Presiden Yang Paling Bertanggungjawab: Negara Berduka Kembali...

Presiden minta tragedi Malang diusut tuntas

Tragedi Kanjuruhan kini sudah mendunia. Pertanyaan yang masih mengganjal adalah siapa yang memerintahkan aparat membawa masuk gas air mata itu? Mengapa sampai bisa masuk, bukankah FIFA melarangnya?

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

SANGAT memilukan terjadinya tragedi nyawa melayang dan banyak yang luka parah hanya untuk memenangkan emosi penonton sebakbola.

Ratusan nyawa melayang, sangat jelas akibat ketidak-profesionalan dan juga kebrutalan para aparat berseragam polisi, di lapangan sepakbola Kanjuruhan Kabupaten Malang, Jawa Timur, ratusan orang nyawa melayang.

Mendapatkan pendidikan dari mana mereka tetap beringas, kasar, dan tega melakukan kekerasan di luar perikemanusiaan yang normal sebagai sesama manusia. Bagaimana polisi menghayati fungsinya itu sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Sisa-sisa ingatan pembunuhan gaya “Samboisme” masih melekat di benak masyarakat luas, tiba-tiba dikejutkan kekerasan dengan korban ratusan nyawa melayang dan luka luka.

Perilaku mereka masih liar tanpa aturan dan tanpa rasa perikemanusiaan – seolah-olah nyawa manusia sudah tidak ada harganya lagi.

Masyarakat luas bertanya, ini salahnya apa sampai terjadi tindakan sangat tragis dan memilukan. Himbauan Presiden Joko Widodo agar diusut tuntas sudah hambar karena dugaan kuat Presiden sendiri yang harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

Presiden salah mengelola aparat kepolisian yang terlalu dimanjakan, diberi peluang bertindak melebihi tupoksinya. Berkali-kali berbuat fatal membawa nyawa manusia melayang. Cara-cara dan penanganan ala samboisme ternyata sudah meluas dan terus terjadi.

Disamping Kapolda Jatim Irjen Nico Afanta dan jajarannya harus bertanggung jawab maka yang paling bertanggung jawab adalah Presiden.

Apakah sudah tidak ada rasa malu lagi, dan tidak bisa belajar dari pejabat di Jepang ketika diterpa rasa malu yang tinggi, mundur bahkan kadang mereka harus melakukan hara kiri.

Presiden Jokowi harus paham, menyadari, mawas diri – tiba-tiba aparat polisi semua sudah berubah bergaya ala Sambo.

Harus menjadi fokus perhatiannya bahwa rakyat sudah memberikan stigma: Presiden Sambo, Kabinet Sambo, DPR Sambo, KPK Sambo. Merembet semua pejabat penyelenggara semua terkena sebutan Sambo.

Jalan keluar atas kejadian ini masyarakat harus check ulang pendidikan semua strata di lingkungan Polri. Kembalikan polisi sesuai tupoksinya.

Dalam Pasal 13 Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Apabila polisi tingkat kerusakannya sudah kronis bisa mencontoh Meksiko yang membubarkan seluruh kesatuan polisi pada Rabu 21 Desember 2011. Sebelumnya, Meksiko telah memecat 30 Jenderal polisinya.

Juru Bicara Pemerintah Meksiko, Gina Domingues, mengatakan sekitar 800 anggota polisi dan 300 staf administrasi telah diberhentikan. Mereka bisa melamar kembali, namun harus melalui standar seleksi yang lebih keras.

"Siapa pun yang lebih terlatih dan lebih berkomitmen dan bisa bekerja dalam sistem keamanan saat ini bisa bergabung kembali,” ujar Dominguez seperti dikutip The Guardian.

Atas semua tragedi polisi yang masih liar cara-cara mengatasi kerusuhan dan terus mengulang-ulang terjadi korban nyawa melayang, tetap saja Presidenlah yang paling bertanggung jawab.

Tragedi Kanjuruhan kini sudah mendunia. Pertanyaan yang masih mengganjal adalah siapa yang memerintahkan aparat membawa masuk gas air mata itu? Mengapa sampai bisa masuk, bukankah FIFA melarangnya?

Dari sini nanti bisa tahu, siapa yang bertanggung jawab dalam eksekusi atas suporter Aremania itu. (*)

386

Related Post