Perlu Melibatkan Rakyat untuk Menangkal Serangan Siber
Semarang, FNN - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha memandang perlu pelibatan rakyat dalam pertahanan negara dengan mengajak warganet ikut serta secara aktif menjaga ketahanan nasional, terutama dari serangan siber dan bentuk ancaman perang asimetris.
"Seiring dengan perkembangan teknologi siber, bangsa Indonesia perlu juga mengamankan wilayah baru ini," kata Pratama menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu pagi.
Sebelum teknologi informasi berkembang seperti saat ini, lanjut Pratama, model sistem pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya sudah ada. Bahkan, pertahanan keamanan rakyat semesta (hankamrata) itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Sekarang ini, lanjut dia, Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI membuat kembali wajib militer dengan harapan hankamrata ini bisa terwujud. Dengan demikian, ada pendidikan fisik dan mental keindonesiaan.
"Nah, untuk keamanan siber ini masuk ke mana? Tentu perlu dibicarakan banyak pihak," kata Pratama yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC itu berpendapat bahwa keamanan siber bisa saja masuk dalam kurikulum pendidikan wajib militer dari Kemhan. Selain itu, harus ada upaya serius lewat kurikulum pendidikan sehingga sudah masuk sejak jenjang pendidikan menengah atas misalnya.
Menurut Pratama, yang cukup unik dari keamanan pertahanan siber adalah kemampuan sumber daya manusia (SDM) siber di luar TNI/Polri, BSSN, dan Badan Intelijen Negara (BIN) sangat banyak.
Oleh karena itu, dia menilai perlu merangkul dan mengajak para ahli teknologi informasi untuk membangun hankamrata di ranah siber. Hal itu mengingat rumus utamanya adalah pertahanan tersebut mengajak sebanyak mungkin partisipasi rakyat.
"Apalagi dalam perang siber, tidak bisa lagi kekuatan yang dimiliki negara bertarung sendiri. Diperlukan peran serta masyarakat untuk membantu pertahanan siber, terutama pada masa konflik," katanya.
Ditekan pula bahwa hal itu merupakan kerja bersama sehingga semua pemangku kepentingan perlu duduk bareng agar jangan sampai tumpang-tindih. Minimal mengajak masyarakat bagaimana memberantas hoaks dan judi online bersama.
Di satu sisi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan sistem pelaporan dan masyarakat bisa memantau sejauh mana Kominfo menindaklanjuti pelaporan mereka.
Setelah masyarakat terbiasa melakukan kerja sama pelaporan hoaks dan kejahatan siber lainnya, menurut dia, akan mudah untuk mengajak masyarakat memahami dan ikut menjadi partisipan dalam pertahanan siber di Tanah air.
Pratama mengemukakan bahwa pada era siber memang tidak mudah memastikan ada tidaknya perang nyata. Hal ini berbeda dengan perang fisik, satu pihak secara militer sudah mengerahkan kekuatannya.
Pada era siber, perang bisa terjadi 24 jam tanpa disadari. Misalnya, perang asimetris dengan konten hoaks untuk mengganggu stabilitas nasional, kemudian berbagai aksi serangan siber, baik masyarakat maupun aparat tidak mengetahui adanya serangan tersebut.
Bila menginginkan partisipasi masyarakat dalam pertahanan semesta di wilayah siber, dia menilai cukup rumit. Misalnya, kekuatan akan masuk sebagai komponen apa, cadangan atau pembantu, kemudian apakah akan ada model baru hankamrata dengan adanya wilayah siber ini.
Karena konteks hankamrata di wilayah siber jelas tak hanya soal defensif tetapi juga ofensif, yang beberapa negara dalam bentuk lain sudah mempraktikkan, misalnya Rusia dengan ikut sertanya para peretas (hacker) sipil dalam setiap aksi pertikaian dengan negara lain.
"Jadi, selain edukasi dan pelatihan massal lewat lembaga negara, harus ada juga kegiatan rekrutmen, terutama bagi SDM yang mumpuni dan sangat dibutuhkan negara," kata Pratama Persadha. (Ida/ANTARA)