Puasa Pra Akil Baligh
Oleh: Ridwan Saidi, Budayawan
DI Jakarta anak umur 8-10 tahun sudah berpuasa tapi sampai bedug lohor saja, disebutnya sengarian, atau setengah hari. Kadang-kadang sampai usia 12 tahun juga masih puasa sengarian. Yang dipantangkan menangis. Kalau nangis, puasa batal. Tentu tak ada dalil agama, melainkan ujar-ujar orang tua saja.
Lagi berat pantangan bagi yang usia 12-akil baligh. Dalam usia seperti ini hari-hari puasa diisi dengan nge-bak, berendam, di Kali Ciliwung. Kawan-kawan ada yang pandai bermain kicik kibung, berdendang dengan air sungai. Yang dipantang tidak boleh kentut dalam air. Ini membatalkan puasa. Dalil tentu tidak ada. Kok membatalkan puasa? Karena udara yang ditembak dari dalam sungai itu menendang-nendang mencari ruang terbuka di permukaan air dan itu menimbulkan suara yang menjengkelkan, blek bek blek bek.
Lebih sebal lagi tengok tingkah pelaku yang ketawa-tawa macam dapat lotré buntut.
Usai bermain di sungai kami ke mesjid untuk shalat zhuhur. Setelah itu berunding lagi mau bergerak kemana.
Kalau ke Menteng atau Pasar Ikan kami bersepeda, maklum cukup jauh dari Sawah Besar.
Kembali ke kampung lewat bedug ashar.
Setelah berbuka kami ke mesjid lagi sampai tarawih, setelah itu main petasan.
Sahur di rumah setelah itu ke mesjid. Usai subuh tak langsung pulang, omong-omong dulu sebentar dengan teman-teman.
Itulah siklus ramadhan yang kami jalankan di usia jelang akil baligh. Akil baligh kapan? Teman-teman bilang kalau kita sudah dapat mimpi.
Mimpi apa?
Asyik déh lu bakalannyé. Pasti mindo lu. (mindo: minta nambah).
Malam takbiran sangat istimewa buat kami. Saudara-saudara kami yang perempuan bersama teman-temannya ke Tenabang membeli bunga sedap malam. Di rumah orang Betawi sejak malam lebaran sampai hari ke-3 Syawal di meja ruang tamu mesti ada bunga sedap malam dalam jambangan. Baru berasa lebaran, kata orang Betawi.
Di malam takbiran itu remaja bisa maen becak keliling-keliling atau ngadu beduk.
Pas Idul Fitri tiba, saf depan diisi oleh orang-orang yang dituakan di kampung. Begitu bilal berdiri sambil pegang tongkat yang akan diserahkan ke khatib, air mata di saf depan berlelehan mendengar bilal berseru amsitu, perhatikan, dengarkan, dan patuhi yang disampaikan khatib di mimbar dalam bahasa Arab dan langgam melodius khas Betawi. Syahdu memang.
Usai shalat Ied kaum ibu di rumah berdiri depan pintu menyambut orang-orang tua turun sembayang, cara Betawinya. Kaum ibu dan kaum bapak berlebaran. Maka terjadi dialog yang bersifat kalkulasi kehidupan, siapa kerabat mereka yang sudah pulang duluan ke kampung akhirat dan annual dialogue ini diiringi derai-derai air mata seraya bedug yang dipukul ritmik memberikan backsound yang melancholic.
Apa lebaran tahun depan kita masih ketemu? Biasanya begini mereka punya farewel words.
Setelah mereka kembali ke rumah masing-masing dan bermaafan dengan keluarga dan tetangga, acara berikut milik anak-anak usia kurang dari 12 tahun. Mereka keluar masuk rumah tetangga. Acara ini disebut nanggok. Orang-orang tua memberikan uang lebaran kepada anak-anak.
Begitulah lebaran, artinya penutupan puasa. Ucapnya jangan lébaran, artinya lain: lebih lébar. Puasa? Menahan nafsu. Ini khazanah Melayu lama. (*)