Said Didu Penyambung Suara Bung Hatta dan Profesor Soepomo

By Dr. Margarito Kamis

Umar Bin Khatab berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah, beri aku pengecualian untuk Suhail ibn’Amr. Akan kucabut lidahnya biar tak bicara seenaknya dimana pun selamanya. Nabi menjawab “Kalau Aku menghukum dengan cara begitu, Allah pun menghukumku dengan cara yang sama, meskipun aku seorang Nabi. Siapa tahu suatu saat nanti ia menempati kedudukan yang tak dapat lagi kau mencela.” (Dikutip dari Buku Perang Muhammad, oleh Nizar Abazhah)

Jakarta FNN – Kamis (07/05). Muhammad Said Didu, pria Bugis kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, terkenal lugas, ceplas-ceplos dalam semua isu kebangsaan dan kenegaraan. Pria ini sekarang berurusan dengan Polisi. Beliau dilaporkan, entah langsung atau tidak oleh Pak Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kordinator Maritim dan Investasi atau anak buahnya, ke Bareskrim Kepolisian Republik Indonesia.

Kepolisian telah bekerja. Muhammad Didu telah dipanggil untuk diperiksa. Tetapi corona membuat dia tak bisa memenuhi panggilan itu. Apakah Polisi akan memangginya sekali lagi? Kemungkinan itu harus diletakan di atas meja.

Konsekuensinya, meja ujian atau perjuangan Muhammad Didu, suka atau tidak, tidak boleh hanya dihiasi dengan hukum-hukum pidana. Tidak. Itu senjata, yang kekuatannya hanya sekelas kerupuk. Pergilah ke gudang konstitusi bernegara. Juga ke UUD 1945.

Temukanlah digudang itu semua hasrat para pendiri bangsa ini dalam merumuskan UUD Tahun 1945 dulu. Sajikan dan jadikanlah itu teman bincang-bincang. Teman pikir kala buka puasa dan sahur. Dan buatlah panorama buka puasa dan sahur untuk puasa esok hari seindah pelangi di ujung senja dengan balutan sholawat kepada Nabi Allah, Muahammad Sallallahu Alaihi Wasallam, kekasih terhebat-Nya itu.

Mengapa begitu? Nama subyek dalam suara Muhammad Said Didu itu mengharuskan penjelasan, Butuh pemetaan secara detail, dan bertanggung jawab dari sudut tata negara. Ini disebabkan subyek yang disebut dalam “suara” Muhammad Didu, yang saat ini dikualifikasi fitnah, dalam sifatnya terpadu sangat ketat dengan tata negara.

Dimensi elementer tata negara memanggil setidaknya tiga hal untuk dibuat dengan jelas, sejelas-jelasnya sebelum pemeriksaan bekerja dengan tensinya sendiri. Untuk kepentingan kejelasan itu, maka ketiga soal itu disajikan secara singkat dibawah ini.

Pertama, apakah yang dimaksud dengan konsep “menteri” itu? Apakah konsep “menteri” itu menunjuk “nama jabatan” atau menunjuk pada “nama orang”? Dalam pertalian yang ketat dengan konsep itu, soal yang muncul mengikutinya secara logis adalah apa “tanggung jawab” menteri? Apakah konsep “tanggung jawab menteri” menunjuk pada tangung jawab jabatan atau orang?

Kedua, apakah konsep “tanggung jawab” seorang menteri? Apakah bentuk kongkrit tanggung jawab menteri hanya meliputi tanggung jawab hukum? Apakah bentuk tanggung jawab menteri hanya dipertalikan dengan pengelolaan dan tanggung jawab penggunaan keuangan negara? Apakah melaksanakan program dan kegiatan kementerian, tidak menjadi unsur tanggung jawab menteri?

Ketiga, bila tanggung jawab “menteri” sebatas atau dikerangkakan secara terbatas pada hukum (pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pelaksanaan program dan kegiatan kementerian), maka apa relefansi hak yang saat ini diberi kapasitas konstitusi sebagai hak asasi warga negara berupa “berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat?

Mari tenggelam dalam buku Profesor Muh. Yamin dan RM. A. B Kusuma meminum air konsep menteri, yang tertera pada soal pertama di atas. Apa yang dimaksud oleh pembentuk UUD 1945 pada pembahasan masalah ini di tahun 1945? Tanggal 11 Juli 194, Panitia Kecil Perancang UUD 1945 telah selesai menyiapkan draf UUD 1945. Khusus kementerian diatur pada Bab III. Judulnya Kementeran Negara. Bab ini hanya berisi satu pasal, tepatnya pasal 16.

Isi selengkapnya pasal 16 (rancangan) itu adalah (1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Rancangan UUD ini dibahas lebih jauh oleh PPKI pada tanggal 15 Juli 1945.

Pada pembahasan yang dihadiri relatif lengkap oleh anggota PPKI inilah, muncul beberap argumen. Argumen-argumen menggambarkan dengan jelas kehendak pembentuk UUD 1945 tentang konsep menteri. Hormat saya untuk semua anggota PPKI, tetapi saya menonjolkan dua argumen. Kedua argumen itu sangat dominan.

Kedua argumen itu adalah argumen Profesor Soepomo (Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945) dan Moh. Hatta (anggota). Argumen-argumen itu muncul pada saat Profesor Soepomo menerangkan secara umum draf UUD 1945. Lalu Pak Hatta meminta kesempatan bicara dan permintaan Pak Hatta itu disetujui dan dipersilahkan oleh Pak Radjiman, Ketua sidang (semoga amal baik mereka diterima disisi Allah Subhanau Wata’ala).

Bung Hatta lalu bebricara, dengan menyodorkan perspektif perbandingan sekadarnya tentang sistem pemerintahan. Amerika diambil sebagai salah contohnya. Setelah isu itu, Bung Hatta, dalam kata-katanya menyatakan “karena itu ada baiknya kalau disini diadakan kemungkinan bahwa Minister atau menteri bertanggung jawab. Sebab keduanya sama-sama menjalankan kekuasaan undang-undang.”

Tambahan, kata bung Hatta selanjutnya “tanggung jawab itu ada penting dalam gerakan kita. Dalam susunan negara kita, supaya yang memegang departemen betul-betul adalah pemimpin rakyat. Janganlah nanti lambat-laun semangat pegawai saja, dengan tidak mempunyai tanggung jawab yang kuat menjalar dalam pemerintahan negara.

Bung Hatta melengkapi argumennya dengan contoh menteri-menteri di Eropa, khususnya Nederland. Kata Bung Hatta, sesudah Grondwet tahun 1838 menetapkan tanggung jawab menteri, sekalipun itu tak ditulis dalam Grondwet, tetapi di dalam dasarnya masih 80 tahun berjalan.

Pandangan ini direspon oleh Profesor Soepomo dengan argumen yang akan saya sajikan berikut ini. Profesor Soepomo mengatakan sistem yang sedang dirancang tidak mengikuti sistem parlementer. Jadi Menteri hanya pembantu daripada Kepala Negara. Tetapi dalam praktek nanti kita harus melihat bagaimana jalannya.

Kata Soepomo selanjutnya, kita harus percaya kebijaksanaan Kepala Negara dan juga pembantu-pembantunya yang “bukan pembantu biasa, akan tetapi orang-orang yang sangat terkemuka, juga ahli negara yang bukan saja mengingat “publieke opinie” perasaan-perasaan umum dalam DPR. Akan tetapi mengerti juga “perasaan umum di dalam negara mereka umumnya” (semua tanda petik dari saya).

Begitulah pandangan menembus zaman kedua bapak pendiri bangsa yang mempersiapkan UUD 1945 itu. Apa yang dapat diambil sebagai esensi dari pernyataan kedua negarawan besar itu tentang menteri dan kementerian atau departemen? Menteri, tidak dapat disebut lain, selain menunjuk pada jabatan tertinggi di Departemen. Itu pertama. Tidak lebih.

Kedua, pemegang jabatan itu tidak pernah lain, selain adalah orang. Orang itulah pemangku jabatan yang namanya menteri. Orang (menteri) inilah yang dikehendaki oleh baik Bung Hatta maupun Profesor Soepomo harus menyerap, merespon, apa yang Profesor Soepomo sendiri katakan “publieke Opinie” atau “perasaan umum” di dalam negara.

Masalahnya sekarang bagaimana “publieke Opinie” atau “perasaan umum” itu ada diketahui, dan diketahui oleh siapa? Oleh Menteri. Apa konsekuensinya? Menteri tidak memiliki kapasitas pribadi, atau tidak berkapasitas sebagai individu dalam makna natural - natural person - tetapi individu dalam makna “legal person” diciptakan oleh UUD 1945.

Konsekuensi selanjutnya adalah selama orang tersebut, siapapun dia, berstatus menteri, maka orang kapasitas pribadi, natural person terserap ke dalam kapasitasnya sebagai menteri. Status atau kapasitas hukumnya sebagai pribadi atau natural person terabsorbsi sepenuhnya dalam status sebagai menteri.

Menteri menjadi legal person. Bukan natural person. Apa akibatnya? Semua tindakannya bernilai dan dianggap sebagai tindakan jabatan. Karena sebagai tindakan jabatan, maka seluruh akibat dan hal hukum, apapun itu, tidak dapat, dengan semua alasan apa saja yang mungkin dikualifikasi dan ditujukan pada pribadi. Mengapa? Pribadi naturalnya telah terabsorbsi ke dalam status menteri.

Kalau tidak ada orang yang bicara, karena dikekang, takut dipenjara, dituduh fitnah dan sejenisnya, bagaimana menteri bisa tahu tentang perasaan umum yang dipikirkan oleh Bung Hatta itu? Di titik inilah “pandangan Bung Hatta menjadi penyedia, sekaligus lentera untuk Menteri mengetahui tentang “publieke opinie” atau “perasaan umum” itu. Apa itu? Hak bersuara.

Kata Bung Hatta “hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan.” Kita menghendaki negara pengurus. Kita membangun masyarakat baru yang berdasar pada gotong royong dan usaha bersama.Tujuan kita ialah membaharui masyarakat.

Tetapi di sebelah itu, janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu, kata Bung Hatta selanjutnya, ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebut jaga di sebelah hak yang sudah diberikan. Misalnya, tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia “supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya.”

Pembaca FNN yang budiman, setelah Muh. Yamin juga bicara dalam nada yang sama, pendangan Hatta itu disetujui. Persetujuan itu dicapai pada tanggal 16 Juli 1945 dan dikristalkan menjadi rumusan pasal 28 UUD 1945 yang sedang dirancang itu. Isi selengkapnya “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undan-Undang”.

Hebat betul Para perancang UUD 1945 ini. Mereka tidak licik, tidak picik dan tidak kerdil. Mereka tidak menyediakan teknis, tetapi sarana konstitusi dalam memastikan negara yang sedang dirancang dan pemerintah akan bekerja setelah negara terbentuk, tidak menjadi negara penindas, tiranis.

Itulah cara mereka, para Bapak Bangsa ini mengontrol, membuat jaminan negara tidak berubaha menjadi negara kekuasaan. Caranya, sekali lagi, memberi kepada warga negara hak bersuara, bicara dan hak mengkritik penguasa. Dengan hak itu, orang tidak takut bicara, karena akan ditindas, dipenjara dengan segala macam tuduhan artificial khas negara kekuasaan.

Bicara tentang apa? Bicara tentang kehidupan bernegara, bicara postur aktual, nyata pemerintah, Presiden dan menteri-menteri yang merupakan pembantu-pembantunya menyelenggarakan pemerintahan. Hak bersuara adalah cara mereka para negarawan itu memungkinkan perasaan umum itu terlihat oleh pemerintah, Presiden dan menteri-menteri. Sungguh logis. Hebat para pendiri bangsa.

Apa yang terjadi bila seorang menteri, siapapun orang itu, dikementerian apapun orang itu berada, tidak sungguh-sungguh, tidak bergelora, tidak aktif melaksanakan program dan kegiatan kementerian yang merupakan kewajiban konstitusionalnya?

Kesungguhan, keaktifan, gelora kerja menteri adalah hal baik. Itulah yang dihasrat, dikehendaki oleh oleh Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Itulah makna tanggung jawab non hukum. Publieke opinie atau perasaan umum, tidak dapat dimaknai lain, selain sebagai satu-satunya cara para pembuat UUD 1945 itu, mengharuskan menteri, bukan hanya bekerja secara sungguh-sungguh, aktif dalam semua situasi, tetapi lebih dari itu.

Sungguh manis impian para negarawan ini. Menteri itu nama-nama jabatan, dan jabatan itu hanya bisa di dunia manapun, dipangku oleh orang. Menteri, siapapun dia, yang aktif melaksanakan tugas yang didefenisikan dalam Perpres pembentukan Kementerian itu, selalu baik, selalu bagus untuk alasan apapun.

Mengkahiri kasus ini dengan cara mengenal, mengamalkan dan menghidupkan semua kehendak para pembentuk UUD 1945, akan membuat bangsa menemukan jalan terang menjemput hari eksok yang hebat. Demokrasi? Unsur-unsur ganasnya harus dikenali, lalu singkirkan. Mari bersandar penuh pada kehendak pembentuk UUD 1945, yang terang seterang hati terdidik. Semoga. *

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

1802

Related Post