Rezim Oleng, Haruskah Harmoko Dijadikan Ketua DPR/MPR

PRESIDEN Soeharto akan tetap berkuasa, jika tidak ada permintaan mundur dari Ketua DPR/MPR Harmoko tahun 1998. Sikap Harmoko sungguh sangat bijaksana merespons realita di masyarakat. Berbeda dengan sikap Ketua DPR dan MPR saat ini, nyaris tak terdengar di tengah situasi politik, ekonomi, dan hukum yang gaduh dan bising. Ribuan nyawa melayang, demo berjilid-jilid, dan utang setinggi langit tak akan membuat presiden mundur, jika pimpinan DPR diam.

Harmoko adalah contoh pimpinan yang tegas, lugas, dan ksatria. Dulu, masyarakat boleh saja memelesetkan Harmoko menjadi Hari Hari Omong Kosong, tapi nyatanya ia telah bertindak secara jantan dan tepat dalam menghadapi situasi politik tahun 1998. Omongannya tak lagi kosong, tapi ampuh menghentikan kekuasaan absolut Orde Baru yang telah dibangun selama 32 tahun.

Harmoko saat itu dengan gagah berani mendesak Presiden Soeharto agar mundur dari jabatannya. Padahal beberapa bulan sebelumnya, Harmoko mengatakan kepada Soeharto bahwa, berdasarkan hasil Safari Ramadan ke sejumlah daerah, rakyat menganggap tidak ada tokoh lain yang dapat memimpin negara kecuali Soeharto.

Namun hanya selang beberapa bulan, Harmoko berubah pikiran. Ia meminta Soeharto turun dari jabatan presiden. Pidato Harmoko di gedung DPR MPR itu mengakhiri ketegangan politik yang terjadi beberapa hari. Pilihan sikap Harmoko didasari oleh adanya demonstrasi mahasiswa yang bergerak masuk ke Gedung DPR. Situasi semakin panas setelah terjadi penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa kampus itu. Selain itu, situasi politik pun semakin pelik disertai kekerasan berbasis prasangka rasial yang menimbulkan beberapa korban tewas.

Tak hanya itu, nilai rupiah turun 9 persen. Bank Indonesia tidak mampu membendungnya hingga merosot mencapai level Rp 17.000/US$ atau kehilangan 85 persen. Kondisi itu membuat hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut dan semakin meneguhkan anggapan para pengamat dalam dan luar negeri bahwa rezim kala itu sudah terbelit nepotisme, korupsi, dan inkompetensi.

Atas perintah Harmoko, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti yang ketujuh kalinya. Meski diawali dengan berbagai demonstrasi dan kerusuhan, pergantian kepemimpinan itu kategori lembut dan damai. BJ Habibie, yang sebelumnya sebagai wakil presiden ditunjuk menjadi presiden.

Di masa pemerintahannya yang terbilang singkat 1 tahun 5 bulan, Habibie berhasil menerapkan berbagai terobosan untuk kepentingan negara. Kendati demikian, ia juga pernah mengalami momen pahit saat sidang MPR tahun 1999, yang kala itu dipimpin oleh Amien Rais.

Saat itu Amien Rais menolak laporan pertanggungjawaban BJ Habibie, pada 20 Oktober 1999 lantaran dianggap tak mampu menjalankan tugas sebagai presiden. Penolakan itu juga disebabkan oleh kebijakannya menyelenggarakan referendum di Timor Timur pada 30 Agustus 1999 yang berujung pada lepasnya provinsi ke-32 ini, menjadi negara Timor Leste. Lepasnya Timor Timur juga menyisakan kepedihan yang mendalam bagi para pejuang di perbatasan sejak tahun 1975 khususnya veteran Seroja.

Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia dilantik menjadi presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999 lewat voting dalam sidang umum MPR, mengalahkan Megawati Soekarnoputri. Ia dilantik di tengah sejumlah permasalahan rumit. Dari mulai krisis ekonomi hingga disintengrasi bangsa. Kondisi negara diperparah dengan masalah pemberontakan di Aceh dan Papua, serta kerusuhan Ambon dan Poso.

Gus Dur pun akhirnya harus berhenti di tengah jalan, karena dianggap tak mampu mengatasi persoalan bangsa. Jatuhnya Gus Dur hanya dibidik dengan persoalan sepele, yakni dituduh menyalahgunakan dana Yanatera Bulog Rp 35 M dan bantuan Sultan Brunei. DPR kemudian menjatuhkan memorandum dua kali untuk presiden. Buntutnya pada 23 Juli 2001 MPR menggelar Sidang Istimewa memakzulkan Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati.

Puluhan ribu Banser yang sudah siap di lapangan Monas untuk menopang Gus Dur dari kursi presiden akhirnya harus legowo menerima keputusan Sidang Istimewa MPR. Pun demikian pergantian kepemimpinan berjalan dengan lancar dan mulus.

Bagaimana dengan era saat ini? Jika menggunakan parameter presiden-presiden sebelumnya, jelas kondisi saat ini jauh lebih parah. Jokowi dalam tangkapan aspirasi publik sudah sangat rendah tingkat kepercayaannya. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya komentar, meme, dan karikatur yang cenderung mengolok-olok. Nyaris, apa yang diperbuat rezim ini di mata masyarakat, serba salah.

Contoh paling anyar. Kesediaan Jokowi menjadi orang pertama yang divaksin Covid19, tidak berpengaruh pada sikap publik. Saat ini publik masih banyak yang menolak divaksin. Hanya 2 persen yang terpengaruh. Menjadi pertanyaan serius, ke mana 57 persen pemilih Jokowi- Maruf dalam Pilpres 2019? Ada 55 persen pemilih Jokowi menolak vaksin. Jangan-jangan yang 2 persen pun pemilih Prabowo.

Kenyataan ini sangat berbahaya. Dalam situasi pandemi dan keselamatan rakyat terancam, mereka tetap tidak percaya kepada Jokowi.

Ambruknya pertumbuhan ekonomi, korupsi dan nepotisme yang merajalela, janji-janji yang tak terealisasi, utang yang sangat besar, penyusupan ideologi komunisme, TKA China dan kerja sama dengan RRC, serta kapasitas kepemimpinan yang sulit didongkrak, akan menjadi keadaan yang menyebabkan sulitnya untuk menyelamatkan dan memulihkan kepercayaan dari rakyat.

Di sektor Hak Asasi Manusia lebih parah. Pembunuhan 6 laskar FPI oleh aparat kepolisian, tak jelas nasibnya. Komnasham yang mustinya kritis terhadap temuan polisi justru berada satu barusan dengan polisis. Mereka menyetel frekuensi yang sama.

Di sektor keagamaan lebih menyakitkan lagi. Rezim makin memperlihatkan kebencian terhadap Islam semakin jelas. Lewat mulut buzzer atau lewat kebijakan pemerintah, semua tampak nyata.

Di bidang hukum, rezim makin radikal pengkhianatannya terhadap rasa keadilan masyarakat. Korupsi ugal-ugalan dana bansos tak menunjukkan pengusutan yang lebih serius. Malah ada upaya memutus mata rantai korupsi.

Rezim ini sudah layak dihentikan. Syarat untuk menurunkan Jokowi kata Rocky Gerung sudah terpenuhi, hanya butuh niat baik pimpinan DPR/MPR melakukan sidang Istimewa.

Mundur atau dimundurkan jangan dijadikan masalah. Bangsa ini harus terbiasa dengan pemakzulan. Pergantian kepemimpinan seharusnya menjadi kebiasaan yang baik. Tak ada yang perlu ditakutkan. Jangan takut bayang-bayang. Hanya butuh kerelaan untuk melepas jabatan sesaat, butuh keteladan dan keikhlasan.

Pergantian presiden cepat atau lambat harus menjadi budaya baru. Jangan menyakralkan jabatan presiden, apalagi mengkultuskan sosok presiden. Presiden, sebagaimana Ketua RT seharusnya bisa diganti kapan saja. Yang penting program tetap jalan, rakyat tetap solid, dan kesejahteraan terjamin. Jangan menyandera rakyat hanya demi libido kekuasaan segelintir orang, sehingga pergantuan presiden di tengah jalan dianggap tabu dan malu.

Indonesia harus berubah. Bahkan menjadi pioner pergantian presiden yang bisa kapan saja dilakukan. Di tengah jalan atau di ujung jalan. Sistem harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada dampak yang serius dari perubahan rezim yang cepat. Jika sistem ini sudah kuat, maka bayangan menakutkan dilengserkan masyarakat di tengah jalan menjadi hal yang lumrah dan asyik.

Pada situasi saat ini, pimpinan DPR/MPR harus bertindak. Jangan sampai dituduh terlibat dalam menjerumuskan utang yang menggunung, korupsi yang merajalela, pencabutan subsidi yang membabi-buta, serta permusuhan terhadap umat Islam. DPR jangan menjadi Dewan Perwakilan Rezim demikian juga MPR jangan menjadi Majelis Permusyawaratan Rezim. Masyarakat butuh peran nyata dari Dewan Perwakilan Rakyat. Kalian dipilih oleh rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat bukan mengekor pada rezim.

Di tengah eforia menerima gelar doktor honoris causa, pimpinan DPR harus peka menangkap suasana batin masyarakat yang menghendaki pergantian pimpinan negara. Hampir semua parameter keberhasilan pemimpin negeri ini berada di bawah standar. Sementara parameter pemakzulan juga sudah terpenuhi. Mengharap mereka tahu diri, jelas tidak mungkin. Maka, tirulah ketegasan dan keberanian Harmoko.

Haruskah rakyat mengangkat Harmoko menjadi Ketua DPR dan MPR? (sws)

739

Related Post