Presiden Berupaya “Bungkam” Stadion Kanjuruhan?

Ilustrasi (Foto: Muhammad Aminudin/detikcom)

Bagi Devi, peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan itu adalah genosida. Menurutnya, ia nyaris tak mengenal jenazah anaknya karena tubuh kedua putrinya menghitam.

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN)

STADION Kanjuruhan, Kabupaten Malang, akan diruntuhkan total setelah peristiwa penembakan gas air mata polisi pada Sabtu, 1 Oktober 2022, lalu yang menelan korban 134 penonton dari Aremania tewas.

Keputusan itu disampaikan Presiden Joko Widodo setelah bertemu dengan Presiden FIFA, Gianni Infantino, di Istana Negara, pada Selasa, 18 Oktober 2022. Alasannya, supaya memenuhi standar FIFA.

Keamanan di stadion tersebut dinilai tak layak, sehingga harus ada renovasi total yang dilakukan nantinya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (Kemen PUPR).

“Stadion Kanjuruhan di Malang akan kita runtuhkan. Kita bangun lagi sesuai standar FIFA. Kita jadikan contoh standar stadion dengan fasilitas-fasilitas yang baik, menjamin keselamatan penonton dan pemain,” ujar Jokowi.

“Lha koq stadionnya (benda mati) yang disalahkan, kan gas air mata polisi dan PSSI yang salah? Dari dulu ngeles dan mengelak berkilah terus, tidak berjiwa besar. Berjiwa kerdil?” begitu komentar netizen di grup WhatsApp.

Padahal, Stadion Kanjuruhan tersebut menjadi “saksi bisu” yang jika diminta kesaksiannya terkait penembakan gas air mata polisi itu bisa “bicara” secara faktual tanpa rekayasa pihak tertentu yang ingin menutupi kejadiannya.

Benar dengan apa yang ditulis wartawan senior Tjahja Gunawan. Penyelesaian peristiwa Kanjuruan itu dengan pendekatan “proyek”. Digusur dan diratakan, untuk kemudian dibangun kembali dengan dalih agar sesuai standar FIFA.

Jika pada akhirnya Stadion Kanjuruhan yang diresmikan semasa Presiden Megawati Soekarnoputri pada 9 Juni 2004 (kini berusia 18 tahun) itu benar-benar digusur, sesuai perintah Presiden Jokowi, jelas ini adalah upaya legal menghilangkan atau merusak TKP atas “peristiwa kriminal”.

Sehingga, tidak ada lagi “bukti” dan petunjuk terkait hilangnya nyawa 134 penonton Aremania itu. Padahal, meski “bisu”, Stadion Kanjuruhan masih bisa “bicara” sebagai saksi atas apa yang terjadi di dalamnya. 

Stadion Kanjuruhan terletak di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, itu kapasitasnya 30.000 penonton. Stadion yang dibangun dengan biaya Rp 35 miliar ini menjadi markas Arema FC yang bermain di Liga 1 dan Persekam Metro FC yang bermain di Liga 3.

Hapus CCTV

Kabar mengejutkan datang dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF yang mengungkap berbagai temuan soal CCTV yang merekam peristiwa Stadion Kanjuruhanmenyusul tewasnya 134 penonton Aremania.

Salah satunya adalah adanya rekaman CCTV selama 3 jam saat kejadian yang sudah dihapus. Rekaman yang dihapus yaitu setelah pertandingan Arema FC melawan Persebaya pada 1 Oktober 2022.

Usai pertandingan yang berakhir dengan skor 3 : 2 untuk Persebaya, penonton turun ke stadion, dan rangkaian Baracuda melakukan evakuasi terhadap tim Persebaya.

“Dapat terekam melalui CCTV yang berada di Lobby Utama dan Area Parkir,” demikian tertuang dalam dokumen TGIPF Kanjuruhan yang sudah dilaporkan kepada Presiden Jokowi pada 14 Oktober 2022.

Rekaman CCTV tersebut mulai dari pukul 22.21.30 dapat merekam peristiwa dengan durasi selama 1 jam 21 menit. “Selanjutnya rekaman hilang (dihapus) selama 3 jam, 21 menit, 54 detik,” tulis dokumen TGIPF.

Rekaman baru muncul kembali kemudian, selama 15 menit saja. Walhasil, hilangnya durasi rekaman CCTV ini menyulitkan atau menghambat tugas tim TGIPF untuk mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi.

Sehingga, TGIPF melaporkan bahwa mereka sedang berupaya untuk meminta rekaman lengkap ke Mabes Polri. Mengapa rekaman selama 3 jam, 21 menit, 54 detik itu sampai “hilang” dan harus diminta ke Mabes Polri?

Penghilangan (penghapusan) petunjuk rekaman CCTV di Stadion Kanjuruhan ini mengingatkan kembali “hilangnya” CCTV saat menjelang tewasnya 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

Belakangan terungkap di persidangan Ferdy Sambo, tim JPU menyebut, nama Tim CCTV yang menghapus CCTV di rumah dinas Duren Tiga, sama dengan Tim CCTV KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

Tidak hanya itu. Penghilangan TKP KM 50 juga akan dilakukan atas Stadion Kanjuruhan. Konfirmasi soal ini sudah disampaikan Presiden Jokowi dengan alasan disesuaikan dengan standar FIFA.

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut mengarah adanya kesalahan konstruksi Stadion Kanjuruhan sebagai penyebab tewasnya korban penembakan gas air mata polisi. Jelas sekali, Jokowi terkesan “melindungi” kesalahan fatal polisi yang telah menembakkan gas air mata ke arah penonton di atas tribun.

Padahal, TGIPF menyimpulkan bahwa gas air mata menjadi pemicu utama kepanikan penonton yang berujung meninggalnya 132 orang (kini 134 orang)! Jadi, bukan karena fasilitas stadion yang “tidak sesuai” standart FIFA.

Menko Polhukam Mahfud MD selaku Ketua TGIPF telah menegaskan peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang bukan disebabkan bentrok antarsuporter!

“Perlu saya tegaskan, tragedi Kanjuruhan itu bukan bentrok antarsuporter. Sebab pada pertandingan itu suporter Persebaya tidak boleh ikut menonton,” tegas Mahfud MD.  

Pernyataan Presiden Jokowi yang “menyalahkan” kondisi Stadion Kanjuruhan hingga menyebabkan tewasnya 134 korban Aremania karena saling berdesak-desakan itu, jelas kontroversi dengan fakta medis dan rekaman dalam video yang beredar.

Untuk mencari penyebab sebenarnya atas meninggalkan dua putrinya, Devi Athok Yulfitri, warga Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, mengajukan otopsi ulang untuk dua putrinya yang meninggal saat peristiwa Kanjuruhan.

Dua anak Devi yakni Natasya (16) dan Nayla (13) masuk dalam daftar korban tewas saat pertandingan Arema Vs Persebaya.

Melansir Kompas.com, Ahad (16/10/2022, 14:34), Devi bersedia melakukan otopsi untuk kedua anaknya agar proses hukum atas tragedi tersebut segera terungkap.

“Supaya menjadi terang, apa sebenarnya yang menyebabkan meninggalnya kedua anak saya dan 130 korban lain dalam tragedi itu,” ungkap Devi, saat ditemui, Sabtu (15/10/2022).

Menurut Devi, ia sempat kecewa dengan pernyataan Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo yang menyebut gas air mata tak mematikan.

Bagi Devi, peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan itu adalah genosida. Menurutnya, ia nyaris tak mengenal jenazah anaknya karena tubuh kedua putrinya menghitam.

“Maka mari kita otopsi ulang korban. Lihat apa penyebab kematiannya. Ini karena saya melihat sendiri kedua anak saya, tubuhnya menghitam, keluar darah dari hidung, dan mengeluarkan busa. Bagi saya ini adalah genosida,” kata dia.

Devi juga mengajak keluarga korban lain bersedia otopsi ulang agar penyebab tewasnya para korban segera diketahui. “Maka mari kita otopsi ulang korban. Lihat apa penyebab kematiannya,” ujar dia.

Fakta medis tersebut jelas. Serbuk yang menyebar di udara yang ditembakkan polisi itulah sebagai penyebab mengapa mereka tewas. Bukan karena fasilitas stadion yang disebut-sebut belum berstandar FIFA. Masih kurang bukti? (*)

390

Related Post