Pemilu Serentak 2024, Waraskah Itu Pak Presiden?

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum

Ternate FNN - Pemilu dan pilkada memang bisa ditunda. Bisa juga dipercepat, dan diakali dengan seribu satu akal udang dan bulus. Mati tidak. Mati itu pasti. Dia akan mendatangi siapapun sesuai tabiatnya, yang tak tertebak mahluk. Tak ada seorangpun, termasuk Presiden, yang sejauh ini terlihat menolak menyelenggarakan pilkada pada tahun 2022, bisa lari dari kedatangannya.

Sebagai mahluk, presiden dengan semua kebesaran artifisialnya, tak dibekali dengan kemampuan untuk menghindari kematian. Nafas akan selalu begitu, menemui akhir yang pasti. Nafas akan berhenti pada waktunya. Selalu begitu dalam rahasianya, kematian mengirim sebab untuk mendahuluinya.

Kematian Yang Brutal

Tidak seperti pemilu dan pilkada yang bisa diprediksi awal dan akhirnya, mati tidak? Tidak seperti pemilu dan pilkada, mati tak bisa diakali. Kematian punya tabiat sendiri, yang untuk alasan apapun, oleh siapapun, tidak dapat disetarakan dengan pemilu.

Mati itu pasti dalam semua aspeknya. Pemilu tidak. Ingat, Pemilu itu, apapun jenisnya, bisa diakali pada semua sudutnya dari awal hingga akhir. Akhir yang menyenangkan untuk siapa? Dan akhir yang pahit untuk siapa? Selalu mudah dikerjakan dan disajikan dalam pemilu.

Siapa menang dan siapa kalah, tersaji menjadi hal biasa dalam pemilu dimanapun itu. Termasuk dunia politik sedemokratis Amerika sekalipun. Itulah tabiat bawaan pemilu yang disajikan sejarah. Sejarah sehitam itu, terekam otentik sejak pemilihan konsul di Romawi kuno dan beberapa presiden Amerika.

Pemilihan konsul di Romawi kuno tahun 68 setelah masehi terekam oleh Machivelli dengan jual beli suara. Sejarah Romawi itu, dan sejarah pemilu Amerika adalah menjadi sejarah tentang mainan orang berduit. Kaum aristokrat Romawi kuno merupakan blok khusus pada strata patrician inilah yang mengendaslikan pemilihan konsul.

Romawi yang memulai tradisi republik, yang dengan itu pemilu diadakan. Memberi sumbangan otentik tentang larangan jual-beli suara. Larangan itu teridentifikasi pada Lex Vigula. Lex ini diprakarsai pembentukannya oleh Vigulus, senator top yang dipercaya Cicero. Markus Tulius Cicero, yang kala itu ikut kontestasi Konsul, mendesaknya membuat lex itu. Cicero cukup yakin dia akan terlempar, bila kelakuan beli-membeli suara yang telah melembaga, yang dilakukan para aristokrat tak dihentikan.

Level negarawan yang dimilikinya, diyakini tidak bisa membantunya. Terlalu banyak pemilih yang tidak cukup cerdas. Terlalu banyak pemilih yang tak dapat diandalkan dan diminta mengetahui risiko salah pilih orang. Cicero tahu tanpa UU itu, jabatan Konsul akan jatuh dan jatuh lagi pada kelompok aristokrat, oligarki yang sepanjang sejarah selalu membinasakan itu. Lex vigula memang berhasil membentengi Cicero. Dia menang dan jadilah konsul pada waktunya.

Bagaimana dengan Indonesia? Hukum larangan beli-membeli yang diatur dalam UU Pemilu dan Pilkada hanya memiliki daya ledak setara meriam bambu. Bunyinya doang yang gede. Efeknya? Nyamuk pun tak bisa sempoyongan, apalagi mati. Lalu Pemilu yang berintegritas? Itulah omong kosong terbesar dalam politik dan hukum pemilu Indonesia.

Pemilu ya uang. Beli ini dan itu dalam nada curang dan sejenisnya dengan segala pembenarannya. Bagaimana dengan pemilu 2019? Itu pemilu pailing brutal, jorok, primitf dan bar-bar. Bahkan lebih jorok, primitif dan brutal dibandingkan dengan pemilu-pemilu otoritarian sepanjang orde baru.

Pemilu Presiden, DPR, DPD dan DPRD 2019 tertulis jelas. Pemilu itu tertulis sebagai pemilu menjijikan, dengan duka dan pilu pada dimensi praktisnya. Itulah kenyataan sejarah tata negara dan politik Indonesia dibawah Presiden Jokowi.

Lebih dari 800 orang Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) mati. Mereka mati sesaat setelah mengadakan penghitungan suara. Ini otentik dengan ketelanjangannya yang utuh. Pemilu itu juga telanjang untuk ketidakberesan dan ketidaknetralan aparatur negara. Jorok, jijik, brutal, dan sejenisnya memang menjadi penanda pemilu 2019 itu.

Entah ambisi murahan khas orang-orang tak beradab, yang tak punya malu, yang menyediakan dirinya menjadi jongos oligarki atau hal lainnya. Kematian tragis KPPS itu berlalu begitu saja. Tak ada investigasi terkordinir dan bertanggung jawab dari pemerintahan Jokowi. Bahkan belasungkawapun, kalau tak salah, tak terucap dari pemerintahan Jokowi. Tragis dan menyedihkan.

Main kasar bermantel konstitusionalisme dalam pemilu 2019 itu. Hebat politik konstitutionalisme menerima hasil akhirnya sebagai legal. Konstitusionalisme memang begitu, selalu kalah dan menyerahkan nasibnya pada pemenang. Itu kelemahan terbesar konstitusionalisme.

Postur kehidupan tata negara dan politik yang dihasilkan sesudah itu, jelas. Gersang dan main suka-suka, kasar dan habis-habisan terlihat menjadi epistemologi politik sesudah itu. Kearifan kelembagaan yang secara diam-diam diminta oleh demokrasi konstitusional, kini terlihat mengering sempurna.

Corak politik berkelas rendahan ini, beralasan diproyeksikan sebagai hasil akhir pemilu “mematikan lagi” dan “brutal lagi” malah “lebih brutal” dan lebih menginjak-injak harkat dan martabat orang pada pemilu 2024 yang diserentakan nanti. Empat kotak saja telah mematikan begitu banyak petugas KPPS, apalagi lima kotak.

Masih Waraskah?

Hukum konstitusi tak lain merupakan kristalisasi murni ambisi dan kalkulasi partisan yang saling bersaing. Mengerti hukum konstitusi, termasuk yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) harus dimengerti juga dalam konteks itu. Hukum konstitusi tentang pemilu yang lahir dari putusan MK, entah nomor berapa itu, jelas mewakili perspektif ini.

Bagaimana bisa menandai pandangan Bang (almarhum) Slamet Effendy Jusuf (semoga Allah Yang Maha Rahman selalu merahmatinya di alam sana), sebagai pemilu serentak? Bagaimana skema gagasan yang diperagakan Bang Slamet dimengerti sebagai pemilu lima kotak?

Skema itu hanya menegaskan pejabat-pejabat untuk jabatan tunggal (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota), harus dipilih. DPR, DPD dan DPRD juga harus dipilih. Tidak ada yang diangkat. Itu saja. Itu substantial intenttion dari gagasan yang diperagakan Bang Slamet. Tidak lebih dari itu.

Hukum konstitutsi final saat ini secara kategoris menempatkan pilkada sebagai bukan pemilu. Memang saat ini sengketa pilkada diperiksa, diadili dan diputus oleh MK. Tetapi itu sepenuhnya disebabkan peradilan khusus yang diperintahkan pembentukannya oleh UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota belum dipenuhi.

Kecuali mau menyebut hukum konstitusi tentang pemilu saat ini sebagai hukum suka-suka, seenaknya saja, asal saja, penggabungan pemilu presiden dan legislatif di level pusat dengan pilkada, jelas tidak waras. Sekali lagi itu pelaksanaan demokrasi yang tidak waras.

Kalau akhirnya kedua jenis pemilihan ini disatukan, dan diserentakan penyelenggaraannya pada pemilu 2024, maka sempurnalah sifat “suka-suka” pada hukum pemilu. MK jelas punya andil besar atas lahirnya hukum suka-suka ini. Ahli hukum bukan jongos, bukan juga penjilat, entah apa namanya, memang bisa menemukan argumentasi penyatuan ini. Sekali lagi bisa.

Ahli hukum yang bukan jongos dan babu politik bisa saja beragumen pemilu dan pilkada sebagai dua peristiwa hukum, yang secara konstitusional disifatkan sebagai dua hal hukum berbeda. Argumentasi justikatif itu tidak akan dapat dilihat lain, selain sekadar memoles kedangkalan penalaran dan inkonsistensi dari lembaga yang namanya MK.

Pak Presiden, dengan segala hormat, saya sarankan abaikan putusan MK itu. Putusan itu tidak logis. Kalau kontraksi politik membayangi Pak Presiden sehingga harus diikuti, maka waras sekali kalau pelaksanaannya dipisahkan. Karena memang harus dipisahkan.

Serentak pada satu waktu untuk pemilu Presiden, DPR dan DPD. Dan serentak pada waktu yang lain untuk pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD Provinsi, kabupaten dan Kota. Itu cara waras merawat kehebatan bangsa, yang kian mengering, dan mencekam hari demi hari ini.

Menyerentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah, termasuk DPR provinsi, kabupaten dan kota bukan takdir konstitusi. Juga bukan takdir republik. Republik hanya punya takdir jabatan-jabatan itu harus diisi dengan cara dipilih. Mereka dipilih oleh rakyat. Republik ini menakdirkan mereka sebagai sumber kekuasaan. Itu saja. Tidak lebih.

Jadilah orang besar. Orang besar menandai dirinya dengan kualitas dan kapasitas mengenal yang tak dikenal, dengan citarasa arif yang tak terjangkau politisi kacangan. Jadilah orang besar yang mampu membalut nafas, fikiran dan tindakannya dengan cita rasa menahan diri yang tak biasa.

Konstitusi tak selalu indah. Tetapi bisa sangat indah dan menjadi kekuataan yang di Amerika ditunjuk sebagai penyumbang kejayaan mereka, karena dua hal. Putusan hakim dan keputusan pemimpin politik, khususnya Presiden. Presiden-presiden hebat memandu kehebatannya dengan kearifan. Mereka tahu kearifan pemimpin politik memiliki tempat istimewa dalam demokrasi.

George Washington, Thomas Jefferson, Ulisius Grant, dan lainnya, memenuhi kualifikasi itu. Mereka membuat konstitusi dan demokrasi terlihat hebat, dalam sifatnya sebagai modal politik tak tergantikan. Toleransi terhadap sikap lembaga lain, itu juga yang diminita demokrasi konstitusional menghidupkan mimpi-mimpi konstitusi.

Golkar, Nadem, PKS dan Demokrat, untuk alasan separtisan apapun, tidak dapat dibilang menyimpan amibis lain atas gagasan agar pemilihan kepala daerah tetap dilaksanakan pada tahun 2022 ini. Waras mereka. Ada sisi kemanusiaan yang timbangannya begitu berat dalam gagasan itu.

Partai-partai itu terasa tidak sedang main kasar, apalagi main habis-habisan sampai menabrak, menghancurkan prinsip-prinsip konstitusi. Sama sekali tidak. Nelar mereka waras. Terlihat nyata citarasa penghormatan kemuliaan manusia dalam gagasan itu. Demokrasi itu ada karena ambisi memuliakan manusia, bukan mematikan melalui politik tak yang waras dan jorok.

Jangan ada lagi KPPS yang mati. Tetapi KPPS akan mati lagi, bila pemilu dan pemilihan kepala daerah diserentakan pada waktu yang bersamaan. Menghindarinya akan terasa seperti kerbau menangkap angin disenja hari. Mimpi Golkar, Nasdem, PKS dan Demokrat itu masuk akal.

Ada cahaya terang kemanusiaan yang dijanjikan akan menyinari jalannya bangsa ini. Lupakanlah sejenak ambisi partisan. Sejukkanlah bangsa ini sesejuk embun pagi. Waras memang menyambut gagasan mereka. Renungkanlah itu Pak Presiden agar terlihat waras.

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

940

Related Post