Robohnya BUMN Asuransi Kami
TAHUN 2021 adalah tahun paling menyedihkan buat industri asuransi, mengingat raksasa-raksasa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi kita terancam menderita kerugian ratusan triliun. Lebih celaka lagi potensi kerugian itu dilakukan oleh orang dalam, yakni direksi dan komisaris bekerjasama dengan para rent seeker, pemburu rente, yang menggerogoti BUMN asuransi kita secara sempurna. Bagaimana itu bisa terjadi?
Tiga bulan lalu sahabat yang rajin menulis isu asuransi, yakni Irvan Raharjo, mengbarkan baru merampungkan buku Robohnya BUMN Kami. Secara filosofi judul tersebut memang datang dari kami, sehingga beliau secara pribadi mengucapkan terima kasih atas inspirasi judul buku terbarunya.
Kabar yang menggemberakan dari praktisi asuransi itu, hadirnya buku itu tentu saja disambut meriah buat kalangan industri asuransi, karena telah hadir satu buku baru dibidang asuransi yang diakui sangat sulit dan tidaklah mudah membuatnya. Kabar buruknya justru apa yang diceritakan dalam buku itu menggambarkan betapa buruknya pengelolaan BUMN asuransi kita yang rerata beraset besar dan sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Memang sangat menyedihkan, rakyat Indonesia disuguhkan praktik kepemimpinan asuransi yang adigang adigung adiguno, ugal-ugalan, norak dan cenderung koruptif massif. Dengan kedekatan pertemanan direksi dan komisaris berhasil menjebol kocek asuransi BUMN yang kita cintai ini. Celakanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bak macan ompong, tak mampu membendung proses perampokan dana asuransi baik yang secara terang-terangan maupun tersembunyi, lewat financial engineering, mark up atau mark down aset, maupun lewat goreng menggoreng saham di pasar modal.
Lihat saja jejak potensi kerugian asuransi BUMN itu. Menurut Kejaksaan Agung, Asuransi Jiwasraya yang awalnya diduga menderita kerugian Rp17 triliun melonjak menjadi Rp37,4 triliun. Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) harus menanggung potensi lonjakan kerugian dari Rp22 triliun menjadi Rp23,7 triliun.
Selain itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, masih menurut Kejaksaan Agung, harus menderita potensi kerugian hingga Rp20 triliun. Sebelum itu asuransi kumpulan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang walaupun bukan BUMN asuransi, tapi merupakan municipal insurance atau asuransi kumpulan, dimana setiap pemegang polis sekaligus pemegang saham, harus menanggung negative spread Rp20 triliun. Yakni selisih antara aset Rp10,1 triliun dengan kewajiban yang harus ditanggung Rp30,1 triliun.
Kalau diperhatikan, modus kejahatan BUMN asuransi itu terjadi setahun dua tahun sebelum dan sesudah Pilpres. Mengapa? Kalau proses perampokan yang terjadi sebelum Pilpres berlangsung, diduga digunakan untuk dana politik jelang Pilpres. Sementara kalau proses perampokan terjadi setelah Pilpres, itu pertanda sang Pilpres terpilih sedang menggunakan kekuasaannya untuk mengeruk dana asuransi lewat modus operandi yang berbagai macam tadi.
Robohnya BUMN asuransi ini memang dahsyat dan itu terjadi dimasa kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir. Celakanya aliran dana BUMN asuransi tersebut ada yang menyasar di saham milik keluarga besar Erick Thohir, secara moral harusnya beliau mengundurkan diri atau mempersilakan aparat untuk menelusuri atau bahkan menyelidiki kasus tersebut.
Lebih celaka lagi, dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI melibatkan ahli goreng saham di pasar modal, yakni Benny Tjokrosaputro. Penulis menduga yang bersangkutan juga berperan dalam cawe-cawe dana BUMN asuransi lainnya, yakni Jiwasraya. Dalam kasus Jiwasraya, Benny Tjokro yang merupakan pihak eksternal yang sudah divonis seumur hidup dan penyidik menyita 33 hektare tanahnya di Rangkas Bitung, tentu saja ia melakukan banding. Sedangkan dalam kasus ASABRI peran Benny Tjokro sedang dalam penyelidikan.
Ada lagi nama Heru Hidayat, Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk, yang ikut menjebol dana ASABRI, diketahui ikut berperan menggerogoti dana ASABRI. Jaksa Agung telah menyita 20 unit kapal tanker miliknya, dimana dalam sehari kapal-kapal tanker tersebut mendapat tarif sewa mencapai Rp437 juta per hari.
Ada nama Harry Prasetyo, mantan Dirut Jiwasraya yang sempat mampir menjadi Deputi di Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia menjabat sebagai menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis. Harry diduga berperan besar dalam pembobolan dana Jiwasraya, sehingga hadirnya Harry di Istana benar-benar mencoreng nama baik KSP, Itu sebabnya Moeldoko sempat merasa kecolongan.
Bagaimana cara mereka membetot dana BUMN asuransi tersebut, tentu bervariasi. Ada yang digunakan untuk menggoreng saham perusahaan yang owner-nya memiliki kedekatan dengan direksi dan komisaris BUMN asuransi itu. Ada juga yang mengakuisisi aset tanah dan bangunan dengan harga mark up, disamping juga ada modus penempatan dana dalam perusahaan, bank atau emiten, kemudian dana itu diolah sedemikian rupa sehingga merugikan perusahaan asurangi tersebut.
Yang menyedihkan ada direksi yang sengaja membuat klaim palsu atau klaim atau perusahaan yang sudah selesai masa asuransinya (replanting claim), sehingga dana asuransi itu pun terbang entah kemana. Yang paling besar tentu dengan cara menggoreng saham emiten tertentu sampai setinggi langit, kemudian saham itu jatuh serendah-rendahnya sehingga investasi BUMN asuransi itupun hancur.
Sayangnya kelanjutan penyelidikan aliran dana ke partai politik, yang diperkirakan menjadi penyebab utama korupsi itu terjadi, tidak berlanjut. Penyeleidikan mentok di tokoh-tokoh internal asuransi dan petinggi perusahaan emiten. Nama-nama yang mengarah ke parpol seperti Harun Masiku hilang lenyap tanpa jejak.
Hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa perampokan dana-dana BUMN asuransi itu adalah, pertama, betapa budaya pemerasan BUMN sejak zaman Orde Baru hingga kini masih berpangsung dengan derajat yang makin brutal dan massif. BUMN menjadi sapi perah itu ternyata nyata, bukan mitos, dan belum berhenti.
Kedua, peristiwa penggangsiran likuiditas BUMN asuransi makin hari makin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga efek kerugian yang diciptakan semakin besar.
Ketiga, penelusuran rekening dan keterlibatan tokoh hanya berhenti pada direksi, komisaris dan pihak swasta yang terlibat saja. Ketika ada indikasi mengarah ke tokoh politik langsung dihentikan.
Keempat, dengan masih amannya aktor intelektual yang nota bene para politisi dalam proses perampokan dana BUMN asuransi, maka besar kemungkinan proses itu masih berlanjut, karena tidak ada efek jera.
Kelima, kita memang membutuhkan pimpinan yang kuat, tegas dan berwibawa untuk menghentikan proses penggarongan BUMN asuransi. Bahwa proses penggarongan dana BUMN asuransi masih terus berlangsung, membuktikan bahwa kepemimpinan yang ada benar-benar lemah, tidak tegas dan jauh dari berwibawa.
Itulah nestapa yang menimpa BUMN asuransi kita, dimana perusahaan asuransi itu adalah peninggalan para founding father bangsa ini. Saat mendirikan mereka berharap BUMN asuransi kita bisa menyejahterakan rakyat Indonesia. Oleh karena rendahnya amanah dan rendahnya rasa takut pada Tuhan, maka proses penggarongan itu terjadi dan masih berlangsung.
Disaat kita sibuk meratapi penggarongan BUMN asuransi, perusahaan asuransi asing justru sedang berpesta pora menikmati kinerja dan laba yang bersinar seperti Prudential, Manulife, Allianz, Zurich, dan lainnya.
Itu sebabnya penulis memperkirakan BUMN asuransi kita akan tergilas oleh zaman, tergusur oleh waktu, terkubur oleh sifat rakus, tamak dan sombong. Apakah BUMN asuransi kita benar-benar akan roboh? Semua berpulang pada kesadaran rakyat Indonesia dalam memilih pemiimpinnya. Wallahu ‘alam!