Pelajaran untuk Puan dan Megawati

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPR RI Puan Maharani. Foto: BAY ISMOYO / AFP

Menjadi putra atau putri ideologis orang tuanya atau keturunannya langsung, yang utama adalah mampu menangkap jiwa zaman dan mampu menetapkan peran sejarahnya secara pas.

Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior

MENGAPA Megawati Soekarnoputri terkesan ngotot ingin mengusung putrinya, Puan Maharani, untuk maju Pilpres 2024? Bisa jadi, Ketum PDIP ini khawatir akan keberlangsungan anak ideologis pewaris perjuangan orangtuanya, Bung Karno (Presiden Soekarno yang juga salah seorang Proklamator).

Saya juga ngerti kalau anak biologis harus juga jadi anak ideologis atau ahli waris perjuangan orang tuanya, bukan berarti harus melakukan daur-ulang sejarah persis seperti yang pernah dilakukan orang tuanya dulu.

Melainkan tetap memandang perjuangan dan karya orang tuanya sebagai ilham dan inspirasi buat kiprah dirinya saat ini. Dan peka dalam menangkap jalan takdir hidupnya. Terutama ketika saat ini mereka jadi pemimpin seperti orang tuanya dulu.

Megawati sebagai pimpinan partai, yakni PDIP, sedangkan Puan sebagai Ketua DPR RI. Ini yang saya coba bandingkan dengan apa yang terjadi di luar sana.

Bedanya Corazon Aquino dan Benazir Bhutto menurut saya, ini terletak dalam konteks itu. Sebagai isteri mendiang Benigno Aquino dan penerus ideologis suaminya, Qory menyadari jalan takdir hidupnya adalah sebagai juru damai antara sipil dan militer.

Dan merangkul para eksponen pendukung rejim Marcos yang berpikiran maju untuk berada di barisan pendukungnya. Termasuk para jenderal militer yang dulunya merupakan lawan politik Benigno Aquino. Alhasil sampai sekarang, militer yang tetap terserap ke dalam dunia politik sipil.

Setelah era Qori sebagai presiden dua periode berakhir, Jenderal Fidel Ramos yang semasa kepresidenan Qori menjabat panglima militer, kemudian menjadi presiden penerusnya.

Dan, publik Filipina pun mengenang Ramos bukan saja presiden dari tentara yang berhasil disipilkan, tapi juga visioner dan punya karisma kepeminpinan yang kuat. Seperti juga Qori, Ramos menjabat presiden dua periode.

Benazir Bhutto lain lagi, dan ini justru contoh kegagalan politik. Sebagai putri biologis yang juga diharap menjadi putri ideologis Zulfikar Ali Bhuto yang mati digantung oleh rejim militer Jenderal Zia Ulhaq, ketika Benazir jadi pemimpin Pakistan dan mengembalikan sistem politik ke supremasi sipil, Benazir tetap memandang memerangi militer sebagai jihad. Ia tanpa mengenali jalan takdir dan tantangan politik Benazir beda dengan era bapaknya.

Alhasil, karena cara pandangnya yang cenderung mendaur-ulang mentah-mentah era bapaknya, alhasil melestarikan perlawanan dan antipati militer terhadap Benazir. Sehingga Pakistan yang sudah mendapat momentum bagi sipil untuk kembali berkuasa setelah era Zia Ulhaq berlalu, militer di bawah Pervez Musharaf kembali berkuasa.

Menjadi putra atau putri ideologis orang tuanya atau keturunannya langsung, yang utama adalah mampu menangkap jiwa zaman dan mampu menetapkan peran sejarahnya secara pas.

Inilah yang harus mengilhami dan menginspirasi putra-putri ideologis orang tuanya. Bukan mendaur-ulang sejarah dari orang tuanya dulu. Karena selain zamanya berbeda, tantangan zaman juga berbeda.

Justru ujiannya di situ. Kalau benar memang anak ideologis, bisakah dirinya jadi anak-anak zamannya seperti orang tuanya dulu? (*)

418

Related Post