Rakyat Diperas Habis
TIDAK ada lagi yang diharapkan selain meminta bantuan dari rakyat. Tidak ada lagi alasan, selain membuka diri dengan selebar-lebarnya kepada rakyat bahwa keuangan negara berada di zona merah.
Coba diikuti betapa pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin kini sedang dihadapkan pada situasi yang amat sulit. Berada dalam keadaan sulit di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), juga dialami negara lain.
Akan tetapi, yang membedakannya dengan Indonesia adalah karena pemerintah tetap ingin mengandalkan rakyat. Tidak mau memberlakukan penguncian atau lockdown, karena tidak ada uang yang bisa diberikan kepada rakyat untuk belanja kebutuhan hidup mereka. Pemerintah seolah-olah berupaya iba kepada rakyat, sambil terus memeras penghasilan rakyat, terutama rakyat menengah ke atas.
Anda bisa bayangkan, di tengah kesulitan dan penderitaan ekonomi yang dirasakan rakyat, pemerintah masih mengajak mereka yang memiliki tabungan uang di atas Rp 100 juta agar belanja. Rakyat disuruh belanja dengan uangnya sendiri.
Wow, keren sekali. Hebat sekali perhatian pemerintah terhadap rakyatnya. Mestinya pemerintah mengguyur uang ke rakyat, terutama rakyat memengah ke bawah, lalu disuruh membelanjakan uang itu habis-habisan.
Anda tidak percaya ajakan berbelanja itu? Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Ekonomi Airlangga Hartarto. Katanya, masyarakat menengah ke atas cenderung menambah deposito atau tabungannya, ketimbang belanja.
Padahal, belanja oleh rakyat menengah ke atas sangat diharapkan dapat membantu menggerakkan ekonomi. Akan tetapi, di balik ajakan halus itu, ternyata terselip juga akal busuk. Anda kan tahu, kalau belanja dalam jumlah besar, apalagi belanjanya di mal atau pasar modern, Anda pasti dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Wow, hebat kan. Ibarat kata pepatah, ajakan Airlangga itu adalah, "Sambil menyelam, minum air."
Kalau ajakan itu diiringi dengan penghapusan pajak bolehlah. Akan tetapi, penghapusan PPN dan PPh saat ini hanya berlaku terhadap produk yang bersentuhan dengan kesehatan. Di luar itu tidak!
Nah, itu baru cara menarik pajak dari kalangan menengah ke atas lewat ajakan berbelanja. Ajakan yang hampir sama juga dialamatkan kepada rakyat berpenghasilan bawah, dan bahkan berpengasilan pas-pasan.
Ini menyangkut keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan menarik pajak atas pulsa telefon, kartu perdana, token listrik, dan voucher yang mulai berlaku hari ini, Senin, 1 Februari 2021. Meski mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu sudah menjelaskan, pemajakan itu tidak berpengaruh terhadap harga item tersebut, namun masyarakat sudah terlanjur tidak percaya.
Rakyat tidak percaya yang dikenakan pajak adalah operator dan distributornya. Artinya, yang kena pajak adalah pelaku usahanya, bukan konsumennya.
Apa iya, pelaku usaha mau menalangi pajak itu? Apa ia, jika seorang pedagang pulsa telefon, misalnya beromset Rp 100 juta per bulan, mau mengurangi keuntungan dengan membayar pajak yang mestinya ditanggung konsumen atau pembeli?
Penarikan pajak yang dituangkan dalam PMK Nomor 06/PMK.03/2021 itu pun menjadi pembicaraan di berbagai tempat. Bahkan, menjadi olok-olokan, karena Sri Mulyani menyebutkan tidak terpengaruh pada harga pembelian pulsa, kartu perdana, token listrik dan voucher, karena selama ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas sejumlah item tersebut sudah berjalan. Pertanyaannya, kalau selama ini sudah berjalan, mengapa mengeluarkan aturan baru lagi? Lucu juga ya, si Ratu Utang ini.
Tidak hanya ajakan belanja dan rencana pengenaan pajak pada pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucher, pemerintah pun meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Gerakan ini merupakan salah satu program pengembangan ekonomi syariah guna mendukung percepatan pembangunan nasional.
Peluncurannya dikakukan Presiden Joko Widodo. Ia menyebut potensi wakaf uang bisa mencapai Rp 188 triliun. Total wakaf uang yang ada di bank mencapai Rp 328 miliar hingga 20 Desember 2020, sedangkan project base wakaf sebesar Rp 597 miliar. Saat konprensi pers di Istana Negara secara virtual, Senin, 25 Januari 2021, Jokowi menyebutkan potensi wakaf sangat besar, mencapai Rp 2.000 triliun per tahun. Potensi wakaf uang, bisa menembus Rp 168 triliun. Luar biasa potensinya, sehingga perlu meluncurkan gerakan.
Akan tetapi, lagi-lagi masyarakat sinis atas gerakan ini. Padahal, gerakan ini bernilai ibadah. Tahun 2002 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai dibolehkannya wakaf uang.
Masyarakat malah mengeluarkan nada mengolok-olok. "Kalau uang wakaf mau, uang umat mau. Tetapi, umat seringkali dituduh macam-macam, dituduh radikal dan intoleran," demikian antar lain kalimat yang dapat dibaca di dunia maya.
Padahal, sekali lagi wakaf itu bagian dari ibadah. Akan tetapi, rakyat terutama sebagian besar umat Islam terlanjur tidak percaya. Umat Islam lebih percaya wakaf langsung disalurkan ke ormas Islam yang juga membangun sarana pendidikan dan ke majelis taklim.
Umat Islam lebih senang menyalurkan wakaf, infak dan sedekah pada pembangunan sarana ibadah masjid dan musala, seperti yang selama ini dilakukan. Toh, kalau ditotal-total, sudah berapa banyak dana wakaf, infak dan sedekah yang terkumpul selama ini. Anda hitung saja jumlah masjid dan musola yang ada, jumlah pesantren dan sarana pendidikan Islam lainnya. Dari wakaf tanah saja, nilainya tidak hanya beribu-ribu triliun rupiah, tetapi bisa puluhan ribu triliun rupiah, dan bahkan ratusan ribu triliun rupiah. Belum lagi nilai bangunannya, dan sarana pendukungnya.
Kok wakaf uang ditolak umat? Ya, karena momentum peluncuran gerakan itu tidak tepat. Tidak mau beribadah dengan wakaf uang juga menyangkut ketidakpercayaan umat kepada pengelola keuangan negara. **