Saat Direktur Pajak Menjadi Perampok Pajak
MENURUT teori kejahatan finansial, 90% pelaku kejahatan itu adalah orang dalam. Teori ini benar adanya, dan bahkan akurat ketika kita menyaksikan betapa brutalnya Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Angin Prayitno Aji merampok uang pajak.
Sampai-sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjulukinya sebagai penghianat. Karena itu Sri menyayangkan hari gini masih ada pegawai Kementerian Keuangan yang terlibat korupsi.
"Jelas ini pengkhianatan dan telah melukai perasaan baik di Direktorat Jendral Pajak maupun seluruh jajaran Kementerian Keuangan di seluruh Indonesia", kata Sri Mulyani dalam jumpa pers virtual di Jakarta Rabu (3/3) lalu.
Curhatan dan makian Menkeu bukan tanpa alasan. Betapa ia berusaha menata birokrasi di Kementerian Keuangan begitu ketat, dengan aturan yang juga ketat, bahkan aparat pajak dibayar jauh lebih mahal dibandingkan aparat birokrasi kementerian lainnya, namun disayangkan tetap kebobolan juga.
Kita patut menyayangkan munculnya makelar kasus Gayus Tambunan yang hanya pegawai III A DJP Kementerian Keuangan yang berhasil menjebol uang negara. Bisa dibayangkan Gayus yang pegawai rendahan bisa menjadi makelar atas kasus sengketa pajak senilai Rp10,5 triliun, berapa besar kasus yang digondol Angin?
Adalah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang menduga penyimpangan penagihan pajak senilai Rp1,7 triliun yang melibatkan Angin Prayitno. Mungkin saja rilnya lebih besar. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, dugaan tersebut sudah dilaporkan beserta alat buktinya kepada KPK pada Jumat siang (5/3).
"Saya datang ke KPK melaporkan proses yang diduga terkait dengan inisial AP yang saat ini dicekal oleh KPK yang saat ini diduga menerima suap berkaitan dengan pengurusan pajak dengan wajib pajak," demikian ujar Boyamin.
Lantas bagaimana kronologi Angin Prayitno Aji bisa menjebol uang pajak? Bagaimana kronologi sehingga Angin bisa dijuluki sebagai penghianat? Begini ceritanya.
Berdasarkan surat Menteri Keuangan (Menkeu) No.SR-383/MK.03/2017, memberikan izin penyanderaan terhadap DS (Dedy Sutanto), AT dan WW selaku Komisaris dan Direksi PT Industri Pulp Lestari dikarenakan menunggak pembayaran pajak sebesar Rp1,7 triliun.
Atas surat izin itu, Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPPP) Jakarta Pluit telah melakukan penyanderaan terhadap DS yang dititipkan di Lapas Klas II A Salemba.
Selanjutnya, DS berupaya lepas dari penyanderaan dengan cara membayar Rp15 miliar pada 20 Desember 2017, satu minggu setelah disandera dan membuat surat pernyataan akan membayar dengan seluruh harta kekayaannya sesuai dengan nilai di SPT pribadi.
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER/03/PJ/2018 tanggal 23 Januari 2018, DS lepas dari sandera pada 24 Januari 2018, atau sehari sejak terbitnya Peraturan Dirjen Pajak pada tanggal 23 Januari 2018. Hal itu pun dinilai tidak wajar jika merujuk syarat-syarat pembebasan sandera pajak, salah satunya pertimbangan Menkeu yang membutuhkan waktu 39 hari.
Hingga saat ini tagihan pajak senilai Rp1,7 triliun dari PT Industri Pulp Lestari diduga belum tertagih sepenuhnya. Diduga baru terbayar Rp15 miliar dari DS dan diduga tidak dilakukan penyanderaan terhadap AT dan WW sehingga patut diduga telah terjadi tindak pidana korupsi atas peristiwa tersebut.
Adanya dugaan penyimpangan penagihan pajak Rp1,7 triliun itu diduga terkait dengan Angin yang saat itu menduduki jabatan eselon II setingkat Direktur pada DJP. Saat Angin ini telah dicegah ke luar negeri oleh KPK terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi berupa suap pajak.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin Angin hanya mendapat fee atas makelar kasus yang dilakoninya, sementara Gayus bisa mendapat ratusan miliar? Sudah sesulit itukah membobol uang pajak? Atau suap Rp15 miliar itu hanyalah puncak dari gunung es yang sesungguhnya?
Semoga tindakan penghianatan yang memalukan ini tidak terulang lagi di kemudian hari.