Presidium KAMI: Mosi Terhadap Kudeta Konstitusi
Jakarta, FNN – Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo bersama beberapa petinggi KAMI lainnya diterima oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Selasa (31/5/2022).
KAMI menyampaikan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhir-akhir ini kondisinya semakin memprihatinkan, kian jauh dari cita-cita proklamasi dan amanat reformasi.
“Bahkan, hari ini kita menjadi saksi bagaimana praktek pengelolaan negara dijalankan dengan sesuka dan semau-semaunya sendiri,” papar Jenderal Purn Gatot Nurmantyo.
Mantan Panglima TNI itu mengungkapkan, para penyelenggara negara telah meninggalkan semangat dan nilai-nilai dalam pengelolaan negara yang jujur dan bertangung jawab, sehingga telah terjadi berbagai penyimpangan, juga penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, menjual pengaruh, dan moral hazard.
“Bahkan, mereka terbukti tidak lagi berpegang pada landasan moral, fatsoen dan etika, serta tidak taat azaz dan melanggar konstitusi, UUD 1945,” lanjut Gatot Nurmantyo.
Ia menyebut, sejumlah pelanggaran dilakukan dengan kasat mata dan terang-benderang, termasuk upaya untuk melanggengkan kekuasaan yang dilakukan dalam “operasi politik” yang terstruktur, sistematis dan masif untuk menunda pemilu serta menambah masa jabatan presiden hingga tiga periode dari dua periode yang diamanatkan konstitusi.
Menurut Gatot Nurmantyo, jika dilakukan dan terjadi, itu merupakan puncak dari praktek bernegara yang sangat buruk, dan mengarah pada bentuk negara fasis, diktator. Dalam hal ini telah terjadi upaya Kudeta Konstitusi yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini dan bagi kelangsungan masa depan bangsa dan negara tercintai ini di masa mendatang.
“Setidaknya kita menyaksikan berbagai bukti bahwa pemerintah telah gagal dalam mengelola negara dan pemerintahan. Akibatnya, berlangsung praktek dan sistem pemerintahan dan politik yang tidak berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
Dalam prakteknya Presiden hari ini tidak dapat lagi dikontrol oleh MPR RI, seolah MPR RI telah lepas tangan terhadap tanggung jawab dan amanah yang diembannya. Sedangkan DPR RI (parpol) yang jelas telah dilucuti kewenangan dan hak-hak konstitusionalnya lewat pembentukan UU, hanya berdiam diri.
“Karena mereka telah bergabung dan nyaman bersama Presiden dalam koalisi kabinet yang gemuk, sehingga dukungan DPR RI pada Presiden hari ini, tidak mungkin berlaku checks and balances karena mencapai 82%,” lanjut Gatot Nurmantyo.
Pemerintah juga telah gagal menyejahterakan rakyat. Sebaliknya saat ini harga-harga kebutuhan pokok mencekik leher rakyat, akibat kebijakan yang sarat moral hazard, sehingga daya beli masyarakat semakin menurun.
Sementara itu, lapangan kerja sendiri terbatas, populasi rakyat miskin terus meningkat, dan GINI ratio yang semakin tinggi. Rakyat telah menjadi korban dari kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan pengusaha oligarki.
Di sisi lain perekonomian nasional sedang mengalami ancaman krisis energi, inflasi, kegagalan pembangunan infrastruktur, apalagi hutang yang semakin menggunung (entah siapa yang harus membayarnya dan bertangung jawab), BUMN yang amburadul, dengan beban APBN yang sangat berat.
Dalam ranah sosial kita menghadapi tejadinya pembelahan dan ancaman perpecahan sebagai sesama anak bangsa, akibat pemilu 2019 lalu yang menimbulkan ekses politik luar biasa, yang dapat menganggu persatuan nasional.
“Sementara harapan bagi masa depan generasi muda tidak jelas dan sangat berat tantangannya,” ungkap Gatot Nurmantyo.
Dalam hal penanganan wabah COVID-19, menurut KAMI, tidak hanya ada yang salah dalam cara pemerintah merespons dan mengatasi pandemi. Tetapi lebih dari itu, pemerintah telah memanfaatkan segala macam tentang pandemi untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat yang sedang sekarat menghadapi wabah.
Praktek penegakan hukum semakin menjauh dari rasa keadilan masyarakat, tidak adil dan semena-mena sebagaimana menimpa para aktivis KAMI dan berbagai pihak yang kritis dan berseberangan dengan pemerintah.
“Bagaimana para Aktivis KAMI harus mendekam 10 bulan di penjara tanpa dapat melihat matahari. Bahkan dalam hal jatuhnya korban jiwa 6 laskar FPI, menjadi bukti bahwa negara tidak hadir dan terbukti tidak mampu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia,” ungkap Gatot Nurmantyo.
Padahal amanah konstitusi menyatakan, hilangnya satu nyawa berarti menjadi tidak genap lagi bangsa Indonesia. Anehnya atas kejadian yang menimpa saudara sebangsanya sendiri itu, semua pejabat tingggi negara terdiam, seolah sudah sirna nurani, rasa keadilan dan kemanusiaannya. Sangat menyedihkan, memilukan dan memalukan.
Demikian halnya pencekalan terhadap WNI di Singapura belum lama ini menjadi bukti bahwa negara Indonesia tidak lagi sejajar kedudukannya di mata negara lain.
Sementara sebagaimana sinyalemen yang disampaikan oleh Mantan Kepala BIN, Letjen TNI (purn) Sutiyoso terhadap membanjirnya TKA China di wilayah Indonesia menjadi sangat mencengangkan dan mencemaskan.
Terlebih lagi, dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai tumpah darah Indonesia, yang semestinya harus dipertahankan mati-matian dan harus mendatangkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, justeru diobral dan telah terjadi berbagai eksploitasi secara berlebihan dan hanya menguntungkan pihak asing.
Namun, “Dalam kenyataannya investasi yang digembar-gemborkan sangat besar itu, khususnya pada tambang nikel, tembaga, besi, timah dan emas, tidak mendatangkan keuntungan bagi negara dan rakyat,” tambahnya.
Dengan kondisi seperti yang diuraikan di atas, dan kuatnya peran oligarki untuk melanggengkan kekuasaan, dan telah terjadinya Kudeta Konstitusi, KAMI menyampaikan mosi sebagai berikut:
Pertama, Mendesak dan meminta kepada MPR RI untuk lebih terbuka dalam menyerap aspirasi rakyat, serta meneruskan kepada lembaga-lembaga lainnya yang berkompeten.
Kedua, Mendesak dan meminta kepada MPR RI untuk bersikap keras dan tegas kepada Pemerintah agar hukum ditegakkan tanpa tebang pilih. Konstitusi menegaskan Indonesia adalah negara hukum, yang mana berarti setiap orang mempunyai kedudukan sama di muka hukum. Karena itu, pejabat negara yang terindikasi melanggar hukum, termasuk dalam kasus-kasus vaksin/PCR, CPO/minyak goreng, pembentukan UU Minerba, UU Ciptaker, UU IKN, penundaan pemilu, dan lain-lain, harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ketiga, Mendorong MPR RI untuk bersikap keras dengan mendesak kepada Presiden agar bertindak cepat dan tegas untuk memberhentikan para anasir Makar Konstitusi dari jabatannya, serta diberikan sanksi yang sepadan, untuk memcegah agar tidak terulang kembalian kejadian yang sama di masa yang akan datang.
Keempat, Mendorong MPR RI untuk bersikap tegas dengan mendesak kepada KPK agar para menteri dan pejabat negara yang diduga terlibat propaganda Makar Konstitusi yaitu Saudara Bahlil Lahadalia, Airlangga Hartarto, Tito Karnavian, Luhut Binsar Panjaitan, Muhaimin Iskandar, dan Zulkifli Hasan. KPK harus segera mengusut tuntas berbagai kasus korupsi mereka, yang sudah masuk di meja KPK. Kasus korupsi tersebut jangan dijadikan sandera politik untuk melakukan mufakat jahat, persekongkolan politik yang merugikan masyarakat luas.
Kelima, Mendorong MPR RI agar lebih aktif dalam upaya menghentikan seluruh produk UU yang terbukti telah melanggar konstitusi dengan mendesak pemerintah khususnya terhadap UU Cipta Kerja yang sangat tidak adil dan inkonstitusional. Padahal sangat jelas UU Ciptaker memberi fasilitas dan kenikmatan luar biasa besar kepada pengusaha, namun merugikan para pekerja dan masyarakat adat, serta keuangan negara. UU Cipta Kerja dan peraturan-peraturan turunannya termasuk insentif perpajakan seyogianya dinyatakan batal karena sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Namun sangat ironis karena UU Ciptaker, yang diputuskan oleh Majelis Konstitusi melanggar konstitusi itu, malah diperpanjang 2 tahun, pelaksanaannya. Keputusan Majelis Konstitusi dangat bambigu termasuk keputusan MK yang membolehkan TNI POLRI aktif menduduki jabatan kepala deerah dan BUMN, padahal jelas-jelas melanggar UU. Bahkan sehari sebelumnya MK menyatakan melarangnya.
Keenam, Mendesak MPR RI untuk segera bertindak cepat dengan meminta Pemerintah untuk menghentikan pelaksanaan UU Ibu Kota Negara yang disahkan super cepat, juga harus segera dibatalkan. UU IKN yang dibentuk dengan melanggar proses pembentukan UU dan konstitusi, serta tercium hanya untuk menciptakan proyek oligarkis dari pada untuk kepentingan nasional, atau masyarakat luas, atau negara. proyek IKN sangat dipaksakan di tengah minimnya minat investor. Sedangkan dari sudut keuangan negara yang sarat hutang dan terus defisit, Indonesia tidak dalam posisi untuk dapat membangun mega proyek pembangunan IKN dari APBN.
Ketujuh, Mendorong kepada MPR RI untuk segera dapat mengambil peran sesuai tugas dan fungsi konstitusionalnya guna terciptakan kondisi ke arah terjadinya perbaikan dan proses menuju Sidang Umum MPR RI guna mengevaluasi kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini sangat penting untuk meminta pertangungjawaban kepada Presiden dan Wakil Presiden atas berbagai bentuk penyelewengan, penyimpanagan dan pelangaran konstitusi sebagai penyelenggara negara, sekaligus untuk menegakkan marwah MPR RI. (mth)