaing dengan asing. Apa alasannya tenaga kerja lokal kita belum siap? Mengapa setelah 76 tahun merdeka kita belum siap bersaing? Pasti ada yang salah dalam pengelolaan menejemen pendidikan kita sehingga tidak bisa menghasilkan tenaga kerja lokal yang mumpuni. Padahal di luar sana anak bangsa ini banyak yang bekerja di perusahaan-perusahan industri asing. Bahkan paten dalam bidang pesawat terbang, belum ada yang menandingi Putera terbaik bangsa kita, yakni; Habibie. Habibie memegang 46 paten dalam bidang aeronautika. Di mana kesalahan bangsa ini?

Menjadi benar anggapan selama ini bahwa, tanpa bermasud untuk mengeneralisasi, bahwa kita masih terjebak dalam kerja-kerja makelaar. Jika local working kita belum mampu, inilah yang terlebih dahulu yang harus kita kejar untuk diselesaikan. Siapkan dahulu SDM yang mampu menjawab tantangan itu. Bukan justeru memberi peluang pada tumbuhnya para makelaar – meminjam istilah yang digunakan oleh Prof. Agus Sardjono – baru. Alasan bahwa untuk melaksanakan satu paten di suatu yurisdiksi tidak bisa dengan cara harus menanamkan modal untuk membangun perusahaan khusus untuk melaksanakan paten dimaksud, seperti yang disampaikan oleh Gunawan Suryomurcito, (28 Agustus 2021), jika secara ekonomis tidak feasible, tentu tak selamanya dapat diterima. Alasan itu tak dapat dipergunakan untuk membuat bangsa ini harus menerima saja keinginan asing, lalu menuangkannya dalam peraturan perundang-undangannya.

Jika secara ekonomis tidak feasible maka tidak mungkin pihak investor asing akan menanamkan modalnya untuk membuat produk atau menggunakan proses yang dipatenkan itu, begitu lanjut Gunawan. Lantas apa dengan begitu, bangsa ini harus takluk pada kehendak para makelaar sebagai wakil dari kaum kapitalis? Bambu runcing juga tidak feasible untuk melawan senjata yang terbuat dari mesin-mesin perang modern. Tapi bangsa ini bisa merdeka, bisa mengusir Belanda dan ditakdirkan tidak menjadi bangsa yang menerima hadiah kemerdekaan dari Jepang. Mengapa semangat itu kini tenggelam. Jangan lupa bahwa kita ini adalah bangsa yang bertuhan, bangsa yang menjunjung nilai-nilai kemanuisaan yang adil dan beradab, bangsa yang besar yang disatukan dalam ikatan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, bangsa yang memilki semangat untuk bermusyawarah dan bermufakat dan bangsa yang memiliki cita-cita untuk mewujudkan masyarajkatnya yang tidak saja sejahterah dalam bidang ekonomi, tapi juga sejahterah dalam bidang sosial.

Oleh karena itu ini bukan persoalan menggeneralisir masalah seolah-olah negara tidak berpihak kepada rakyat, seperti anggapan Pak Gunawan ketika menilai pendirian kami, tapi lebih dari itu, ini adalah soal konsitensi Negara dalam menegakkan nilai-nilai ideologi dan capaiannya terhadap tujuan negara yang telah diletakkan oleh pendiri bangsa ini. Jika pelaksanaan paten yang dimiliki oleh pemegang paten asing di Indonesia itu tidak sesederhana seperti apa yang kami tpikirkan terkait local working, pemikiran itu kita serahkan saja kepada para pelaksana kebijakan. Tapi landasan hukum jangan diutak-atik untuk kepenting praktis yang syarat dengan tujuan-tujuan pragmatis jangka pendek. Undang-undang, sekali ia dibuat tidak berpijak pada ideologi dan tujuan Negara, maka selama itu undang-undang itu dipandang sebagai produk leghislatif yang mencederai nilai-nilai perjuangan para pendiri bangsa ini. Begitu juga ketika tidak semua paten bisa dilaksanakan di Indonesia tanpa kajian sisi economic feasibility-nya, itu bukanlah tugas kita sebagai pembuat undang-undang untuk mengamini tujuan para makelaar dan kaum kapitalis global.

Masuk Perangkap Filosofis Barat

Oleh karena itu perundang-undangan kita termasuk Paten tak boleh terperangkap dengan nilai-nilai filosofis kehidupan Barat. Sejarah Eropa mencatat bahwa, kekalahan Napoleon dalam berbagai peperangan menyentakkan kesadaran Barat dan ini adalah awal kegagalan sistem negara yang dikembangkan di Barat, seperti yang dilukiskan oleh Marvin Perry (Peradaban Barat Dari Revolusi Prancis Hingga Zaman Global, 2013;249). Peradaban Barat yang penuh dengan kisah peperangan itu memberi warna juga pada pilihan produk industri mereka seperti industri alat-alat perang (industri persenjataan) dan bahkan industri perfilman merekapun didominasi oleh cerita perang. Seiring dengan perang senjata yang masih bergolak di sebagian wilayah Timur Tengah, perang ideologipun terus berlangsung. Kemenangan Amerika dengan ideologi liberalnya yang membuahkan kapitalis melawan ideologi komunis yang diikuti keruntuhan dominasi Uni Soviet, membuat posisi Amerika semakin berada “di atas angin” merajai dan sebagai pengendali peradaban dunia. Kini perang itu telah berubah menjadi perang ekonomi dengan ideologinya masing-masing. GATT/WTO hasil capaian Putaran Uruguay Round Tahun 1994 adalah sarana yang dipakai oleh Amerika dan sekutunya untuk menaklukkan Asia dan negara-negara dunia ketiga. Saingan terbesar Amerika adalah Cina, India dan Turki yang diperkirakan akan turut dalam percaturan politik internasional yang memiliki peluang untuk mendominasi perekonomian dunia (Kishore Mahbubani, 2011). Cina dan India telah memperlihatkan “pembangkangannya“ dalam menyikapi TRIPs Agreement sebagai hasil capaian Uruguay Round yang melahirkan kesepatan GATT/WTO. Lantas Indonesia mengambil posisi di mana?

Tentang Local Working

Olkeh karena itu terkait Local Working saya sepakat dengan pandangan Agus Sardjono. Local working tidak harus bangun pabrik. Local working itu bisa lisensi atau berpartner dgn local company. Tidak harus invest sendiri. Itulah gunanya transfer of technology yang akan menjadi ruhnya paten. Impor atau beli itu tidak mendidik dan tidak berpeluang untuk adanya transfer of technology. Yang ada malah banjir dana keluar untuk membayar harga barang yang diimpor (Prof.Agus Sardjono, 28 Agustus, 2021).

Memanglah hal itu juga menurut Gunawan Suryomurtjito, ukurannya adalah kelayakan secara ekonomis, " Lisensi dan partnership pun harus menguntungkan kedua belah pihak". Nah, tapi kami ingin katakan sekali lagi kelayakan ekonomis tak dapat diadikan pertimbangan semata-mata. Dampak sosial dan dampak politik yang ditimbulkannya harus juga diperhitungkan. Untuk apa kita punya uang banyak, tapi jadi bulan-bulanan Negara industri maju yang akan mengantarkan negeri ini ke alam kapitalis yang akan membahayakan perjalanan bangsa ini ke depan. Kecuali hari ini bangsa ini memang sudah sepakat untuk menggangti Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Oleh karena itu, seperti dukungan Dr. Djamal terhadap pandangan Pak Gunawan Suryomurcito, (28, Agustus 2021) sekalipun tidak mungkin akan ada yang mau berinvestasi untuk membuat produk atau menggunakan proses yang dipatenkan itu, karena alasan secara ekonomis tidak feasible, sebagai bangsa yang mandiri kita tak perlu ambil pusing. Kita sedang mengurus hal-hal yang lebih besar dari sekedar mengurus kepentingan para makelaar untuk masa depan negeri ini. Karena itu jangan kita urus, urusan para makelaar dan para kaum kapitalis. Itu bukan urusan Negara.

Bangsa ini sedang memerlukan seorang negarawan, bukan tehnokrat semata, apalagi kaum pragmatis dan kaum opurtunis yang kerap kali melupakan dasar-dasar filosofis bangsa ini.

Persoalan bangsa ini tidak punya bahan baku dan teknologi itu masuk pada arena jawaban abu-abu. Itu pernyataan terlalu bersayap. Tak ada rotan akarpun jadi. Negeri ini ada akar dan ada rotan. Negeri ini kaya dengan sumber daya flora dan fauna. Kaya dengan sumber daya mineral. Kaya dengan potensi kelautan dan potensi pertanian.

Kita bukan tak punya bahan baku, tapi selama ini bangsa ini dibuat menjadi bodoh sehingga tidak mampu mengelola sumber daya alam yang tersedia yang ia miliki. "Indonesia ini adalah penggalan surga", begitu satu kali sahabat saya dari Turki berujar, ketika ia saya bawa keliling Indonesia. Mengapa kita tidak lakukan "Revolusi Hijau" supaya kita tidak mengimpor kedele, beras dan jagung. Mengapa kita tidak melakukan "Revolusi Biru"? Bukankah potensi kesempatan kerja di laut seluas lautan yang dapat dijangkau? Kegagalan kita adalah ketersediaan teknologi. Ternyata awak kapal tangkap ikan Asing banyak yang berasal dari Indonesia?

Di sinilah perlu kehadiran Negara. Jangan melulu hitung-hitungan bisnis. Ada banyak solusi, seperti yang disampaikan Dr. Djamal (28 Agustus, 2021), misalnya menyiapkan lahan-lahan tanah yang dikuasai negara yang terlantar untuk dimanfaatkan dan hasilnya ditanamkan sebagai penyertaan modal buat mengurangi biaya investasi perusahaan yang untuk membangun industri yang patennya berasal dari pihak asing. Kepada pengusaha diberi kemudahan dalam urusan perijinan dan keringanan dalam urusan pajak, supaya pemilik paten bersedia membangun industrinya atau bermitra dengan pengusaha Indonesia. Semua itu dapat dilakukan karena negara punya berbagai perangkat, termasuk perangkat penegak hukum. Berikan rasa aman dan nyaman untuk berinvetasi, sehingga investasi di Indonesia dapat diprediksi atau diperkirakan. Jangan unpredictable. Rasanya, kalau mau, itu bisa diselesaikan.

Setelah itu dipersilahkan menggunakakn hitung-hitungan bisnis, seperti yang diperkirakan oleh kalangan industriawan dan kaum pembisnis untuk kelayakan sebuah investasi, sebagaimana dimaksudkan oleh Pak Gunawan Suryomurcito. Tentu itu tidak mejadi soal, tapi jangan ganggu hal-hal yang bersifat ideologis, sebab di situ terketak harkat, martabat dan marwah bangsa. Harus jelas arah perjalanan bangsa ini. Bangsa ini mau dibawa ke mana?

Local Working Diatur Dalam Peraturan Organik

Oleh karerna itu, patut dipertimbangkan pandangan Prof. Henry Soelistyo Budi (28 Agustus, 2021) Menurut beliau, "Local Working jangan dilihat sebagai instrumen teknis ekonomis. Itu instrumen kebijakan, penormaan dari Policy Ground, tentang Konsep Keseimbangan Hak dan Kewajiban. Sebagai negara berdaulat, kita punya kepentingan nasional yang harus diekspresikan dalam format kebijakan strategis. Jangan di downgrade sebagai persoalan teknis. Level pendekatannya harus ditataran national policy. Jadi tidak layak diutak-atik dengan kalkulasi ekonomis, apalagi argumen berbasis business interest. Enggak nyambung. Itu harus dipahami dalam policy perspective. Kalau tidak feasible secara ekonomi, nah baru ditukangi eksepsi atau dispensasi dan instrumen diskresi operasional lain, seperti gagasan Dr. Djamal, tapi jangan dinihilkan apalagi disalahkan konsep local working itu, demikian sanggahan dari Prof. Henry Soelistyo Budi yang saat ini tercatat sebagai Ketua Program Pasca Sarja Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan, yang juga sebagai Anggota Dewan Pembina APHKI. Mari kita melihatnya secara lebih arif. Intinya konsep keseimbangan hak dan kewajiban pemegang paten. Itu yang perlu direnungkan dan mendapat depth valuenya " Begitu pandangan Prof. Henry Soelistyo Budi yang sudah bertungkus lumus keterlibatannya dalam tataran basic policy terkait pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan HKI. Pandangan ini akhirnya dapat disetujui oleh Gunawan Suryomurcito, yang juga sudah bertungkus lumus dalam tataran enactment policy. Beliau setuju jika local working diatur dengan aturan-aturan implementasi praktis Daitur dalam aturan organik, jangan dengan undang-undang. Para ilmuwan dana kalamngan akdemisi diajak untuk tidak berhenti di tataran teoritis dan normatif belaka, tapi perlu juga melihat pada tataran praktik, ajak Gunawan Suryomurcito yang saat ini sebagai praktisi urusan HKI di Kantor Suryomurcito&Co. Memang begitulah, si buta bertugas untuk menghembus lesung, si tuli untuk membunyikan meriam. Ilmuwan memberikan pandangannya, para pembuat kebijakan membuat kebijakannya dan para pelaksana kebijakan akan mengeksekusinya.

Akhirnya seperti apa yang diperkirakan Prof. Agus Sardjono, muncul juga dalam diskusi ini, apa yang sudah ia sampaikan kepada Direktur Paten dalam satu kesempatan, "Bahwa terkait soal local working diatur lebih lanjut ". Bahkan ia juga sudah sampaikan formulanya. Bahkan pada waktu itu Prof. Agus Sardjono menentang sanksi penghapusan paten ketika Pasal 20 tidak dijalankan. Intinya, "asing" memang cuma mau jualan produk ke pasar Indonesia. Mereka enggan untuk melaksanakan transfer of technology. Sebab apa yang disebut dengan patent disclosure itu tidak ada gunanya. Konsep enabling to work the invention hanya menjadi teori saja. Prof. Agus Sardjono-pun akhirmya menyalahkan bangsa kita sendiri, bukan perusahaan asing. Karena bangsa ini tidak mau bekerja keras, utamanya para pedagangnya yang tak mau repot. Cukup jadi tukang bungkus obat dan sudah dapat laba. Kelangkaan bahan baku yg disebut Dr. Djamal menurut Prof.Agus,Sardjono yang saat ini tercata sebagai Guru Besar Fakuktas Hukum UI dan juga Ketua Dewan Pembina APHKI, hanya jadi alasan agar tidak usah repot-repot membuat produk. Beli saja, selesai. Itu juga yang membuat ekonomi bangsa ini dikuasai makelaar.

Penutup

Akhirnya sebagai penutup diskusi dengan mengutip Prof Agus Sardjono, Saddam Shauqi yang saat ini tercatat sebagai Dosen Muda pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengingatkan kembali bahwa dalam Pembukaan UUD 45 ditegaskan tentang tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehiduan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. Pasal 20 UU Paten boleh dikatakan merupakan perwujudan dari mandat konstitusi dalam mempertahankan kepentingan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum melalui (1) transfer of technology policy (2) penyerapan investasi (3) peneyediaan lapangan kerja.

Akhirnya dari diskusi ini kita semua anggota APHKI dapat mengambil peranan dalam memperjuangkan nasib bangsa ini ke depan. Idealisme tak boleh luntur. APHKI secara kelembagaan bisa hadir menampilkan idealisme keilmuannya, sekaligus sebagai anak bangsa yang akan melahirkan konsep dasar sampai pada implementasi yang dituangkan dalam bentuk regulasi. Semoga ini bisa menjadi "suntikan vaksin" bagi anggota APHKI, demikian harapan Dr. Djamal, Staf Pengajar Hukum Kekayaan Intelektual dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung yang juga selaku Ketua Harian APHKI Periode 2020-2023.

*) Penulis Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (APHKI) Periode 2020-2023.

545

Related Post