Polisi Siber & Polisi GESTAPO Nazi Hitler
Jakarta FNN – Ahad (10/01). Merujuk CNN Indonesia.com Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah akan mengaktifkan kembali polisi siber."Jadi saya katakan kita aktifkan polisi siber. Bukan membentuk, (tapi) aktifkan. Karena polisi siber kita gampang kok," kata Mahfud seperti dikutip dari kanal YouTube Dewan Pakar KAHMI Official, Senin (28/12).
Mahfud menyebut hoaks yang beredar tak lepas dari persoalan politik. Menurutnya, ada kelompok yang kerap menghantam pemerintah. Sehingga apapun yang dikerjakan oleh pemerintah selalu saja dianggap salah (CNN Indonesia, com. 28/12/2020).
"Kalau ada orang mengancam-ancam jam delapan pagi, jam 10 sudah ditangkap, bisa kok sekarang. Dan itu banyak sudah dilakukan," kata Mahfud dalam Webinar KAHMI, Senin (28/12/2020) lalu. "Polisi siber kita bisa untuk hal-hal yang kriminil, membahayakan seperti itu," tambahnya. (Tirto.co.id, 31/12/2020).
Ya Polisi Siber, diaktifkan. Jelas sudah. Ini sikap pemerintah yang cukup dapat diyakini. Tidak bakal bisa ditawar. Apapun alasan yang mungkin dan rasional, yang coba digunakan untuk menawarnya, bisa dipastikan tidak diterima pemerintah.
Akankah Polisi Siber kelak bermetamorfosa menjadi Polisi Politik. Layaknya Gestapo di masa Nazi Hitler? Apakah Polisi Siber ikut menyadap telepon? Tidak hanya orang-orang kritis diluar pemerinthan. Tetapi juga aparatur pemerintah? Semakin sempitkah kebebasan berekspresi kita?
Semakin represifkah pemerintahan ini? Pertanyaan-pertanyaan hipotetik itu layak kita ketengahkan. Karena satu kenyataan kecil. Profesor Mahfud memungkinkan FPI lama berubah dengan menggunakan nama lain. Tetapi, Polisi disisi lain justru hendak membubarkan bila FPI baru tidak didaftarkan.
Sikap Polisi tercermin dari pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono. Dia menyatakan ketiadaan legalitas tersebut dalam hal ini,polisi diperbolehkan untuk membubarkan organisasi itu setiap kali melakukan kegiatan di setiap wilayah.
"Jika tidak mendaftarkan, artinya di sini ada kewenangan dari pemerintah untuk bisa melarang dan membubarkan, " ujar Rusdi di kantornya, Jakarta Selatan, pada Selasa, 5 Januari 2021 (Tempo.oc.id, 5/1/2021).
Polisi Siber, terlihat dari pernyataan Mahfud, sang Profesor Tata Negara yang pernah anggota DPR dan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, canggih. Jam 8 pagi seseorang mengunggah pikirannya di medsos, lalu kontennya dinilai kriminal, jam 10, dua jam setelah itu sudah dapat ditangkap. Sangat canggih.
Menyanggah kebijakan ini, dengan cara mengambil dari gudang gagasan Rule of Law, Human Right, Due Process of Law. Lalu mengualifikasi kebijakan ini khas rezim tirani, totaliter, otoriter dan fasis, boleh jadi akan ditertawakan. Sebagai menteri yang dari mulutnya kebijakan ini terpublikasi, boleh jadi Mahfud, professor yang dua kali jadi menteri di pemerintahan Gus Dur itu, muncul sebagai orang yang paling lincah dalam pemerintahan Jokowi, membantahnya.
Dunia menyediakan beragam kenyataan tercabik-cabiknya rule of law dan HAM. Demokrasi? Sama juga. Begitulah tampilan rule of law dan demokrasi mutakhir. Paradoksnya seburuk itu sekalipun tampilan praktis keduanya, ilmuan revisionis selalu mampu menyebut rule of law dan demokrasi.
Sejumlah rezim demokratis menempatkan ketertiban dan keamanan di jantung demokrasi dan rule of law. National Security Act telah eksis dalam khasanah rule of law dan demokrasi. Tidak ada rezim mutakhir yang mau menyebut demokrasi di negerinya dengan sebutan pseudo demokrasi, hanya karena National Security Act eksis.
Apa rakyat Indonesia punya keberanian untuk menyatakan Profesor Mahfud, yang hampir jadi calon wakil presiden Jokowi pada pilpres kemarin tidak baca buku Clinton D. Rositer, yang berjudul Constitutional Dictatorship? Beranikah seseorang mengatakan Profesor tata negara, yang sangat kaya argumen ini, tidak baca artikel Constitutional Dictatorship: Its Dangger and Its Design dari Lynford A. Landner?
Diktator, ambil misalnya Hitler, memasuki kekuasaan melalui Pemilu 1933. Dan pemilu itu diatur dalam “Konstitusi Wirmar 1919”, yang dikenal sangat demokratis dan menjamin hak asasi manusia. Setelah kekuasaan diraih, berada dalam genggamannya, konstitusi dan demokrasi itu dicampakan.
Keragaman khas “Konstitusi Wimar 1919” hilang. Diganti keseragaman, yang diusahakan secara serampangan. Semua aspek kehidupan diseragamkan. Ras dan politik diseragamkan. Kritik disambut rezim sebagai ancaman berbahaya dengan efek merusak yang tak terperkirakan.
Pengawasan, penangkapan, penculikan, penempatan di kamp konsentrasi, bahkan pembunuhan, extra court killing, segera naik menandai tipikal rezim Hitler. Rakyat, bahkan aparatur pemerintah menemukan diri berada dalam orbit pengawasan tiranis pemerintah.
Untuk mengefektifkannya, Hitler, dengan bantuan Herman Gorring, mantan perwira Ankatan laut ini, segera membentuk “Geheime Staatpolizie (GESTAPO)”. Ini terjadi pada 1933, tahun naiknya Hitler ke tampuk Cancelor. Mark Neoleus menyifatkan GESTAPO dengan Secret State Police. Polisi rahasia.
Sekuritisasi Jerman Nazi, yang dikemudikan Hitler, terus bergerak maju. Ini menjadi alasan utama mengapa pada tahun 1936, Hitler memekarkan struktur Kepolisiannya. Untuk kepentingan ini, Hitler mengangkat Himler mengepalai Kepolisian German. Naik dengan tiket memperkaya strukturr Kepolisian, Himler dalam kedudukannya sebagai Kepala GESTAPO, segera membentuk lagi dua devisi.
Dua devisi baru ini disebut Himler dengan Ordnungpolizie (Orpd) dan Sieherheitspolizie (Sipo). Setelah itu dibentuk lagi Kriminalpolizie (Kripo). The Security Police dipimpin oleh Reinhard Heiydrich. Pada saat bersamaan, pria ini juga memimpin Sichersheitdients (SD). Unit keamanan organisasi partai Nazi.
Sekuritisasi terus bergerak naik seiring perang yang mulai dikobarkan Hitler. Tahun 1939, security police dan Unit Keamanan Partai (SD) diintergrasikan ke dalam Reichssicherheitshauptamt, atau Reich Security Head Office (RSHA). Praktis Hitler punya Sipo, Kripo, Orpo, Gestapo, SS, SD dan lainnya, yang semuanya, dalam pandan Neuclous, mencerminkan ketidak-jelasan dan kebingungan visi menangani keamanan.
Pada Hitler’s War, ditulis oleh David Irving, terlihat jelas tampilan kebingungan itu. Irving menulis, salah satu pengawasan senjata terpenting di Kepolisian negara Hitler, dikendalikan oleh Herman Goring, bukan Himler, yaitu Forschungsamt atau departemen penelitian. Didirikan April 1933. Departemen ini memonopoli operasi “penyadapan” (tanda petik) redaksi telephon.
FA, tulis Irving lebih jauh, merupakan sumber inlelijen polisi, ekonomi, dan politik tingkat tinggi. Artikel tercabing-cabik yang berhasil diselamatkan menunjukan efisiensi yang mengancam, menempatkan hasil penyadapan rutin terhadap actor-aktor kacangan.
Gubernur Julius Stricher, Nona Unity Mitford, Putri Strefanie Holenlohe, wanita simpanan Gobles, propagandis top ini, semua disadap. Tentu oposisi, jauh lebih ketat berada di orbit penyadapan.
GESTAPO, Nazi Secret State Police, dalam kerja penyamarannya, tentu tak berseragam. Ada di mana-mana di setiap sudut Jerman Nazi. Itulah potret kecil tampilan mereka. Menghimpun informasi di setiap sudut politik, sosial, ekonomi Jerman, itu pula kerja kecil lainnya dari GESTAPO.
Berwenang penuh membuka dan memerika surat menyurat rakyatnya. Menyadap percakapan telehone, menghukum, bahkan membunuh tanpa proses peradilan. Dikenal dengan extra judicial killing. Itulah Gestapo. Polisi rasis, dengan semua tindak-tanduknya, jelas dikenang sebagai Polisi paling horor.
Jerman Hitler diingat sejarah sebagai rasis, dengan Gestaponya di front terdepannya. Alhasil GESTAPO, yang Hitler andalkan menjadi Polisi Politik, dengan semangat rasis, yang kebejatannya berserakan dimana-mana, merasuk ke semua aspek kehidupan.
Metode itu membuat Hitler nyaman dari serbuan kritik. Hasilnya jelas, Hitler itu Jerman. Hitler itu Nazi, dan Hitler itu hukum. Ini persis Raja Louise ke 14 ketika berkuaa di Perancis. Raja Louise yang terkenal dengan D’tate et’s moi (negara adalah saya).
Tampilan macam itukah yang kelak akan tersaji dalam memori politik bangsa ini setelah Polisi Siber dibentuk? Yang Profesor Mahfud nyatakan diaktifkan, efektif bekerja? Apakah Polisi Siber akan bermain dalam kesamarannya, sehingga bermetamorosa menjadi Polisi politik?
Sejarahlah nanti yang akan maju sebagai narasumber otoritatif untuk semua pertanyaan hipotetik itu. Pertanyaan-pertanyaan hipotetik itu, kita ajukan semata-mata karena kita ingin Republik Indonesia tercinta, kelak tak semakin menodai pembukaan UUD 1945, hanya oleh sebab-sebab picik kecil.
Cukuplah korupsi Bansos, yang mengakibatkan Juliardi Batubara, Menteri Sosial, kader PDI-P itu ditahan KPK. Cukuplah itu menodai cita-cita luhur pendiri bangsa ini. Cukup sudah kematian tragis enam orang anggota Lankar Front Pembela Islam (FPI), pengawal Habib Rizieq, semuanya atau sebagian mati ditangan Polisi, menjadi penanda arogansi hukum yang kerdil dalam usaha sekuritisasi bangsa ini.
Mari mulai beranjak dewasa. Segeralah pemerintah membiasakan diri berpikir dan bertindak dengan bijak. Bijaklah menedefenisikan keamanan. Kita tak mau “keamanan” dijadikan tameng kerdil dan picik. Untuk kegagalan kita menggunakan akal sehat dan nurani republik. Itu saja. Wallaahualam bishawab.