Pernyataan Luhut Itu Narasi Ganda yang Berbahaya
Jakarta, FNN - Menko Maritim dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyulut kegaduhan. Luhut terkesan menolak operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atas pernyataan ini Luhut mendapat kecaman dari masyarakat, termasuk Dosen dan Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun.
“Mohon maaf saya harus katakan narasi Luhut Binsar Panjaitan itu narasi ganda yang berbahaya bagi pembangunan kesadaran etik berbangsa dan bernegara yang ingin menghadirkan good governance,” tegasnya kepada FNN, Rabu (21/12/2022).
Luhut mengatakan. “Kalau mau bersih-bersih amat di surga sajalah kau. Jadi, KPK pun jangan pula sedikit-sedikit, tangkap-tangkap, itu enggak bagus juga buat negeri ini, jelek banget. Tapi, kalau digitalize, siapa yang mau melawan kita?”
Menurut Ubedilah, kalimat itu narasi ganda yang berbahaya bagi kesadaran etik berbangsa dan bernegara yang ingin menghadirkan good governance.
“Mengapa saya sebut itu narasi ganda berbahaya? Sebab itu semacam ada dua narasi yang di satu sisi itu menghendaki kebaikan tentang pentingnya digitalisasi birokrasi tetapi di sisi lain nampak menolak OTT yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi),” ungkap Ubedilah.
Padahal OTT itu otoritas KPK yang merupakan penegakan hukum sebagai bagian penting dari pemberantasan korupsi yang memiliki efek jera. “Narasi ganda Luhut ini berbahaya juga karena seolah membolehkan praktik korupsi karena ia mengatakan kalau mau bersih di surga saja,” lanjutnya.
Ubedilah menilai, narasi ini tidak etis disampaikan pejabat publik apalagi disampaikan di hadapan publik. Pejabat publik itu diikat oleh public etis yang secara moral juga memiliki kewajiban untuk menjaga hal etis bernegara dihadapan publik.
“Jika tidak seperti itu sebaiknya tidak perlu jadi pejabat publik. Berbahaya tidak bagus untuk edukasi kesadaran etis berbangsa dan bernegara untuk generasi muda. Ingat narasi pejabat publik di area publik itu memiliki efek pendidikan kepada generasi muda,” tambah Ubedilah.
Perlu diingatkan juga bahwa dalam soal korupsi skor indeks korupsi kita masih merah di bawah 50, yaitu 38. Artinya, korupsi di negeri ini masih merajalela dan di tengah merajalelanya korupsi malah pejabat publiknya mengatakan sesuatu yang justru sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
“Bukankah pemerintah dan kita semua menginginkan agar good governance di negeri ini terwujud,” lanjut Ubedilah. Suatu pemerintahan yang diantaranya menjalankan prinsip transparency dan follows the rule of law.
“Nah narasi Luhut itu bertentangan dengan prinsip-prinsip good governance itu. Jadi, berhati-hatilah Pak Luhut bicara seperti itu, berbahaya loh efeknya,” ujar Ubedilah Badrun mengingatkan. (sws)