Seharusnya Dibedakan Antara Islamofobia dan Terorisme

Jenazah tiba di rumah duka Sukoharjo, Kamis (10/3/2022). (Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikJateng)

Ia juga mendapati kasus teroris yang ditangkap dan diadili, tapi prosedural penangkapannya selalu ganjil alias menyalahi aturan. Kasus teranyar yaitu penangkapan dan tembak mati dr. Sunardi di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan FNN

TEPATNYA Selasa, 15 Maret 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 15 Maret sebagai “Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia”.

Resolusi tersebut diputuskan melalui konsensus oleh 193 anggota PBB dan disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim.

Resolusi menekankan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dan mengingatkan resolusi 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan”.

Congratulations to the Ummah. Semoga ada manfaatnya. Bravo to Pakistan yang mewakili (57 negara anggota) OKI mensponsori resolusi ini. Thanks to PM Imran Khan,” komentar Imam Shamsi Ali dari Nusantara Foundation di New York.

Menurutnya, diadopsinya resolusi penetapan 15 Maret sebagai “The Day to Combat Islamophobia” tersebut sebuah langkah positif. “Semoga bisa efektif dalam mengurangi Islamophobia di seluruh dunia,” lanjut Imam Shamsi Ali kepada FNN.

Para pembenci Islam di sini wajib tahu informasi ini agar tidak terjerumus pada kebencian akut yang tak berdasar. Umat Islam di Indonesia selama ini sudah menjadi korban “kampanye” Islamofobia.

Apalagi kampanye Islamofobia di Indonesia “difasilitasi” dengan keberadaan lembaga-lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Salah satu buktinya, Kepala Komjen Polisi Boy Rafli Amar menyatakan, 198  pesantren terafiliasi dengan terorisme, meski akhirnya meminta maaf pada Pengurus MUI Pusat, Kamis (3/2/2022).

Boy Rafli kemudian berjanji, BNPT tidak akan sungkan-sungkan mengubah peristilahan dan diksi yang dianggap kurang tepat dan dapat menimbulkan kesan stigma negatif kepada Islam dan umat Islam.

Apalagi, umat Islam memang merasa terteror oleh kegiatan pelaksanaan penanggulangan radikalisme-terorisme selama ini. Mereka merasa sedang dipojokkan, bahkan dijadikan target.

Karena, sepanjang yang berkaitan dengan penyebaran paham radikal dan penangkapan terduga teroris, semuanya dihubungkan dengan orang Islam dan simbol-simbol Islam. 

Framing berita sedemikian rupa sehingga tercipta kesan bahwa Islam dan umat Islam demikian jahat terhadap negara ini. Yang disasar bukan saja mereka yang diduga telah dan/atau akan melakukan aksi teror, melainkan juga yang berpakaian cingkrang, bercadar dan yang berjenggot.

Menurut Dr. Masri Sitanggang, stigmatisasi Islam radikal sudah terasa sejak periode pertama Presiden Joko Widodo berkuasa (2014-2019).

Berdasarkan apa yang disebut “survey”, disiarkan bahwa paham radikal telah merambah ke sekolah-sekolah dan kampus melalui pengajian dan Studi Islam Intensif yang dilakukan OSIS atau Lembaga Dakwah Kampus.

Periode kedua pemerintahan Jokowi, kecemasan umat Islam meningkat. Pasalnya, semua kementerian dalam Kabinet Indonesia Maju seperti punya tugas yang sama: berantas radikalisme; dan itu, sekali lagi, terarah kepada Islam dan Umat Islam. 

Kepala BPIP Yudian Wahyudi ketika baru menjabat sepekan menyebutkan: “Musuh terbesar Pancasila adalah agama”. Agama yang dimaksud tentunya adalah Islam.

Meski Yudian coba meluruskan setelah gaduh besar, yang dimaksud adalah adanya kelompok yang menggunakan agama untuk memusuhi Pancasila, tapi tetap saja tidak bisa lurus. Logika pelurusannya, tidak lurus. Begitu penilaian Masri Sitanggang.  

Islamopobia dan Terorisme                                                                                                                         

Menyusul penetapan PBB tanggal 15 Maret sebagai “Hari untuk Memerangi Islamofobia”, tentu saja keberadaan Detasemen Khusus (Densus)-88 yang menjadi “eksekutor” hasil kampanye Islamopobia harus dievaluasi.

Densus-88 didirikan pada 20 Juni 2003 melalui Surat Keputusan Nomor 30 Tahun 2003, sebagai tindaklanjut diterbitkannya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang mempertegas kewenangan dari Polri dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia.  

Unit ini didirikan sebagai respons atas maraknya aksi teror yang dilakukan organisasi teroris jejaring Al-Qaeda, salah satunya yaitu Jamaah Islamiyah (JI). Jadi, tugas utamanya adalah memberantas terorisme.

Setelah lebih dari satu dekade, banyak kasus belum tuntas yang ditangani Densus-88. Namun, setelah kasus Siyono ramai, kasus-kasus serupa yang menumpuk seperti gunung es ini akhirnya muncul ke permukaan.

Ketua Komnas HAM (saat dijabat) Hafid Abbas mengakui terkuaknya kasus tewasnya Siyono telah membuka kesadaran masyarakat luas bahwa ada hal yang ditutup-tutupi oleh Densus-88.

Densus-88 terpojok karena Siyono meninggal ketika pemeriksaan. Bahkan, Kapolri (saat itu) Jenderal Badrodin Haiti mengakui ada kealpaan dari anak buahnya dalam kasus Siyono.

Hafid pun menyebut kasus ini merupakan pintu gerbang pertama untuk menuntut Densus-88 lebih terbuka.

Pernyataan Hafid ini disambut baik oleh peneliti KontraS, bahkan dengan penuh harap. Mantan Koordinator KontraS Haris Azhar menyakini Densus-88 bukan hanya harus terbuka, tapi juga harus memperbaiki kinerjanya.

“Kami meyakini adanya banyak pelanggaran hukum di sektor prosedural maupun pelanggaran hukum substansial. Misalnya orangnya gak terbukti sebagai teroris, tapi ditangkap, disiksa, bahkan ditembak mati,” kata Haris. 

Ia juga mendapati kasus teroris yang ditangkap dan diadili, tapi prosedural penangkapannya selalu ganjil alias menyalahi aturan. Kasus teranyar yaitu penangkapan dan tembak mati dr. Sunardi di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Dalam versi polisi, Sunardi tewas ditembak Densus-88 karena melakukan perlawanan. Sunardi merupakan seorang dokter. Pria kelahiran Sukoharjo Mei 1968 itu selama ini membuka praktik di rumahnya, Kelurahan Gayam, Kecamatan Sukoharjo Kota. Sunardi diduga terlibat terorisme.

Eksekusi terhadap dr. Sunardi dan terduga terorisme sebelumnya seakan menjawab pernyataan yang disampaikan Presiden Jokowi saat penutupan Rakor Nasional Kamar Dagang Indonesia (Kadin) 2017 di Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).

Negara lain begitu (membebaskan visa), kenapa kita tidak? Karena takut teroris. Alasannya ada saja,” kata Jokowi, seperti dilansir Detik.com, Selasa (03 Okt 2017 20:09 WIB).

Ketakutan terhadap masuknya teroris menjadi alasan pejabat Indonesia yang enggan membebaskan visa ke banyak negara. Menurutnya, alasan ini hanya upaya membuat cemas dirinya saja sebagai presiden.

Nakut-nakutin Presiden. Saya ini nggak punya (rasa) takut,” ujar Jokowi disambut tawa terbahak-bahak seisi ruangan. Jokowi kemudian membuka kebijakan bebas visa untuk banyak negara, terlepas dari kekhawatiran soal terorisme.

Menurutnya, tidak perlu ada kekhawatiran soal masuknya teroris gara-gara kebijakan bebas visa. Katanya teroris masuk. Kan terorisnya dari kita,” kata Jokowi santai. Ratusan pengusaha di ruangan tertawa cukup lama, sekitar 10 detik.

Memang, faktanya seperti kata Presiden Jokowi, para terduga teroris dari Indonesia, kecuali Dr. Azhari dan Nurdin M. Top yang dari Malaysia. (*)

357

Related Post