Projo Bongkar Fakta, Jokowi Tetap Ingin Tiga Periode

Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi dan Presiden Joko Widodo

Jakarta, FNN – Uji coba telah dilakukan. Mulanya Jokowi menyiapkan Ganjar Pranowo sebagai penerus rezim, namun survei membuktikan bahwa elektabilitas Gubernur Jawa Tengah itu tak beranjak naik. Akhirnya bisa ditebak, Jokowi tak mau ambil risiko, ia harus kembali turun ke lapangan. Indikasinya sangat gamblang – Projo – penyokong utama kemenangan Jokowi dalam Pilpres sebelumnya, menegaskan bahwa para capres yang saat ini muncul, standarnya di bawah Jokowi.

Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari analisis wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Ahad, 12 Juni 2022.   

“Akhirnya kita sekarang dapat jawaban pasti apa makna ucapan Presiden Jokowi tentang Ojo Kesusu pada Rakernas relawan Projo beberapa waktu lalu,” kata Hersu panggilan akrab Hersubeno Arief.

Menurut Hersu, Jokowi memang masih menginginkan untuk maju kembali pada Pilpres 2024 atau kita kenal dengan opsi tiga periode. Jokowi akan kembali berjuang agar dia bisa memperpanjang masa jabatannya. Itulah makna yang tersurat dan juga tersirat dari pernyataan Jokowi.

"Urusan politik ojo kesusu, jangan tergesa-gesa meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini," kata Jokowi.

Fakta bahwa Jokowi tetap berjuang memperpanjang masa jabatannya itu dibongkar sendiri oleh Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi. Ia mengibaratkan balapan, bahwa banyak tikungan dan tajam.  Ia tidak bisa menduga siapa pemenang di lap terakhir. Hal ia sampaikan dalam diskusi kolaborasi antara detikcom dengan Total Politik seperti dikutip CNN Indonesia.

Alasan Budi Arie yang biasa dipanggil Muni, mengapa mereka tetap menghidupkan opsi Jokowi tiga periode, karena kelas capres yang muncul saat ini standarnya jauh dari Jokowi.

“Kondisi bangsa ini menghadapi kenyataan bahwa dengan segala hormat Pak Jokowi memberikan brand mark kepemimpinan nasional yang tinggi,  loh kok ingin menggantinya. Mohon maaf skornya agak jauh dari Pak Jokowi. Masyarakat berpikir kenapa tidak tiga periode saja?,” kata Budi Arie.

Menurut Hersu, sudah clear ketika Jokowi mengucapkan ojo kesusu itu sebuah kalimat yang bersayap untuk tetap menjaga agar opsi 3 periode tetap hidup. Namun di satu sisi dia jaga-jaga harus menyiapkan skoci kalau sampai opsi itu tidak bisa berjalan dengan mulus. Jadi, Ganjar Pranowo lah yang dia siapkan sebagai subsesornya.

Apa yang kita bisa baca dari pernyataan Ketua Umum Projo, itu pertama ini Confirm dan fix bahwa Jokowi itu masih menginginkan untuk melanjutkan jabatannya sampai tiga periode. Kita tidak tahu apakah setelah 3 periode nanti apakah menjadi 4 periode 5. Kita tidak pernah tahu.

Kedua, sebagai subsesor, Ganjar Pranowo belum cukup kuat dan tidak ada jaminan dia menang. Dengan begitu dia bisa mengamankan kepentingan politik dan ekonomi Jokowi bersama para oligarki yang menjadi pendukungnya dan penopang kekuasaannya selama dua periode ini.

Ketiga pernyataan Ketua Umum Projo ini merupakan aba-aba agar para relawan Projo dan semua elemen kekuatan pendukung tiga periode, bersiap menghidupkan kembali mesin politiknya dan bertarung pada Pilpres 2024.

Mari kita bahas satu persatu. Pertama Jokowi dengan berbagai cara bertekad ini untuk menerobos barikade konstitusi yang tidak membolehkannya mencalonkan kembali untuk periode yang ketiga. Tekad itu tercermin dari pernyataan Budi Arie bahwa mereka akan menghadapi jalan terjal untuk mengusung opsi 3 periode ini. Jalan terjal yang dimaksud adalah posisi partai pendukung pemerintah wabil khusus PDIP yang sudah menutup pintu amandemen Undang-Undang Dasar 1945, karena memang dengan hanya dengan cara mengamandemen Undang-Undang Dasar 45 amandemen konstitusi itu bisa diubah aturannya untuk memperpanjang masa jabatan dari dua periode menjadi tiga periode.

Bagaimana caranya, urusan partai pendukung sekarang ini relatif sudah mulai beres, walaupun belum beres penuhnya. Golkar, PAN dan PPP sudah berhasil dilipat oleh Jokowi dengan membuat Koalisi Indonesia Bersatu. Siapa yang mau diusung sebagai Capres, tidak ada figur yang kuat. Kalau hanya mengandalkan para ketua umum partai, sebagai contoh Airlangga Hartarto,  tahu walaupun sudah berkampanye sekian lama, elektabilitasnya sangat rendah. Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfa malah tidak pernah mencalonkan diri sebagai capres. Begitu juga dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, juga tidak pernah menyebut dirinya akan mencalonkan diri jadi capres.

Sekarang memang tinggal bagaimana Jokowi meyakinkan Megawati bahwa dialah saat ini, opsi satu-satunya apabila PDIP tetap ingin menjadi partai penguasa sekaligus menempatkan kadernya di istana.

Kalau mengandalkan Puan untuk bertarung sebagai capres, jelas sangat berat. Peluang terbesar hanya Cawapres, tetapi ini pun mesti dicari dengan tepat siapa yang akan menggandeng Puan menjadi Cawapresnya.

Selama ini digadang-gadang Puan dengan Prabowo sebagai Capres. Tapi kelihatannya opsi ini mulai meredup seiring dengan manuver-manuver dari para Ketua Umum Partai Politik termasuk manuver dari Prabowo bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

Seandainya Jokowi memberikan jaminan bahwa Puan akan menjadi Cawapres sekaligus dia tetap menjadi Ketua Umum PDIP, jelas ini opsi yang cukup menarik dan tidak mudah ditolak oleh Megawati. Coba perhatikan berbagai pertemuan Jokowi dengan Megawati dalam dua hari terakhir, pertama Jokowi dan Megawati bertemu di istana menjelang pelantikannya sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP untuk kedua kalinya.

Pertemuan kedua yang ini malah lebih bersifat privat, yakni Jokowi menghadiri peresmian Masjid Attaufiq di sekolah kader PDIP Lenteng Agung Jaksel. Masjid Attaufiq ini dimaksudkan untuk mengabadikan nama almarhum suami dari Megawati, Taufiq Kiemas.

Kehadiran Jokowi - seperti pengakuan Megawati -  membuatnya senang banget. Jadi, dua kali pertemuan tersebut yang pertama bersifat formal karena pelantikan pejabat negara dan yang kedua ini lebih bersifat formal dan dilaksanakan ini tengah-tengah munculnya publik yang mencium ada ketegangan antara Pak Jokowi dengan Megawati.

Kemarin saya sudah bahas sinyal-sinyal ketegangan itu, mulai dari soal ketidakhadiran di perkawinan adik Jokowi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, sampai kemudian Megawati tidak hadir dalam peringatan Hari Lahir Pancasila yang dilaksanakan di Kepulauan Nusa Tenggara Timur.

Ketegangan ini muncul karena ada upaya Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya, kemudian muncul wacana berikutnya yakni penundaan Pemilu dan memperpanjang masa jabatan. Nah yang terbaru kemungkinan Jokowi itu bakal mengusung Ganjar Pranowo bila opsi tiga periode dan penundaan Pemilu serta perpanjangan masa jabatannya tidak terlaksana.

Jadi, dua kali pertemuan terakhir ini kelihatan Jokowi menunjukkan kemesraannya dan keakrabannya dengan ibu Megawati. Kita bisa lihat sebagai upaya Jokowi untuk mengambil hati sekaligus meluluhkan hati Megawati.

Jokowi misalnya membantah bahwa hubungan keduanya itu meregang atau menegang. Jokowi mengatakan bahwa Megawati itu sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri, ibunya sendiri. Dan sebagai anak, Jokowi mengakui bahwa dia terkadang bandel. Pengakuan semacam ini rupanya yang membuat Megawati hatinya mulai sedikit luluh. Kemarin ketika hadir dalam peresmian Masjid Attaufiq, Jokowi menunjukkan keseriusannya, karena dia meski terbang dulu ke Jawa Tengah untuk meresmikan Kawasan Industri di Batang Jawa Tengah dan kemudian dia balik ke Jakarta dan setelah itu dia pergi lagi ke Sulawesi.

Pertemuan-pertemuan itu bisa dilihat sebagai upaya Jokowi untuk meluluhkan hati Mega agar membuka kembali pintu amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sehingga memungkinkan dia bisa maju kembali untuk tiga periode.

Yang kedua ini pernyataan Budi Arie bahwa standar capres-cawapres capres-cawapres yang muncul sekarang ini, masih jauh dari standar Jokowi yang tinggi. Tampaknya hal ini lebih ditujukan kepada Ganjar Pranowo yang akan menjadi subsesornya. Pasti bukan kepada Capres yang lain. Terlalu berlebihan bila disebut bahwa tidak ada Capres yang punya standar lebih tinggi dari Pak Jokowi. Banyak banget kalau kita mau sebut satu per  satu, karena faktanya, baik pengamat dalam maupun luar negeri sepakat bahwa kondisi Indonesia di bawah Pak Jokowi itu khususnya indeks demokrasi - terus merosot.

Indonesia di bawah Jokowi, dalam percaturan geopolitik global menjadi negara varian. Kita enggak lagi terlalu diperhitungkan di dunia internasional. Di kawasan Asia Tenggara saja Indonesia sudah tidak diakui sebagai Big Brother.

Bagaimana mau punya perannya kalau Pak Jokowi sendiri memang tampaknya sangat menghindari forum-forum internasional kita mencatat pada masa periode awal pemerintahannya. Kan selama lima tahun dia tidak pernah menghadiri sidang umum PBB di New York. Yang  hadir selalu wakilnya Jusuf Kalla. Sekali kalinya Pak Jokowi hadir dalam Sidang Umum PBB, itu pada periode pertama pemerintahannya. Itu pun karena di masa pandemi. Jadi, Jokowi tidak hadir ke New York, dia cukup menyampaikan pidato yang sudah direkam lalu disampaikan secara virtual.

Belum lagi kalau kita menyoroti bahwa di bawah pemerintah Jokowi sekarang yang berkuasa itu bukan Jokowi, karena semua kekuasaan Jokowi dilimpahkan kepada Luhut Panjaitan. Kalau begitu, apaakah benar bahwa kualitas kepemimpinan Ganjar itu jauh di bawah Jokowi? Saya pikir bukan itu juga maksudnya. Kalau kita mau bandingkan apel to apel misalnya ketika Ganjar menjadi Gubernur Jawa Tengah dan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Saya kira skornya sebelas duabelas, walaupun sebenarnya tidak terlalu fair, karena Jokowi waktu memimpin DKI Jakarta hanya setengah periode. Jadi, belum bisa dikatakan dia sukses atau dia gagal.

Tapi kalau disebut skor Jokowi tinggi,  ini berlebihan. Tapi berhubung yang menyampaikan Projo, wajar karena mereka pendukung utama Jokowi.

Saya membagi lagi poin ini. Ada dua alasan mengapa Ganjar disebur kelasnya jauh dari Jokowi. Pertama Ganjar ditolak oleh partai yang semula disiapkan sebagai skoci untuk pencalonan Jokowi yakni Golkar, PPP dan  PAN yang sudah mendeklarasikan diri sebagai Koalisi Indonesia Bersatu. Penolakan itu tercermin dari pernyataan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto bahwa mereka akan mengusung capres di antara mitra koalisi, bukan kader dari partai lain.

Saya meyakini bahwa pernyataan Airlangga itu sesungguhnya lebih ditujukan kepada Ganjar, bukan kepada Pak Jokowi, sebab tidak mungkinlah Airlangga Hartarto. Zulkifli Hasan, dan Suharso Monoarfa secara terang-terangan menolak.

Kedua elektabilitas Ganjar walaupun sudah didongkrak habis-habisan melalui publikasi lembaga survei, kampanye media sosial yang sangat masif dan juga pembentukan relawan serta deklarasi relawan di mana-mana, ini tetap tidak naik, kalah moncer dibandingkan dengan Anies Baswedan. Soal ini bisa dijelaskan mengapa tiba-tiba Anies Baswedan diserang dengan berbagai deklarasi palsu dari sejumlah elemen yang mengatasnamakan FPI, HTI dan eks napi. Ini mainin lama, mainan stigma Islam radikal.

Tetapi walaupun dianggap sebagai upaya black campaign untuk mendongkrak Ganjar, tapi ternyata malah kalau kita lihat alih-alih mendongkrat, malah semakin memperkuat basis dukungan terhadap Anies.

Bukan hanya black campaign yang dilakukan oleh mereka. Dalam waktu yang nyaris bersamaan - CSIS -  kita tahu ini lembaga milik organisasi Katholik,  juga melansir hasil survei di kalangan ahli bahwa disebutkan bahwa 51,8% ahli itu tidak puas dengan kinerja Anies dan Riza Patria.

Coba perhatikan, pilihan surveinya di kalangan ahli ini jelas cara yang sangat cerdik oleh CSIS untuk membuat framing terhadap Anies, sebab bila pilihannya survei publik apalagi dilakukan di Jakarta, jelas elektabilitas Anies bakal jauh lebih moncer dibandingkan Ganjar. Apalagi Anies Baswedan baru saja jadi perhatian dunia karena sukses menggelar Formula E.

Pendek kata, Tim Jokowi sudah sampai pada kesimpulan bahwa Ganjar bukanlah lawan seimbang dari Anies Baswedan. Mau diapa-apain juga susah menggenjot elektabilitas Ganjar. Semakin digenjot semakin muncul kontra narasi dan penilaian negatifnya. Selama memimpin Jateng, macam-macamlah, mulai dari kemiskinan yang semakin meluas di sejumlah provinsi, kemudian banjir rob yang menggenangi Semarang dan Pantura, kasus Wadas dan banyak hal lain yang memang agak berat menjual Ganjar.

Pilihannya, Jokowi harus kembali diterjunkan untuk menghadapi Anies Baswedan.

Saya kembali ke poin ketiga mengapa dugaan menghidupkan opsi tiga periode itu, sekarang yang jadi opsi utama kembali ke pernyataan Ketua Umum Projo bahwa Projo ini adalah Ormas yang afiliasinya sangat tegas dan jelas mendukung Jokowi. Sebagai Ketua Umum Projo sekaligus juga  Budi Arie adalah pembantu Jokowi, karena dia masuk dalam kabinet sebagai wakil Menteri Desa.

Pernyataan Budi Arie semacam komando bagi relawan Projo untuk kembali fokus menggarap Jokowi dan melupakan opsi Ganjar Pranowo.

Bagaimana sekarang peluangnya, ini saya kira ini menjadi pertanyaan yang menarik, apakah Megawati akan menyaksikan Jokowi menyebut dirinya sebagai anak yang kadang bandel, sudah menganggap sebagai orangtuanya sendiri, saya kira, kita jangan kesusu untuk mengambil kesimpulannya. Hitung-hitungannya, kalkulasinya, tukar tambah politiknya, itu sangat rumit. Kalau kita meminjam istilah dari Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi itu masih sangat terjal. (sws)

425

Related Post