Prabowo, Inspirasi Gandhi dan Spirit Swadesi

Oleh Haris Rusly Moti/Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998, Yogyakarta.

Di makam Mahatma Gandhi, Presiden Prabowo menulis pesan mendalamnya, “Mahatma Gandhi is a great leader, a great teacher, a great inspiration for all humanity. He has been my inspiration in the light for justice, freedom, and human dignity. May his sail be at rest, and may his teaching remain eternal”.

Mahatma Gandhi adalah pemimpin yang hebat. Guru yang hebat. Inspirasi yang hebat bagi seluruh manusia. Dia telah menjadi inspirasi saya yang memberikan terang dalam keadilan, kebebasan, dan martabat manusia. Semoga ia bersemayam dengan tenang, dan semoga ajarannya tetap abadi.

Presiden Prabowo diundang untuk melakukan kunjungan sebagai tamu kehormatan negara di India. Prabowo menghadiri Upacara Perayaan Hari Republik India Tahun 2025 sebagai chief guest. Perayaan Hari Republik India dimulai pada tahun 1950 dengan Presiden Soekarno sebagai chief guest pertama.

Presiden Prabowo Subianto juga berkunjung ke Rajghat Memorial, yang merupakan tempat kremasi Mahatma Gandhi, New Delhi, India. Kunjungan itu dalam rangka melakukan upacara peletakan karangan bunga, Sabtu, 25 Januari 2025. Setelah meletakkan karangan bunga, Presiden Prabowo kemudian melakukan prosesi khidmat dengan memutari makam Mahatma Gandhi.

Inspirasi Gandhi

Seperti tulisan pesan mendalam dari Presiden Prabowo di atas, Gandhi adalah inspirasi yang memberikan terang dalam keadilan dan martabat umat manusia. Jika kita belajar pada sejarah, Mahatma Gandhi adalah sosok pejuang dan petarung yang memberi inspirasi. Spirit perjuangan Gandhi tak bisa dipisahkan dengan komoditi garam.

Gandhi dan para pengikutnya pernah melakukan civil disobedience. Mereka memprotes monopoli garam oleh pemerintah kolonial Inggris. “Satyagraha” adalah salah satu ajaran Gandhi tentang civil disobedience atau pembangkangan sipil. Gandhi menginspirasi ajaran pembangkangan sipil yang dilakukan secara damai. Tanpa kekerasan, yang disebut “ahimsa”.

Kata orang Jawa “ndilalah”, kebutulan pada tahun 1930, di waktu Gandhi melancarkan protes itu. Ketika itu juga sedang terjadi the great depression (depresi akbar) yang mengguncang negara-negera kapitalis imperialis, Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Tahun 1929 itu, “ndilalah” Bung Karno juga ditangkap di Indonesia. Dijebloskan ke penjara. Ketika itu Bung Karno masih 28 tahun. Pada 30 Desember 1930 itu, ketika “gempa malaise” meruntuhkan pasar-pasar saham di negeri barat. Dalam ruang sidang, Bung Karno dengan lantang membacakan pledoinya di depan hakim pengadilan kolonial (landraad) di Bandung. Bung Karno meneriakan: “Indonesia Menggugat”.

Dua tahun sebelumnya, 1928. Sebelum gempa ekonomi the great depression. Bung Hatta lebih dulu diadili di atas tanah negeri Belanda. Ketika itu, Bung Hatta masih berumur 26 tahun. Bung Hatta membacakan pembelaannya di depan pengadilan dengan judul yang menantang negara penjajah, “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij).

Dalam pidato pembelaan itu, Bung Hatta mengecam keras kejahatan dan kekejaman pemerintahan kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia. Berbeda sudut pandang dengan pledoinya Bung Karno, yang menentang penghisapan dan penindasan oleh sistem kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.

Spirit Swadesi

Jika mengacu pada ajaran Hindu, maka sosok Gandhi dapat saja dikatakan sebagai salah satu bentuk reinkarnasi spirit Wisnu. Wisnu pernah reinkarnasi di dalam wujud Rama yang menentang Rahwana raja durjana. Pada episode yang lainnya, Wisnu juga pernah reinkarnasi di dalam wujud Sre Kresna dalam kisah Mahabarta.

Reinkarnasi Wisnu dalam berbagai wujud biasa dikaitkan dengan ketidakseimbangan kehidupan akibat keserakahan, penghisapan dan penindasan. Reinkarnasi Wisnu mengandung misi menegakan kembali keseimbangan kehidupan. meluruskan kembali yang dibengkokan.

Kata Wisnu dalam wujud Sre Kresna kepada Arjuna, “...kapanpun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, aku pasti turun menjelma. Demi tegak kembali kebenaran, aku sendiri akan menjelma dari zaman ke zaman".

Keserakahan kapitalisme serta eksploitasi kolonialisme dan imperialisme di Asia dan Afrika adalah sebab utama yang mengakibatkan runtuhnya keseimbangan kehidupan umat manusia. Kata Qur’an, “...dan langit telah ditinggikannya dan Dia letakkan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu…” (surat Ar-Rahman).

Pada waktu itu, di India, melalui Undang-Undang Garam, pemerintah kolonial Inggris membuat kebijakan untuk memonopoli produksi dan penjualan garam. UU Monopoli Garam itu melarang kaum pribumi di India untuk memproduksi atau menjual garam. Rakyat India kemudian dipaksa membeli garam dari tangan pemerintah kolonial Inggris. Harga garam ketika itu dibanderol sangat mencekik. Mahal tak terjangkau. Itu akibat monopoli dan pengenaan pajak penjualan yang sangat tinggi.

Momentum itu membangkitkan Gandhi. Bersama 79 pengikutnya, Gandhi kemudian melakukan longmarch. Dimulai dari tempat tinggalnya di Sabarmati Ashram di Gujarat menuju kota Dandi di pesisir Laut Arab. Sekitar 387 kilometer jauhnya. Banyak kaum pribumi yang kemudian ikut bergabung dalam perjalanan panjang longmarch itu.

Tahap berikutnya, Gandhi dan para pengikutnya kemudian melancarkan protes dengan cara membuat sendiri garam dari air laut. Gerakan pembuatan garam yang dipelopori oleh Gandhi itu segera meluas menjadi sebuah gerakan nasional. Rakyat di sejumlah wilayah lain di India juga mengikuti gerakan Gandhi tersebut.

Gandhi mengajarkan gerakan swadesi. Maksudnya adalah “makan dan pakai apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Dalam bahasa sederhana, konsep swadesi menurut Gandhi mengarah pada Swarajya (kemerdekaan). Dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule), yang bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance).

Gandhi menuliskan “...satu negara yang rakyatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangannya secara mandiri, tidak akan bisa mencapai atau menikmati Swarajya yang sesungguhnya...” Prinsipnya, sebuah bangsa yang tidak mandiri secara ekonomi, mustahil berdaulat secara politik. Karakter dan kepribadian bangsa itu juga otomatis hancur dengan sendirinya, jika senantiasa bergantung secara ekonomi, baik ketergantungan modal maupun produk bangsa lain.

Gandhi bukan yang pertama melancarkan gerakan swadesi. Istilah swadesi memang dari Gandhi. Namun spirit dan metode gerakan swadesi itu sendiri sebetulnya diinspirasi oleh “Lokmanya” Bal Gangadhar Tilak. Pejuang kemerdekaan India. “Lokmanya” adalah sebutan penghormatan untuk Tilak, yang artinya “pemimpin rakyat yang terkasih”.

Tilak yang mempelopori gerakan pasif melawan kolonialisme Inggris antara tahun 1900-1905. Bentuk gerakan pasif itu adalah boikot produk Inggris. Misalnya, Tilak mengajak tuan-tuan tanah untuk tidak menjual kapas hasil panen ke Inggris. Bentuk yang lainnya adalah mengajak rakyat tidak membeli, memakan dan memakai produk industri Inggris.

Aksi boikot terhadap produk Inggris yang dipelopori Tilak ketika itu mendapat dukungan luas secara nasional. Kaum cendekiawan, tuan-tuan tanah, saudagar besar dan kecil, emak-emak, rakyat jelata, buruh dan tani mendukung dan terlibat dalam gerakan itu.

Aksi boikot produk Inggris itu dilatarbelakangi oleh kebijakan yang mengharuskan penjualan kapas hasil perkebunan milik tuan-tuan tanah ke pemerintah kolonial Inggris. Dijual dengan harga yang sangat murah. Kapas hasil perkebunan di India itu kemudian diolah oleh industri di Inggris menjadi tekstil dan produk tekstil. Lalu dijual kembali ke India dengan harga yang sangat mahal.

Kobarkan Kemandirian

Spirit Swadesi atau kemandirian yang dilancarkan Gandhi dan Tilak itu perlu dikobarkan kembali di negeri kita saat ini. Ketika bangsa Indonesia dibanjiri oleh produk impor, khususnya dari Tiongkok. Beras, gula, garam, jagung, sapi, susu, pacil, skop hingga tusuk gigi saja kita impor.

Memang dulu, baik Bung Karno maupun Bung Hatta, pernah mengkritik “copy paste” metode gerakan Swadesi itu oleh sejumlah pejuang kemerdekaan. Zaman itu, Bung Karno dan Bung Hatta memang tidak setuju dengan metode gerakan Swadesi, atau boikot produk penjajah. Menurut Bung Karno, gerakan Swadesi tidak menemukan alas teori yang kuat untuk dipraktekan di Indonesia pada tahun-tahun itu.

Kata Bung Karno, kolonialisme Belanda di Indonesia adalah bentuk kolonialisme paling primitive. Kolonialisme yang membumihanguskan industri di dalam negeri Indonesia. Akibatnya, industri di dalam negeri Indonesia tidak tumbuh seperti di India.

Belanda ketika itu bukanlah sebuah negara industri. Belanda hanya menjadikan Indonesia sebagai sumber eksploitasi bahan mentah untuk dijual ke Eropa. Sejumlah industri di dalam negeri Indonesia yang pernah tumbuh sebelumnya justru musnah di era penjajahan Belanda. Karena itu, kata Bung Karno, kita tidak mungkin mencapai kemerdekaan atau “swarajya” melalui metode Swadesi.

Berbeda dengan India, yang dijajah oleh Inggris, sebuah negara industri maju. Sebagai negara industri, Inggris selain menjadikan India sebagai sumber eksploitasi bahan mentah, seperti kapas, garam dan lain-lain. Inggris juga menempatkan India sebagai pasar bagi produk industrinya. Karena itu, Inggris juga membutuhkan meningkatnya daya beli di tanah jajahan.

Tumbuhlah sejumlah industri, seperti industri pertanian, industri baja, industri tekstil. Pabrik-pabrik tumbuh untuk menyerap lapangan pekerjaan. Institusi pendidikan untuk mendidik rakyat juga didorong oleh pemerintahan kolonial Inggris. Tenaga terdidik dan terampil itu akan dijadikan sebagai penopang industri, yang akan turut mendongkrak daya beli masyarakat.

Ketika Tilak melancarkan boikot produk Inggris untuk mencapai kemerdekaan, gerakan ini menemukan alas teoritiknya. Gerakan ini ditopang basis kekuatan politik dari industri dalam negeri India yang sedang tumbuh. Kaum terpelajar, tuan-tuan tanah, saudagar, pengrajin kecil, petani dan buruh yang dirugikan oleh kebijakan kolonialisme Inggris.

Stop Mental Bergantung

Bagaimana dengan keadaan bangsa kita saat ini? Ketergantungan kita pada modal (utang) dan produk asing (impor) telah memasuki tahap yang mulai mencelakakan bangsa kita sendiri. Industri nasional milik anak-anak bangsa kita sebelumnya mulai tumbuh dan mekar. Namun kini, industri itu mulai runtuh berkeping-keping. Digempur oleh kebijakan perdagangan bebas, paket kebijakan liberalisasi investasi, hingga liberalisasi impor.

Pabrik tekstil, seperti Sritex, Texmaco, pabrik raksasa dan terbesar di Asia Tenggara. Pabrik Sritex yang sudah lama berdiri, sejak 58 tahun silam. Namun sekarang harus gulung tikar tutup. Semua itu akibat banjir impor tekstil dari Tiongkok. Sangat tragis.

Sebetulnya sejak ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA) efektif dijalankan pada tahun 2010, mulai saat itu industri nasional kita tidak bisa lagi tegak berdiri di kaki sendiri. Produk China seperti tekstil, makanan, minuman, kosmetik, fiber sintetis, elektronik (kabel) dan peralatan listrik, kerajinan rotan, permesinan, besi serta baja merajalela pasar dalam negeri. Semuanya hampir dipasarkan dengan harga murah (low price). Lebih murah ketimbang produk dalam negeri kita.

Tragisnya, kini sejumlah industri nasional, yang telah runtuh itu mulai diubah menjadi gudang-gudang untuk menampung produk barang impor. Terutama produk impor yang datang dari negeri Tiongkok yang sedang membanjiri pasar kita. Semua ini karena sebelumnya, memang sama sekali tidak ada perlindungan atau proteksi dari pemerintah yang berkuasa terhadap industri nasional.

Padahal, di dalam Pembukaan UUD 1945 diantaranya telah mengamanatkan salah satu tujuan membentuk pemerintah negara Indonesia, yaitu “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Salah satu tujuan bernegara kita kesampingkan untuk  menampung produk-produk impor.

Perwujudan amanat konstitusi di bidang ekonomi adalah kewajiban pemerintah. Tugas pemerintah untuk melindungi atau memproteksi industri nasional kita dari gempuran produk industri asing. Karena itu, karakter bangsa kita harus ditempa dan dibentuk kembali melalui tindakan dan perjuangan. Selain itu, melalui kebijakan membangun kedaulatan industri nasional.

Bangsa kita telah memulai. Diinspirasi oleh Spirit Wwadesi Gandhi. Presiden Prabowo telah melangkah maju tahap demi tahap. Melalui kebijakan yang secara bertahap membangun dan melindungi industri nasional. Prabowo memulai dengan memotong rantai ketergantungan pada impor. Prabowo membatasi impor empat komoditi, beras, garam, jagung dan gula.

Presiden Prabowo juga melanjutkan untuk membangun Projek Strategis Nasional (PSN) food estate (lumbung pangan). Proyek yang sudah lebih dulu dirintis di Pemerintahan sebelumnya. PSN Food Estate ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan.

Bagi Presiden Prabowo, Trisakti yang dikobarkan Bung Karno hanya dapat diwujudkan dengan ditempa melalui kebijakan membangun kedaulatan dan swasembada pangan dan energi nasional. Jika kita mandiri secara ekonomi, pangan dan energi, maka secara otomatis akan membentuk karakter generasi bangsa kita yang tidak lagi bermental bergantung menjadi kacung bangsa asing.

Dengan demikian, maka kedaulatan politik bangsa kita tidak gampang direcokin oleh kekuatan asing. Baik yang datang dari unsur “state” maupun aktor “non state”. Kata Tan Malaka Merdeka 100%.

301

Related Post