Si Sempak Merah yang Tak Pandai Berenang

Oleh Ady Amar, Kolumnis

Bagai anak kecil yang tak pandai berenang, tapi nekat nyemplung di kolam orang dewasa. Ferdinand Hutahaean bisa diibaratkan demikian.

Awal-awalnya sih ia masih tertolong. Tapi itu tadi, ia masih tak mau belajar berenang yang baik. Sampailah pada peristiwa besar yang tidak ada lagi yang bisa menolongnya.

Ferdinand lelaki yang tak bisa melihat apa yang bakal terjadi dari apa yang diperbuatnya. Persis anak kecil tadi, yang kelelep tanpa bekal mahir berenang.

Lagak Ferdinand membela rezim berlebihan, seolah ingin diri sejajar dengan buzzer yang datang lebih awal, yang sudah lumayan bisa berenang. Mulut Ferdinand yang menghantam "lawan" politik, meski tidak jelas ada yang memerintah, ia lakukan sepenuh hati. Bahkan dengan mengumbar narasi norak.

Tampil dengan lagak sok  nekat. Seolah anak kecil yang melihat anak lainnya sudah pandai berenang, dan ia yang tanpa bisa berenang, nekat menceburkan diri seolah berenang itu cuma butuh keberanian. Tidak perlu keterampilan.

Ferdinand terkesan ingin menyalip buzzer lainnya. Maka, ia memang terlihat terdepan dalam memproduk narasi jahat. Sehari bisa 3-4 kali, layaknya orang minum obat. Tweet nya menyasar siapa saja yang perlu disasar. Pikirnya, mustahil dengan "membela" rezim ia bisa tenggelam.

Ferdinand lupa, atau memang tidak mengerti, bahwa berkomunikasi di ruang publik, itu punya aturannya sendiri. Tidak cuma bisa membidik sasaran dengan narasi kasar, dengan mengabaikan apa yang boleh dan tidak boleh disentuh. Ferdinand main gambreng saja.

Melakukan cuitan rasis sudah jadi kebiasaan. Setidaknya itu disasarkan pada Habib Rizieq Shihab, Anies Baswedan dan terakhir pada Habib Bahar bin Smith. Ia memang aman-aman saja. Ia seolah tak tersentuh hukum. Sepertinya tidak ada yang mempermasalahkan. Ia merasa bebas-bebas saja.

Sampailah Tuhan murka  atas ulah anak yang tidak kecil lagi, tapi masih berperangai kanak-kanak yang nyebur  ke kolam dengan air yang dalam. Ferdinand dihentikan Tuhan, yang murka karena dikecilkannya. Tweet nya, yang sudah dihapus, "Allah mu lemah, Allah ku luar biasa", memunculkan kemarahan umat Islam. Jika tidak disikapi bijak, bisa muncul tsunami yang bukan saja mampu menenggelamkan seorang Ferdinand, bahkan seluruh negeri bisa merasakan dampaknya.

Ferdinand sedang menghitung hari. Ia merasa terjatuh. Terlambat sadar, bahwa sejatinya ia tak punya sandaran. Mengibah seperti anak kecil dongok minta dikasihani, "saya ditinggalkan". Ia terpuruk dan merasa sendirian, tanpa ada yang membelanya. Siapa yang dimaksudnya.

Ada sih satu-dua yang mandi sekolam dengannya, tapi sudah lumayan bisa berenang, yang coba membela sekadarnya. Di antaranya, Denny Siregar.

Tapi umat Islam yang geram pada cuitan Ferdinand, yang mengecilkan Allah mu-- dalam perspektif Islam. Lalu bersemangat, mendesak Polda Metro Jaya untuk membuka kasus Denny Siregar, yang sudah lebih satu setengah tahun mandek. Dan itu juga soal ujaran kebencian.

Melihat sisi lain Ferdinand  bisa buat terkekeh, sambil mual dibuatnya. Ia yang selalu tampil sok nekat itu, yang entah oleh sebab apa, pada satu kesempatan perlu menunjukkan bentuk tubuhnya. Berpose dengan tanpa baju dan celana. Hanya menggunakan sempak. Berwarna merah. Dengan kedua tangannya diangkat model menekuk.  Menunjukkan bisep di kedua lengan tangannya. Seolah petinju saat timbang badan menjelang pertandingan.

Badannya sedikit pun tidak atletis. Entah apa yang mau dibanggakannya. Maka sejak itu, julukan Si Sempak Merah jadi melekat padanya. Dan, Si Sempak Merah yang tak pandai berenang, itu dalam hitungan hari lagi akan diperiksa dan ditahan. Entah berapa lama penjara mampu menyadarkannya. (*)

570

Related Post