Ponpes Amanatul Ummah Terima Vaksin, Asal Jangan AstraZeneca!
by Mochamad Toha
Surabaya, FNN - Meski akhirnya PWNU dan MUI Jawa Timur membolehkan Vaksin AstraZeneca digunakan untuk vaksinasi Covid-19, Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah KH Asep Saifuddin Chalim terang-terangan menolak vaksin AstraZeneca.
Ia melarang keras 12.000 santri dan mahasiswa, serta 1000 lebih tenaga pengajar di lembaga pendidikannya disuntik vaksin Covid-19 dari Inggris tersebut. “Amanatul Ummah sangat mendukung vaksinasi, asalkan jangan vaksin AstraZeneca,” tegas Kiai Asep.
Jika vaksin AstraZeneca haram mutlak bagi Amanatul Ummah. “Jadi, tidak ada halal mubah itu tidak ada,” katanya kepada wartawan di Institut KH Abdul Chalim, Desa Bendunganjati, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Sabtu (27/3/2021).
Kiai Asep menyebut, karena sesuai fatwa MUI Pusat yang mengatakan vaksin AstraZeneca itu mengandung (tripsin) pankreas babi dan hukumnya haram. Menurut MUI pusat hukumnya haram, tapi diperbolehkan ketika darurat.
“Namun, di Amanatul Ummah tidak yang ada darurat. Karena selama satu tahun di Amanatul Ummah ini tidak ada yang terkena Covid-19,” terangnya.
Menurutnya, Ponpes Amanatul Ummah bisa bebas Covid-19 karena selama ini menerapkan protokol yang ketat. Setiap santri yang baru datang, wajib lolos pemeriksaan rapid test, foto toraks dan pemeriksaan darah lengkap.
Kiai Asep juga mengkritik Fatwa MUI Jatim yang menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca halal dan bagus (halalan thoyiban). Ia menilai fatwa tersebut salah karena hanya menggunakan alasan istihalah atau perubahan bentuk dan ihlak atau penghancuran.
MUI Jatim yakin tripsin pankreas babi yang digunakan dalam produksi vaksin AstraZeneca tidak lagi menjadi najis karena sudah berubah bentuk. Istihalah di situ disamakan dengan Ihlak, penghancuran, tidak ada nilai-nilai babinya.
Istihalah dan ihlak tertangkal oleh Intifak. Yaitu bisa menjadi vaksin karena ada (tripsin) pankreas babinya. Intifak itu bukti yang tidak bisa dihilangkan. Buktinya apa? Jadi vaksin. Tanpa ada pankreas babinya tak akan jadi vaksin.
“Keharaman intifak, baru pada pemikiran saja sudah haram, apalagi sudah ada realisasinya,” lanjut Kiai Asep. Imam Syafii dan Imam Hambali mengajarkan, istihalah atau perubahan bentuk dari benda najis menjadi tidak najis hanya berlaku pada tiga hal.
Yaitu ketika arak berubah secara alami menjadi cuka, kulit yang diambil dari bangkai selain babi dan anjing, serta ayam yang menetas dari telur yang dikeluarkan dari ayam mati. Menurutnya, itu berbahaya sekali. “Itulah kenapa saya ngotot ingin memberitahukan kepada seluruh masyarakat Jatim bahkan Indonesia,” tegasnya.
Ketika MUI Jatim hasil fatwanya tidak segera dicabut, dan MUI Pusat tidak memanggilnya, bahayanya ini menjadi pintu masuk lebar-lebar untuk semua produk (olahan) babi dihalalkan karena istihalah. “Karena semua produk babi pasti dengan Istihalah semua, tak mungkin gelondongan berupa babi,” terang Kiai Asep.
Kiai Asep berharap pemerintah tak menggunakan vaksin AstraZeneca untuk vaksinasi Covid-19 di Jatim. Apalagi disuntikkan ke pesantren-pesantren. Sebab, ia berpendapat, kondisi saat ini tidaklah darurat. Masyarakat masih bisa menunggu pemerintah membeli vaksin yang dipastikan halal. Ia pun memberikan solusi ke pemerintah yang terlanjur membeli vaksin AstraZeneca dalam jumlah besar.
“Solusinya agar digunakan di daerah-daerah nonmuslim yang tidak mempermasalahkan tubuhnya kemasukan unsur-unsur babi,” jelas Kiai Asep. Sementara untuk umat Muslim di Indonesia, Kiai Asep berharap pemerintah menggunakan vaksin jenis lain yang dipastikan halal. Terhadap para ulama Jatim yang terlanjut divaksin AstraZeneca, dia menyarankan agar memperbanyak istighfar.
Harus mendatangkan lagi selain vaksin AstraZeneca. Masih banyak vaksin lain. Menunggu tidak masalah, tiga bulan, setahun tidak akan mati. Bukan darurat kalau seperti itu. Yang terlanjur divaksin? Istighfar saja yang banyak.
Ia menjelaskan, kandungan babi dalam vaksin AstraZeneca akan berdampak negatif jika disuntikkan ke umat Islam. Muslim yang mengonsumsi zat-zat dari babi akan sulit diterima doanya oleh Allah SWT. Selain itu, proses kematian mereka saat sekarat juga akan sulit.
Mohon maaf, banyak orang yang mengatakan Zionis dan Orientalis ingin makanan yang dikonsumsi orang-orang mukmin mengandung babi agar doanya tidak dikabulkan oleh Allah SWT. “Kan kasihan mereka adalah bangsa Indonesia, sebagai potensi Indonesia. Mohon kalimat saya ini didengar oleh Gubernur, Presiden oleh siapa saja. Kemudian MUI Pusat berbuat,” pesan Kiai Asep.
Gumpal Darah
Kalau Kiai Asep menolak vaksin AstraZeneca karena haram, lain halnya beberapa negara di Eropa yang menghentikan vaksin AstraZeneca karena terjadi kematian akibat penggumpalan darah. Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB menulis 7 kematian akibat penggumpalan darah setelah vaksinasi AstraZeneca.
Dari 18 juta orang yang sudah divaksinasi dengan produk AstraZeneca di UK, ditemukan ada 30 orang yang mengalami masalah dengan penggumpalan darah yang tidak biasa. Data dari The Medicines and Helathcare Produsts Regulatory Agency (MHRA), BPOM UK menunjukkan:
Ada 22 kasus adalah CVST (Cerebral Venous Sinus Thrombosis), yaitu munculnya gumpalan darah di otak. Kondisi ini disertai dengan rendahnya kadar platelet (trombosit). Dalam keadaan normal kadar platelet yang rendah justru akan memicu terjadinya pendarahan, bukan terbentulnya gumpalan darah.
Ada 8 lainnya mengalami penggumpalan darah (terjadi) bukan di otak, juga disertai dengan kadar platelet yang rendah. Dari 30 orang itu akhirnya dilaporkan 7 orang meninggal. Tapi, belum diketahui dengan pasti apakah ini suatu kebetulan atau memang efek samping dari vaksin itu. Namun, negara-negara lain mulai berhati-hati:
Jerman, Perancis dan Belanda mulai membatasi penggunaan vaksin ini hanya untuk orang tua. Dalam penelitian dan pengembangan produknya AstraZeneca bekerja sama dengan University of Oxford. Di Eropa kini tengah melakukan penelitian atas: Sifat penggumpalan darah yang tidak biasa, karena terjadi dalam keadaan kadar platelet yang rendah, yang harusnya justru menyebabkan pendarahan; Adanya antibodi langka yang menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Vaksin Pfizer juga tengah diteliti karena dari 10 juta orang yang telah divaksinasi ditemukan 2 yang mengalami CVST setelah vaksinasi. Namun tidak disertai dengan kadar platelet yang rendah sebagaimana kasus AstraZeneca. Kejadian penggumpalan darah sendiri masih menjadi tanda tanya: berapa sering sebenarnya dalam keadaan normal, tanpa vaksinasi. Diestimasikan bahwa dari 1 juta orang akan muncul 2 hingga 16 kasus dalam setahun.
Dan infeksi Covid-19 berkaitan dengan penggumpalan darah yang abnormal, sehingga angka kejadian per sejuta orang ini tentu akan meningkat. Dari Jerman dilaporkan adanya 31 CVST dan 9 kematian setelah vaksinasi dilakukan pada 2,7 juta orang. Sebagian besarnya adalah usia muda atau wanita setengah baya.
Berbagai analisa telah dicoba dilakukan terhadap masalah ini. Seandainya pun kematian itu berkaitan dengan vaksin, maka perlu dilakukan perbandingan sebagai berikut berdasarkan data di UK: dari 2,5 juta orang:
🥕1 kematian akibat vaksinasi.
🥕2.500 orang usia 40 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19
🥕50.000 orang usia 60 tahun meninggal akibat infeksi Covid-19
Maka tetap saja manfaat vaksin jauh lebih besar dibandingkan risikonya. Rasio manfaat dan risiko vaksin akan terus dievaluasi mengingat program vaksinasi di Eropa mulai bergeser dari usia lanjut ke orang-orang muda, yang memiliki risiko kematian akibat infeksi lebih rendah. Sementara, seorang medical biologist mengatakan: adalah hal “biasa” jika secara tak sengaja ditemukan kluster efek samping yang langka.
Namun, jika kluster itu ditemukan pada beberapa populasi, misal: kasus AstraZeneca ini di Jerman dan Inggris, maka sulit mengatakan bahwa ini kejadian acak. Jadi lebih cenderung dikatakan ada hubungan. Namun, tidak seorang pun berani mengambil kesimpulan bahwa keduanya berhubungan: kematian akibat penggumpalan darah dan vaksin AstraZeneca.
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.