Senjakala Politik Jokowi
Oleh Saidiman Ahmad | Manager Program SMRC
10 tahun lalu, pamor politik Jokowi menanjak karena dinilai baik oleh kelompok masyarakat sipil pro-reformasi, akademisi, dan diamplifikasi oleh media. Tiga elemen ini memang kerap mengambil posisi yang kritis pada kekuatan politik dominan. Soliditas tiga elemen ini yang membuat publik teryakinkan untuk menitipkan harapan pada Jokowi. Di atas harapan itu, Jokowi menjadi presiden dua periode.
Namun, di akhir masa jabatan, Jokowi mengambil jalan menyimpang. Dia yang sebelumnya diharapkan menjadi penjaga demokrasi justru merusak tatanan politik dengan manuver mempertahankan kekuasaan melalui agenda tiga periode, penambahan masa jabatan, penundaan Pemilu, Cawapres dengan keputusan MK nir-etika, merapel bantuan sosial menjelang pemilihan, isu intervensi aparat dalam kampanye, melemahkan penegakan hukum, menyandera kasus hukum ketua partai, hingga mengkooptasi Ormas dan media.
Seluruh aktivitas merusak itu membuat tiga elemen utama yang sebelumnya ikhlas memberi dukungan sekarang mengambil posisi berlawanan. Jokowi mungkin menganggap hal ini oke saja karena dia sudah dikelilingi kawan-kawan baru: konglomerat, oligark, pemilik partai, dan pejabat dari segala penjuru. Dukungan dari kawan-kawan baru itu terasa lebih berarti karena punya power yang langsung terlihat. Empuk. Sementara masyarakat sipil, kalangan kampus, intelektual, dan media, siapa mereka? Apa kekuatan mereka? Kira-kira begitu.
Yang mungkin tidak dia sadari adalah bahwa betapa pun besarnya kekuasaan dari kawan-kawan baru ini, dukungan mereka bersifat pragmatis-temporer. Mereka mendekat karena dia sedang ada dalam kekuasaan. Kedekatan pada seorang presiden membuat mereka memiliki kesempatan untuk menambah kuasa.
Ketika selesai masa jabatannya, pelan-pelan kawan-kawan baru itu mulai berhitung. Mari kita lihat beberapa kasus mutakhir. Pertama, wawancara Tempo dengan Aguan. Sang pengusaha papan atas itu blak-blakan membuka aib mantan presiden soal barter investasi pengusaha lokal di IKN. Ini menunjukkan, rasa hormat dan segan pengusaha pada Jokowi mulai luntur. Rasa segan mulai hilang.
Kedua, soal tawaran partai politik. Ketika masih menjabat, santer terdengar Jokowi akan masuk dan memimpin partai besar. Hingga kini, isu itu mulai mereda. Bahkan dalam sebuah talkshow TV beberapa waktu lalu, seorang elit Golkar menyatakan bahwa posisi strategis di partainya sudah penuh. Sementara untuk menjadi kader biasa kemungkinan kurang pantas untuk seorang mantan presiden. Artinya, sebenarnya Jokowi tidak lagi punya pamor untuk diterima masuk dan ujug-ujug menjadi petinggi di partai orang. Pernyataan bahwa posisi strategis atau posisi penting partai sudah terisi adalah pernyataan penolakan.
Ketiga, media massa yang sebelumnya dilaporkan terkooptasi kini mulai kian gencar menunjukkan sikap kritis. Memang ada media yang menghapus berita soal nominasi tokoh terkorup dunia, tapi umumnya media lain terus menayangkan laporan objektif dan kritis. Media umumnya semakin berani menolak swa-sensor. Tidak perlu ada lagi yang harus diantisipasi dari sang mantan.
Selain itu, sikap kritis dari kelompok masyarakat sipil, seperti akademisi dan aktivis NGO, yang tak henti-hentinya menyuarakan mudarat politik yang telah terjadi membuat posisi Jokowi semakin goyah. Selain tak lagi memiliki kekuasaan formal, sang mantan presiden juga bermasalah secara moral. Di hadapan sahabat-sahabat barunya yang pragmatis, kemungkinan Jokowi sudah kehilangan nilai.
Partai mana yang ingin terasosiasi dengan figur yang masuk nominasi tokoh terkorup dan terjahat di dunia oleh sebuah organisasi jurnalis investigasi global? Partai apa yang ingin dekat dengan figur yang sekarang menjadi musuh bersama para aktivis sosial, masyarakat sipil pro-reformasi, akademisi berintegritas, dan media independen? Sayang sekali. (*).