Presiden Mundur atau Dipaksa Mundur
Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan, kecuali dengan jiwa besar seperti yang dilakukan oleh Presiden Suharto.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
KEGADUHAN munculnya tuntutan Presiden Joko Widodo mengundurkan diri menyisakan pertanyaan:
- Mengapa hanya Presiden Jokowi yang diminta/dituntut mundur.
- Bagaimana dengan kesan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang tidak berfungsi tetapi dalam Pilpres adalah satu paket.
- Kegagalan dalam menjalankan pemerintahan dan berakhir munculnya Presiden agar turun dengan suka rela atau dipaksa turun oleh rakyat adalah tanggung jawab bersama Presiden dengan Wakil Presiden.
Gelombang demo sejak 2021 terus terjadi menuntut Jokowi mengundurkan diri secara sukarela dan terjadi ancaman dari masyarakat apabila tetap bandel ada keinginan untuk diturunkan secara paksa, akibat trust kepada Presiden melemah, bahkan menghilang.
“Masyarakat tidak terdengar menyuarakan tuntutan mundur secara vulgar untuk wakil Presiden, bukan karena prestasi dan kepercayaan masyarakat yang utuh kepada Wakil Presiden tetapi nampak jelas karena masyarakat apriori karena selama ini kosong peran dan fungsinya sebagai Wapres, sampai pada persepsi Wakil Presiden sudah tidak ada”.
Sekalipun dalam Pilpres 2019 adalah merupakan satu paket (Presiden dan Wapres), tetapi tanggung jawab kegagalan sampai terjadi mosi tidak percaya rakyat kepada Presiden karena semua akibat yang terjadi atas pengelolaan negara adalah center pada kuasa Presiden.
Tuntutan rakyat meminta Jokowi mundur oleh pemilik kekuasan yaitu rakyat dibenarkan secara konstitusi dan selanjutnya akan berakibat hukum sebagai konsekuensinya.
Tuntutan mundur kepada Presiden berbanding lurus karena kepercayaan atau trust memudar, dan menguap. Trust tersebut begitu penting dalam membina keberlangsungan dan keutuhan hubungan Presiden dengan rakyatnya.
Ketika kekuasaan mulai berubah menjadi tirani bahkan mengarah ke otoriter dengan ditandai komunikasi rakyat dengan penguasa macet, akibat aspirasi/ suara rakyat diabaikan – muncullah oligarki (riil pengendali dan pengemudi negara) dengan ciri kapitalis berlaku ugal-ugalan memeras sumber daya alam dan tidak lagi peduli urusan rakyat sesuai amanah tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 45.
Pada posisi puncak kemarahannya, rakyat menarik kembali amanah yang telah dititipkan kepada Presiden. Presiden juga akan dimintai pertanggung-jawabannya baik secara administrasi, perdata hingga pidana.
Lunturnya trust dari rakyat berakhir pada pemakzulan (impeachment) terhadap seseorang pemimpin yang dahulu pernah dititipi sebuah amanah, melalui Pemilihan Presiden. Pemakzulan adalah berhenti memegang jabatan atau turun tahta.
Pemakzulan terhadap seorang Presiden diatur dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945, yaitu pada Pasal 7A. Pasal 7A selengkapnya berbunyi:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Proses pemakzulan itu melibatkan tiga lembaga. Yakni, DPR (proses politik), Mahkamah Konstitusi (MK) (proses hukum), dan MPR (proses politik). MK itu yang akan menilai apakah presiden memenuhi perbuatan melanggar hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945.
Pemakzulan Presiden yang secara legal dijamin oleh konstitusi, ada cara lain untuk mengakhiri kekuasaan rezim pemerintahan tertentu, yaitu dengan mekanisme pengunduran diri sebagai Presiden dan Wapres.
Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan, kecuali dengan jiwa besar seperti yang dilakukan oleh Presiden Suharto.
Proses pengunduran diri ini juga dilindungi secara konstitusional berdasarkan Tap MPR RI No. VI/MPR-RI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Disebutkan bahwa: “Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Pertanyaannya bagaimana kalau hanya Presiden yang diminta dan atau telah mengundurkan diri atau dipaksa untuk mundur? Maka sesuai pasal 8 UUD 1945 mengatur keadaan Presiden yang tidak dapat lagi menjalankan jabatan kepresidenan untuk sisa masa jabatannya.
Isi Pasal 8 UUD 1945 Setelah Amandemen. Pada pasal 8 ayat (1): Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
Apabila Wapres, juga bernasib sama terjadi mosi tidak percaya kepada Wapres karena kapasitas dan kemampuan dan kesehatan yang sangat lemah, bahkan selama ini sudah dianggap tidak ada, maka aturannya seperti berikut:
“Jika Presiden dan Wakil Presiden berhenti, diberhentikan, dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama”.
Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wapres dari dua pasangan calon Presiden dan Wapes yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol yang pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Terhadap kekuasaan yang telah berubah menjadi tirani dan otoriter tidak boleh ada kompromi dan tidak boleh ada jalan tengah – Presiden harus mundur atau dipaksa mundur. (*)