Proses Ambruknya Kekuasaan

Oleh Ridwan Saidi, Budayawan

POSISI pohon pada foto di atas dalam bahasa Betawi Bekasi disebut déngklok. Rengas Déngklok. Dalam bahasa Betawi umum disebut doyong. Mau rubuh, sudah tak mungkin lagi ditunjang walau paké rumus PT = 0%.

Machbub Djunaidi pernah Ketua PWI awal Orde Baru, menceritakan kisah BM Diah ketika Harian Merdeka yang dipimpinnya dibreidel beberapa bulan setelah diumumkan terbitnya Super Semar.

Waktu Diah ketemu Bung Karno pagi-pagi di serambi belakang istana, gué adé di situ. Wan, kata Machbub padaku.

Bung, turun tanganlah, Merdeka dibreidel. Kata Diah pada Bung Karno.

Hei Diah, kata BK, pulang kamu. Naik ke genténg rumahmu, terus kamu teriak: Merdeka dibreideeel.

Bung Karno marah. Wan, kata Machbub.

Iyé BK marah, karena BM Diah mestinya paham bahwa BK udah tak berkuasa, kataku.

'Kan masih Presiden, Wan, sela Machbub.

Bener. BK ibarat ular nasih ada bisa, tapi udah ga bisa nyaték. Udah dibatek.

'Tu uler dibatek.

Dibatek? Maksut lu 'tu uler lehernyé ditarik kemané, buntutnyé kemané, gitu? Tanya Machbub.

Iye, iyé

Sebenarnya gejala BK mulai powerless sudah terasa ketika ia mengundang HMI, musuh besar PKI, ke Istana Bogor akhir Desember 1965. Kekuasaannya kempés sedikit-sedikit. Ibarat ban becak bukan bocor, tapi péntilnya kendor.

Presiden Suharto setelah pidato penyerahan kekuasaan 21 Mei 1998 dan berdiri mendengar pidato Presiden baru BJ Habibi, terlihat tangan kiri Pak Harto dengan kuat menggenggam lengan kanannya. Wajahnya tegang.

Begitulah proses energi kuasa membebaskan diri dari the old space. 

Hari-hari mendatang tak tahu kita script adegannya. (*)

204

Related Post