Resufle Bisa Memperbesar Krisis Kabinet

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum.

Jakarta FNN – Sabtu (22/08). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan sejumlah tantangan dalam serapan anggaran penanganan covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Salah satu tantangan yang dihadapi adalah “perubahan kebijakan” dalam tiga bulan terakhir. Selain itu juga “soal orang yang baru menjabat menteri dan tak punya pengalaman birokrasi” (tanda petik dari saya).

Beberapa menteri, tulis CNNIndonesia mengutip Sri Mulyani, benar-benar baru menjabat (sebagai menteri). Saya selalu berpikir seandainya semua oran seperti saya, berharap mereka sudah tahu tentang birokrasi, kebijakan, dokumen anggaran. Tapi tidak, beberapa dari mereka benar-benar baru (menjadi menteri), mereka belum pernah bekerja dipemerintahan sebelumnya (CNNIndonesia, 19/8/2020).

Merosot Terus

Kepingan lain dalam pernyataan Sri MUlyani, menteri keuangan ini, sangat menarik. Pernyataannya nyata-nyata menunjukan, entah apa namanya, dari cabinet ini. Ibu Sri menyatakan lebih jauh menyalurkan dana tersebut tidak semudah menyiram air di toilet. Pasalnya, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap penyalurannya melalui audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Presiden meminta menyiram dana tersebut kepada masyarakat. Tetapi menyiram dana ke masyarakat ini tidak semudah menyiram air ditoilet. Ketika menyalurkan dana diaudit mengenai siapa target penerimanya, alamatnya. Jadi ini bicara tentang data (CNNIndonesia, 19/8/2020).

Cukup jelas pernyataan otoritatif Ibu Menteri ini. Ini Negara. Ada sistem. Ada hukum. Presiden tidak bisa main perintah siram duit kepada rakyat. Tidak bisa. Ada sistem, denghan semua konsekuensi hukumnya. Suka atau tidak, sistem itu mutlak ditaati oleh. Tidak hanya hanya para menteri dan pejabat-pejabatnya, tetapi juga Presiden sendiri.

Tidak ada administrasi negara, khususnya subsistem administrasi keuangan negara, yang bisa digerakan dengan perintah verbal. Satu diantara tipikal administrasi negara adalah tindakan administrasi itu memiliki bentuk. Bentuk mesti tetulis. Sistem hukum mengharuskannya begitu.

Subsistem adminsitrasi negara dalam tatanan yang sedang dilanda krisis, dalam batas perspektif data tersaji oleh Ibu Sri, sejauh ini tak dirancang dengan meyakinkan. Rincian teknisnya gagal dipetakan. Terciptalah lobang besar kelemahan. Ini tentu semakin menyulitkan menteri yang tidak kompeten.

Rumit dan sulitkah untuk memetakan deteilnya? Rasanya tidak. Buktinya Ibu Sri dapat mengidentifikasinya. Nalarnya Presiden, dengan alasan apapun, harus bisa tampil melebihi Ibu Sri. Tetapi itulah kenyataannya. Akibatnya jelas. Pemerintahan jadinya tidak efektif.

Praktis kelemahan memetakan detail ini, menambah daftar kelemahan yang sama sebelumnya. Keluhan elemen kecil strategis di BUM mengenai alat impor alat kesehatan. Hal yang sama tercermin dalam implementasi gagasan Kartu Prakerja buat para pengangguran. Gambaran lebih mutakhir terlihat juga pada sikap pemerintah yang menyodorkan perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP. Respon Presiden atas penolakan keras berbagai kalangan terhadap RUU HIP ini, terasa kelewat aneh.

Pemerintah memang terus bekerja. Disana sini pemerintah terus bergerak mengusahakan tindakan-tindakan pemerintahan dalam menghadapi corona dan memulihkan ekonomi nasional. Termasuk dalam usaha besar itu adalah menyambut calon vaksin China untuk dikembangkan menjadi vaksin di Indonesia.

Kritik menyertainya dari berbagai kalangan. Tetapi pemerintah terus jalan. Oke. Penyakit yang dibawa virus corona ini tidak mengenal negara. Obat juga tak mengenal negara. Tabiatnya sama dengan uang, yang juga tak punya nasionalisme. Tetapi tetap saja keduanya menyediakan perbedaan kecil yang fundamental.

Vaksin menyediakan potensi derita bagi mereka menggunakannya. Tentu bila vaksin itu tidak cukup layak menurut standar ilmu kedokteran. Itu yang para dokter ingatkan. Menariknya jauh sebelum kandidat vaksin itu diuji coba, Presiden malah telah memiliki skema waktu untuk produksi. Hebat betul.

Dalam isu pemulihan ekonomi, pemerintah memang terus menempatkan diri dengan serangkaian kebijakan. Resentralisasi sejumlah kewenangan ternyata mengundang masalah. Beralasan kebijakan ini justru dinilai oleh beberapa ekonom tak menjanjikan kesuksesan usaha pemulihan ekonomi.

Celakanya modal terbesar setiap pemerintahan adalah kepercayaan masyarakat, justru terus merosot. Pembelahan ditengah masyarakat terus melebar. Sayang sekali tak ada seruan menyejukan dari pemerintah mengalir membasahi dahaga persatuan. Itu masalah besar.

Lensa Sejarah

Apa yang harus dilakukan Presiden? Resufle cabinet? Mengganti sebagian menteri? Ini sepenuhnya hak Presiden. Terserah Presiden. Mau menggunakannya, kapan dan siapa yang dipanggil, terserah Presiden. Ini bukan soal dari segi tata negara.

Bung Karno selalu sukses menyudahi permasalahan kabinet sejak kabinet Sjarir pertama, hingga pembentukan kabinet kerja Juanda ditahun 1958. Itu karena Bung Karno ada dan hidup dalam denyut cinta rakyat. Ia begitu hangat terasa disetiap nurani rakyat. Itulah kunci sukses dan kekuatan Bung Karno.

Keduanya kunci itu tidak terletak pada hukum. Kekuatannya terletak pada legitimasi. Kecintaan raktyat padanya, menjadi sungai politik yang mengalirkan legitimasi untuk pria yang tampan nan cerdas ini.

Tetapi ketika Bung Karno dengan semua hasrat untuk kemuliaan bangsa ini memasuki kekuasaan eksekutif segera setelah tahun 1959, sungai legitimasinya perlahan-lahan mengering. Dari ke waktu air sungai legitimasi terus susut hingga benar-benar mengering.

Mirip keadaan sekarang, kehidupan sosial politik begitu antagonisk. Sangat eksplosif. Terlalu banyak pikiran kalangan non pemerintah yang dianggap salah. Kontra revolusi, istilah zaman itu. Sanjungan dan kritik bertalu-talu. Sama intensnya. Benar-benar mirip keadaan sekarang.

Sungai legitimasi akhirnya benar-benar mengering menyusul peristiwa pembunuhan para jendral. Dikenal dengan peristiwa G. 30 S PKI. Ditengah sungai legitimasi yang telah mengering, tanggal 24 Februari 1966 Bung Karno sodorkan kabinet Dwikora II. Jelas tak mendapat sambutan.

Kabinet ini dirancang sebagai respon Bung Karno terhadap keadaan politik empiris. Itu tercermin, tidak hanya dari jumlah menteri lebih dari 100 orang, dengan 76 Kementerian Portofolio, tetapi lebih dari itu.

Ada kementerian Agama. Tetapi untuk menjembatani pemerintah dengan Alim Ulama, Bung Karno ciptakan juga Menteri Hubungan Pemerintah dengan Alim Ulama. Kementerian ini dipimpin oleh Marzuki Yatim. Faktanya kabinet ini tak jalan.

Pembaca FNN yang budiman. Legitimasi Bung Karno justru berpndah ke Pak Harto. Itu juga menjadi salah satu faktor terbesar Pak Harto sukses mengemban Supersemar, dan akhirnya membentuk kabinet sendiri.

Sukses untuk waktu yang lama, tetapi menjelang pernyataan berhenti sebagai Presiden, sungai legitimasi Pak Harto juga mengering. Pukulan bertubi-tubi pada pengeritiknya, terutama mahasiswa, justru memakan pemerintahannya. Keraguan berbagai kalangan terhadap beberapa anggota kabinet, disepelekan. Sialnya sikap itu disajikan ditengah keadaan ekonomi yang terus memburuk.

Mirip betul keadaan sekarang. Apa yang perlu dilakukan Pak Jokowi? Pak Jokowi mungkin harus memanggil para penasihat politiknya. Para penasihat harus jernih menganalisis detail situasi. Keliru memetakan detail situasi, sama dengan memperbesar spektrum krisis pemerintahan ini.*

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

378

Related Post