Pejabat Pemerintah Harus Divaksin Antikorupsi
HARI ini Presiden Jokowi dijadwalkan akan disuntik vaksin Covid-19 tahap kedua. Sebelumnya orang nomor satu di Indonesia ini sudah disuntik tanggal 13 Januari lalu dan menjadikan dia orang pertama di negara ini yang divaksin Covid-19.
Rencananya, sepanjang tahun ini ditargetkan 181,5 juta orang Indonesia divaksin. Jokowi sendiri menargetkan vaksinasi kepada 30.000 orang setiap hari. Namun, setelah dua pekan berjalan jumlah orang yang sudah divaksinasi baru mencapai 179.000 orang.
Jokowi mengajukan diri menjadi orang pertama yang divaksin karena menyakini hal itu adalah kunci kebangkitan ekonomi nasional. “Pengendalian pandemi, terutama melalui vaksinasi adalah game changer, adalah kunci yang sangat menentukan agar masyarakat bisa bekerja kembali, anak-anak kita bisa belajar di sekolah lagi, dan agar kita bisa kembali beribadah dengan tenang, dan juga agar perekonomian nasional kita bisa segera bangkit,” ujar Jokowi dua hari setelah menerima vaksin pertama.
Apa benar begitu? Faktanya jauh sebelum pandemik Covid-19 melanda Indonesia di awal Maret tahun lalu, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun.
Sejak awal pemerintahannya, 6 tahun yang lalu, Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur secara masif dengan harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia (pada tahun 2015 cuma 4,79%) bisa meroket di atas 7%. Dengan begitu Indonesia diharapkan sudah menjadi negara maju (advanced economies) tahun 2025. Untuk mengejar impian Jokowi tersebut, sepanjang periode 2015 hingga akhir 2019, pemerintah telah menggelontorkan anggaran sebanyak Rp 1.675,4 triliun atau rata-rata Rp 207 triliun per tahun.
Tetapi, apa hasilnya? Ternyata dengan penggelontoran dana sebesar itu pertumbuhan ekonomi periode 2015 hingga 2019 tetap stagnan. Menurut data Biro Pusat Statistik, pertumbuhan ekomoni Indonesia tahun 2015 adalah 4,79%, tahun 2016 (5.03%), 2017 (5,07%), 2018 (5.17%) dan tahun 2019 (5,02%). Artinya, pembangunan infrastruktur yang digembar-gemborkan akan menyebabkan ekonomi meroket ternyata bohong belaka.
Malah pada tahun 2019 perekonomian mulai menukik ke bawah posisi tahun 2016. Praktis dengan dan tanpa pembangunan infratruktur yang dikampanyekan hampir setiap hari oleh Jokowi pun ternyata perekonomian Indonesia biasa-biasa saja.
Yang jadi masalah sekarang prioritas pembangunan infrastruktur ini ternyata justru menambah warisan utang luar negeri yang luar biasa besar untuk generasi yang akan datang. Bagaimana tidak, pada akhir tahun 2014, utang luar negeri pemerintah Indonesia cuma Rp 2. 608 triliiun. Pada akhir tahun 2019 sudah mencapai Rp 4. 779 triliun. Jadi selama 5 tahun masa pemerintahan pertama Jokowi, sudah menambah utang Rp 2. 171 triliun atau rata-rata Rp 432,2 triliun per tahun. .
Dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan penambahan utang yang meroket, sebetulnya keuangan rezim sudah kolaps sebelum datangnya pandemik covid-19. Karena pinjaman asing lebih.Rp 432 triliun per tahun itu ternyata sama sekali tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Padahal, rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014) mencapai 6%. Untuk menembus pertumbuhan ekonomi setinggi itu selama 10 tahun berkuasa, SBY hanya menambah hutang Rp 1. 309 triliun.
Jadi, ke mana saja larinya pinjaman luar negeri sebanyak Rp 2. 171 triliun selama 5 tahun pertama Jokowi itu? Ini adalah tugas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) untuk mengusutnya. Era SBY bukan tidak ada korupsi. Akan tetapi, faktanya pertumbuhan ekonomi bisa menembus di atas 6%.
Logikanya, jika korupsi di era Jokowi bisa diminimalisir seharusnya pertumbuhan ekonomi dengan suntikan utang luar negeri yang sangat besar sepanjang 2015-2019 sudah bisa menembus di atas 7%.
Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Penambahan utang luar negeri sepanjang era Jokowi akan menjadi beban anak cucu kita ke depan. Apalagi, setelah Indonesia mengalami resesi ekonomi sepanjang tahun 2020. Berdasarkan data per Desember 2020, posisi utang luar negeri Indonesia sudah Rp 6.074,66 triliun. Jadi, sepahang tahun 2020, pemerintah sudah menambah utang luar negeri sebanyak Rp 1. 295 triliun.
Semestinya, dengan pinjaman sebesar itu pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak minus sepanjang tahun 2020. Karena dengan penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), roda perekonomian tetap bergerak di masyarakat. Buktinya tingkat penjualan BBM Pertamina selama tahun 2020 tidak mengalami pengurangan signifikan dibanding sebelum pandemik. Akan tetapi, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 berada pada kisaran minus 1,7% sampai minus 2,2%. Jadi, apa manfaatnya utang luar negeri sebanyak Rp 1.295 triliun itu?
Alhasil kunci kebangkitan perekonomian Indonesia ke depan bukan ditentukan apakah penduduk Indonesia sudah divaksin covid-19 atau belum. Yang diperlukan sekarang adalah meminta pertanggungjawaban presiden terhadap pengunaan pinjaman utang luar negeri yang begitu besar, tetapi ternyata sama sekali tidak menggairahkan perekonomian Indonesia selama 6 masa pemerintahannya. Jika tidak ada kemauan untuk mengaudit ke mana larinya uang sebanyak itu ada baiknya kita mulai memikirkan pergantian presiden sesegera mungkin.
Bayangkan, tahun 2020 saja rezim ini sudah menambah pinjaman asing hampir Rp 1.300 triliun. Dengan melihat pengungkapan kasus korupsi di BPJS Ketenagakerjaan baru-baru ini, menyusul setelah terungkapnya kasus-kasus mega korupsi di Jiwasraya dan penyaluran Bansos Covid-19, jangan harap ekonomi akan membaik setelah semua rakyat divaksin Covid-19.
Sesungguhnya, yang menghancurkan perekonomian Indonesia adalah virus korupsi. Oleh karena itu, seluruh pejabat pemerintah harus divaksin antikorupsi. Tentu, Presiden Jokowi harus menjadi orang pertama yang divaksin antikorupsi itu. **