Rezim yang Tidak Bersahabat dengan Umat Islam

Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Terlalu kasar jika disebut memusuhi agama. Meski tidak terang-terangan tetapi hanya agama Islam yang dijauhi, diwaspadai, dan dijadikan "sasaran tembak". Dirasakan bahwa rezim semakin tidak bersahabat. Kekuatan Islam ditakuti dan sepertinya harus dilumpuhkan. Islamophobia adalah sebutan populernya. 

Aneh, unik, tapi nyata bahwa umat Islam adalah mayoritas yang tidak dioptimalkan potensinya. Benar bahwa tidak boleh ada diskriminasi etnik, ras, atau agama, akan tetapi penguasa yang lebih melindungi dan memanjakan minoritas adalah keliru besar. Apalagi jika dengan terang-terangan meminggirkan mayoritas. Jika integrasi nasional telah sukses dan tidak ada lagi penganaktirian, maka mayoritas atau minoritas memang tidak perlu ada atau dipersoalkan. 

Namun faktanya umat Islam kini tidak ditempatkan sebagai sahabat dalam pengelolaan kenegaraan. Pemerintahan Jokowi bersama "the rulling party" nampaknya lupa bahwa sejarah pembentukan negara Republik Indonesia ditandai dengan begitu besarnya peran umat Islam termasuk kontribusi nilai-nilai keagamaannya. 

Tentu rezim akan berkilah bahwa ia tidak melakukan apa yang dituduhkan. Akan tetapi umat sangat merasakan itu. Islam ditempatkan sebagai lawan yang dianggap mengganggu ketenteraman. Sikap ekstrim, radikal dan intoleran dipandang sebagai bahaya nasional. Padahal nyatanya tidak ada ekstrimitas, radikalisme atau intoleranisme itu. Jikapun ada satu dua, maka itu tidak boleh digeneralisasi atau dijadikan guliran politik yang masif. 

Rezim telah membuat stigma kontra produktif. Membubarkan HTI dan FPI bukan kebijakan hebat. Membungkam HRS, Munarman atau sebelumnya Syahganda, Jumhur, dan Anton Permana bukan langkah simpatik. Justru menonjok diri sendiri dan menunjukkan bahwa rezim inilah yang sebenarnya ekstrim, radikal, dan intoleran. 

Membunuh 6 anggota Laskar FPI bukan pula heroik tetapi membuat luka yang lebih dalam pada umat Islam. Tidak mudah dihapus dengan peradilan pura-pura. Peradilan sandiwara berlakon hukum main-mainan. 

Dunia mentertawakan lawakan yang tidak lucu dan memalukan. 

Mengapa rezim tidak bersahabat pada umat Islam? 

Pertama, ada kegalauan terhadap ideologi Pancasila yang dianggap sebagai hasil resepsi atau adopsi kepentingan politik umat Islam dalam kesejarahan. Dari dasar negara Islam, Piagam Jakarta, hingga Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu mencoba, menghadang,  membingkai atau mereduksi dengan Pancasila 1 Juni 1945.

Kedua, kepentingan asing "anti Islam" menyusup atau menunggangi konfigurasi politik yang ada. Penguasa  oligarkhi berparadigma materialisme dan berbahasa investasi serta sarwa pengembangan ekonomi gesit mengotak-atik spiritualitas bangsa. Agama disterilisasi dengan diksi moderasi. Agama tidak menjadi ruh dari pembangunan. 

Ketiga, trauma 212 terus membayang. Ada ketakutan gelombang aksi dahsyat yang muncul kembali. Dengan isu lebih menohok daripada sekedar mereaksi ahok. Meski Presiden Jokowi hadir pada acara tersebut, akan tetapi sulit dibantah bahwa 212 adalah monumen dari potensi perjuangan kekuatan umat Islam. 

Keempat, media sosial menjadi ajang pertarungan. Pegiatnya disebut "cyber army". Buzzer muncul sebagai fenomena politik baru yang berada di area pengacak-acakan opini. Umat Islam yang berdakwah melalui medsos dihadang dengan cuitan para buzzer Istana. Meski tak bermutu dengungannya tetapi yang penting adalah ramainya. Toh tugasnya hanya untuk mengacaukan. 

Ketika umat Islam tidak ditempatkan sebagai sahabat, maka rezim akan lelah untuk membuat berbagai disain. Sementara itu perencanaan apapun sulit diapresiasi dan berat untuk mendapat dukungan. Karenanya pilihan hanya satu untuk rezim ini dan rezim manapun untuk memajukan Indonesia yaitu jadikan umat Islam sebagai sahabat. 

Jangan musuhi ormas Islam, jangan kriminalisasi ulama dan tokoh agama, jangan adu domba, fitnah, dan nista simbol agama. Buktikan sikap tegas dengan menghukum para penista agama. Siapapun, meski mereka adalah buzzer peliharaan Istana. (*)

747

Related Post