Seberapa Penting Posisi “Ketua Umum” Polri
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengajukan Komisaris Jenderal (Komjen) Listyo Sigit Prabowo, Kabareskrim, sebagai calon Kapolri ke DPR. Pengajuan calon tunggal ini mengisyaratkan Jokowi tidak ingin orang lain. Kecuali DPR menolak. Kelihatannya, kecil kemungkinan ditolak.
Seperti biasa, setiap kali ada pergantian Kapolri, semua mata tertuju ke situ. Menjadi kepala berita di mana-mana. Banyak orang berkomentar. Semua media besar menurunkan laporan analisis tentang siapa yang pantas dan tak pantas menjadi pimpinan kepolisian.
Macam-macam komentar publik. Kalau Komjen X atau Komjen Y yang duduk sebagai Kapolri, maka situasi Indonesia akan menjadi baik atau makin buruk.
Jokowi pun diperingatkan tentang figur yang cocok untuk duduk sebagai orang nomor satu di kepolisian itu. Belakangan ini, Kapolri menjadi orang yang sangat penting setelah presiden. Teramat penting dalam konstelasi kekuasaan di Indonesia ini. Sangat krusial dalam perpolitikan di negeri ini. Terasa polisi ada di semua lini kehidupan.
Sekarang ini, semua hal diurus oleh polisi. Apalagi menyangkut pemberangusan oposisi. Polisi sangat cepat hadir. Surat panggilan akan meluncur dalam hitungan jam. Polisi juga cepat tanggap ketika ada yang memerlukan penghapusan “red notice” Interpol. Juga kalau ada yang perlu surat jalan domestik plus pendampingan tingkat bintang. Bisa diatur.
Misi pengayoman Polri memang luar biasa. Kalau Anda mau dikawal jogging, silakan telefon Pak Polisi. Mobil Patwal (Patroli Pengawal) siap 24 jam.
Bagaimana dengan urusan
Politik? Nah, malah ini yang sangat “lucrative” alias subur selama enam tahun belakangan. Tepatnya, sejak Jokowi menjadi presiden 2014 dan terpilih kembali pada 2019. Misi pengayoman polisi diperluas dengan tugas tambahan. Yaitu, mengamankan pencapresan Jokowi.
Terbukti aman. Dan itu tidak mengherankan. Karena Polri memiliki jaringan kekuasaan yang menjangkau sampai ke lorong-lorong kampung, ke dusun-dusun di gunung. Di seluruh Indonesia. Sehingga, setiap TPS pasti “aman” di tangan polisi. Suara rakyat juga “diamankan” polisi.
Begitu amannya, sampai-sampai Jokowi memberikan hadiah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada Tito Karnavian. Dia sukses mengamankan pencapresan si Bapak sampai terpilih lagi menjadi presiden. Termasuk mengamankan orang-orang yang memprotes hasil pilpres. Mahasiswa padam dibuat Tito. Anak-anak muda yang mencoba lempar batu, akhirnya benjol-benjol bercucuran darah. Bahkan, ada yang diamankan permanen.
Begitulah dahsyatnya polisi. Kekuasaan mereka sangat besar. Polisi boleh dikatakan bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Polisi bisa menjinakkan orang-orang yang vokal.
Polisi juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Yang tak ada, bisa menjadi ada. Yang ada, bisa menjadi tak ada. Buku Merah bisa berubah menjadi Buku Putih, orang melek bisa menjadi buta. Air lembut bisa menjadi air keras.
Begitulah hebatnya Polri. Tidak heran, sebenarnya. Di sana banyak doktor alias S3. Bahkan, Polri di masa Tito dipimpin oleh seorang profesor. Satu-satunya Kepolisian di muka Bumi yang dikepalai oleh seorang gurubesar. Profesor Doktor Jenderal Tito Karnavian. Bayangkan!
Beliau memang ‘guru’ yang berjasa besar. Tito berhasil menggurui Polri tentang penegakan hukum yang mensejahterakan seluruh rakyat, khususnya rakyat Trunojoyo. Tito pula yang berhasil mengembangkan Polri menjadi “partai politik” di Indonesia.
Kok dikatakan partai politik? Apakah benar Polri berpolitik? Kalau Anda ragu, mari kita balik pertanyaan ini: apakah Polri tidak ikut berpolitik di era Jokowi ini?
Apakah Polisi tidak ikut dalam misi memenangkan Jokowi di pilpres 2019? Apakah Anda lupa kegundahan AKP Sulman Aziz, mantan Kapolsek Pasir Wangi di Garut, yang mengatakan atasannya mengeluarkan perintah penggalangan dukungan untuk Jokowi?
Jadi, sudah jelas sepak-terjang politik Polri. Rekam jejaknya ada di mana-mana. Tak salah organisasi kepolisian disebut sebagai Partai Polri. Terasa lebih pas, lebih relevan.
Partai Polri tidak hanya eksis melainkan juga ada pada posisi sebagai partai politik terkuat di Indonesia. Lihat saja, parpol mana yang memiliki struktur yang rapi, terkomando, dan sistematis hingga ke tingkat kecamatan? Parpol mana yang setiap tahun mendapat dana negara 100 triliun? Tentu tidak ada.
Dalam konteks sebagai “parpol” terkuat itulah, maka pemilihan “ketua umum” Polri di era Jokowi ini selalu menarik perhatian. Sebab, posisi “ketum” polisi sangat strategis. Karena “ketua umum” bisa mengeluarkan komando yang pasti akan terlaksana sampai ke pelosok-pelosok, serentak dan seragam.
Karena itu, figur “ketua umum” Polri akan selalu diselaraskan dengan kepentingan “Ketua Dewan Pembina”-nya yang saat ini dijabat oleh Presiden Jokowi. Termasuk kepentingan pilpres atau pilkada.
Nah, bagaimana nanti kalau Listyo Sigit Prabowo disahkan menjadi “ketua umum” Polri? Apakah Polri tetap menjadi parpol? Seratus persen tidak akan berubah Partai Polri.**